[ 4 ]

12 1 0
                                    

Kerlip lampu jakarta semakin malam malah semakin berkerlip, kendaraan juga banyak yang wara-wiri menghiasi gelapnya malam. Ev melihatnya dari roof top sebuah kafe, sendiri di sebuah meja yang bercat hitam dengan hiasan vas bunga estetik dan berisi satu tangkai mawar.

Evana menertawai keberadaan mawar kuning tersebut. Kenapa pelanggan yang sendirian di kasih meja yang bunganya sendiri pula? Apa mereka sengaja memberi konsep jomlo seperti ini?

Mengaduk matcha latte yang terasa kurang manis di lidahnya hari ini, terus mengaduk aduk seperti yang dia lakukan pada otaknya sekarang.

"Ehem! Tidak baik melamun, dan sendirian di tempat umum."

Evana menoleh, seketika hidungnya mendengus keras dan terdengar jelas oleh Elano. Melangkah beberapa kaki untuk berada tepat di dinding balkon dan menyandarkan sikunya disana. Evana menyadari bahwa baru kali ini ia melihat bos mata sipit mengenakan kaos oblong tapi tetap saja masih dengan celana chinos, serta boat shoes.

"Jangan ge- er dan mengira saya ngikutin kamu, saya makan malam di sini dan lihat kamu sendirian dan menyedihkan. Makanya saya samperin."

"Memang lagi pengen sendiri, menyelami otak dan hati saya sebelum membuat keputusan penting untuk hidup saya ke depan," ketus Ev meminum mactha latte nya hingga tuntas.

"Pamit sama orang tua tidak?" Tanya Elano masih memandangi lampu-lampu jalanan.

"Saya bukan remaja yang suka melawan sama orang tua."

"Syukurlah. Kenapa sendiri? Kamu punya teman kan?"

"Saya sudah bilang tadi, sedang ingin sendiri berselancar dengan pikiran saya. Bapak sendiri kenapa makan malam sendiri di kafe yang rata-rata anak muda isinya?"

Sepertinya Elano tersinggung dengan kalimat Evana, ia menoleh dan menatapnya tajam, tapi hanya sebentar lalu tertawa sinis.

"Saya sama teman saya,"

Ev mengikuti dimana meja yang ditunjuk oleh pria berumur yang kemarin sudah melamarnya.

Di meja itu, seorang perempuan mirip dengan gadis yang pernah wara wiri di televisi karena kasus pembunuhan. Perempuan yang mengenakan blouse berwarna kuning cerah itu menyapanya, melambaikan tangan dengan wajahnya yang penuh senyuman.

"Teman saya sejak kecil. Setelah kamu, maksutnya setelah keluarga saya pindah dari komplek perumahan hunian kalian."

"Oh, yasudah bapak lanjutkan saja makan malamnya, saya sudah selesai, dan sudah larut malam. Saya duluan,"

"What the..."

"What the apa?" Evana berdiri persis di depan Elano. Keduanya melempar senyum, tapi senyuman mereka aneh, bukan senyum malu layaknya pria yang sudah melamar perempuan.

"Saya sudah pesan taxi," lanjut Ev serta memperlihatkan pesan layanan pada Elano.

"Ya. Silahkan," sahutnya seraya berjalan begitu saja meninggalkan Evana yang melihatnya berjalan menuju meja yang dia tunjuk sebelumnya.

Perempuan yang katanya sahabat Elano itu tersenyum genit menyambutnya. Evana mendesah dan segera berlalu dari sini.

Kemarin, ketika ia kembali dari toilet bersama Mami, Bos mata sipit berdeham dulu sebelum akhirnya berucap, "maaf menyela makan siang Tante, Om, dan Ev. Berhubung pembicaraan pekerjaan sudah selesai,  izinkan saya berbicara tentang hal lain. Ee.. seperti yang mungkin Tante ingat, dengan janji saya dulu waktu kecil." Dia berhenti sejenak untuk menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Apakah Evana mau menikah dengan saya?"

"What?" Seru Ev dengan mulutnya yang melongo. Dia sudah mengira ini bakal terjadi, tapi tidak secepat ini.

"Saya tidak mau!"

"Evana!"

Mendesah karena dia tahu ini yang akan Mami lakukan ketika dia menolak.

"Ini hak milik Ev Mam, dia bertanya pada Ev bukan Mami, Ev juga yang berhak untuk menentukan dengan siapa Ev akan menikah!"

"Pelankan suara kamu nak," lirih Papi membuat Ev berkedip dan merunduk. Untung saja ini ruangan VIP jadi tidak ada orang yang melihat.

"Terimakasih atas keberanian kamu El, dan maaf atas sikap Evana yang kurang sopan, Evana itu memang masih belum dewasa, masih minim pengalaman bersosialisasi jadi Om minta maaf sebagai perwakilan dari keluarga."

El mengangguk. " Iya Om, maaf..."

"Oh, no problem El, yang salah kami terutama Evana, mungkin bukan sekarang untuk menjawab. Kamu bisa beri dia waktu." Sela Mami Jullie.

***

"Fuh!!!" Rasa-rasanya dada selalu terasa berat ketika harus berhadapan dengan pria tua menyebalkan itu menurut Ev. Sampai lantai bawah kafe, dia menghembuskan nafasnya dengan kasar, menoleh sekali lagi ke arah tangga, kalau-kalau Elano akan mengikuti, tapi sepertinya dia salah. Elano masih asyik makan dengan sahabat perempuannya.

"Harish?" Tatapan dia menyipit.

Seseorang yang membawa nampan berhenti kaku tanpa menoleh.

"Harish!" Tangan yang bebas itu diraihnya hingga Harish menoleh dengan bola mata yang bergerak-gerak.

"Kamu kerja di sini?"

"Ya, sambil menunggu panggilan dari tempat aku melamar pekerjaan,"

Oke, Ev tersenyum dan berfikir akan sering kemari untuk menyambangi mantan kekasihnya itu.

"Ev, kamu belum pulang?"

Sial! Ternyata Pria tua ini mengikuti dirinya.

"Aku antar kamu pulang! Ini kewajiban calon suami untuk calon istrinya!" Ini perintah paksaan bukan kalimat bertanya. Dan apa itu yang dia bilang dengan lantang itu?

Diraihnya lengan Ev membuat Harish berjalan kembali menuju counter bar tanpa menoleh sedikitpun pada Evana.

****

Jangan lupa klik bintang jika berkenan.

😘😘🙏

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 27, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

WHO'S YOUR LOVE ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang