Ballerinas' Desire

27 7 12
                                    

Hari ini genap setahun gadis manis berlesung pipi dengan potongan rambut melewati bahu itu menjadi guru les balet di sekolah yang ada di kotanya. Gadis yang seharusnya melanjutkan studi kejenjang yang lebih tinggi setelah SMA namun terhalang oleh suatu hal. Bakatnya yang luar biasa sudah dikenal oleh semua warga Tulungagung. Sayangnya, impian gadis itu untuk menjadi atlet balet hanya sebatas guru saja.

Gisha. Setiap kali orang mendengar nama itu pasti akan ada kata balet di dalam pikiran mereka. Gerakan luwes nan anggun yang selalu Gisha tampilkan mampu membuat siapa saja terpukau dengan penampilannya.

Dulu, Gisha adalah gadis ramah yang akan menampilkan senyumnya pada siapa saja. Namun entahlah, senyum memikat gadis itu tiba-tiba saja lenyap sejak kejadian beberapa tahun silam.

Saat dimana ia ditinggalkan kedua orangtuanya untuk selamanya. Kecelakaan beberapa tahun lalu masih membekas dalam ingatan Gisha. Kedua orangtuanya harus meregang nyawa karena mobil yang ditumpangi keduanya terjun ke dalam jurang. Perusahaan ayahnya mengalami kebangkrutan dan tidak ada harta yang tersisa untuk menjamin kehidupan Gisha. Karena hal itu ia juga harus mengubur impiannya dalam-dalam.

Gisha menjadi gadis yang serba serius, hidupnya monoton. Hanya ada rumah dan sekolah balet saja. Tidak ada obrolan dengan warga, pergi ke pasar untuk berbelanja, atau bahkan bertegur sapa. Gadis itu selalu memasang wajah datar tanpa perasaan.

Dengan langkah pendek-pendek, Gisha keluar dari kamarnya setelah mengambil tas untuk keperluan mengajar. Hari ini adalah jadwalnya mengajar, setiap sore pada hari minggu. Karena hari selain itu adalah hari untuk belajar di sekolah formal.

Tujuannya sore ini adalah sekolah balet yang terletak di sudut kota kecil. Bangunan berwarna putih tulang itu menjadi jantung kehidupan Gisha selain rumah. Melihat anak-anak tertawa, mengikuti arah gerakannya menjadi semangat baru dalam hidup Gisha.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam, akhirnya Gisha sampai di sekolah. Ia memarkirkan sepeda di tempat yang sama dengan parkiran murid-muridnya.

Bangunan di sampingnya berdiri sekarang adalah tempat tinggal kedua Gisha. Tempat dimana ia bisa berlatih balet tanpa ada yang melihat. Meskipun impiannya kandas, Gisha tetap tidak mau melupakan apa saja yang telah ia miliki. Ia terlalu percaya, jika tidak sekarang, esok pasti ada kesempatan untuknya.

"Kak Gisha baru datang?"

Gisha menolehkan kepala saat mendengar pertanyaan itu tertuju padanya. Ia melihat Tasya, gadis kecil berumur 5 tahun yang menjadi muridnya sejak dua bulan belakangan ini. Meskipun begitu, Gisha mengakui bahwa bakat Tasya pada bidang balet tidak bisa diremehkan. Gadis kecil itu sudah menguasai materi balet yang ia ajarkan dengan waktu yang begitu singkat.

Gisha mengangguk.

"Yuk masuk," ucapnya dengan tampang datar tanpa senyuman.

"GISHA!"

Baru saja Gisha hendak melangkah, seseorang menyerukan namanya. Membuat Gisha berhenti dan mendengus kasar saat menyadari siapa yang baru saja memanggilnya.

Gerald Vernando. Pemuda menyebalkan, penebar pesona yang menjadi teman sekelasnya selama ia bersekolah. Sebenarnya mereka sudah berteman dari semenjak mereka kecil.

Gisha sadar, bahkan sangat sadar bahwa pemuda itu memiliki wajah yang cukup tampan. Ditunjang dengan postur tubuhnya yang tinggi, rahang tegas yang mumpuni, serta kulit putih bersih membuat pemuda itu semakin tampan. Tunggu! Apakah Gisha baru saja membayangkan pemuda itu?

"Apa?" jawabnya kelewat ketus saat Gerald sudah berdiri tepat di depannya.

"Aku punya sesuatu untukmu." Gerald tersenyum, membuat matanya yang sipit menjadi segaris. "Tapi kamu harus tutup mata dulu. Ya, ya, ya?"

Ballerinas' DesireWhere stories live. Discover now