Prolog

387 14 0
                                    

"Kebohongan terbesar yang saya sembunyikan adalah ketika saya selalu terlihat baik dengan hati yang terluka"

GADIS manis berseragam putih biru mengayuh sepeda dengan semangat. Gadis itu bersenandung kecil, menyanyikan aransemen lagu daerah yang harus dihafalnya. Dia mendesah pelan, gadis itu sangat membenci pelajaran seni. Salahnya yang mengira akan dengan mudah mendapatkan nilai A di rapor jika mengambil mata pelajaran pilihan itu.

Dengan gembira, Gadis itu memasuki gerbang sekolah yang masih sepi. Dia meletakkan sepedanya di tempat biasa dia memarkirkannya, di dekat gerbang sekolah. Alasannya cukup sederhana, agar dirinya bisa cepat pulang tanpa perlu berdesakan dengan siswa lain.

Gadis itu merenggangkan ototnya lalu memperbaiki name-tag miliknya yang terpasang miring sebelum menyampirkan tas ransel berwarna biru di pundaknya. Dia melangkah menuju kelasnya, melewati koridor sekolah yang masih sepi, hanya ada bapak-bapak penjaga gerbang dan ibu-ibu pembersih taman sekolah. Wajar saja, karena masih terlalu pagi untuk siswa lain datang kesekolah.

Dia berhenti di depan ruang guru yang masih dalam proses renovasi. Gadis itu menjulurkan kepalanya, melihat laki-laki yang dia kenal tengah berada di dalam sana. Laki-laki itu tengah duduk diam di bawah steger, di depannya terdapat sebuah kanvas berukuran sedang. Gadis itu tau, dia tengah menyelesaikan tugas lukisan yang harus dikumpulkan hari ini.

"HAI!" sapa gadis itu keras, membuat laki-laki itu terlonjak kaget.

"Saya kira siapa, ternyata kamu," bisik laki-laki itu pelan, meneruskan kegiatan melukisnya yang sempat berhenti.

Gadis itu tertawa lebar, berlari kecil menghampiri laki-laki itu. "Lukisannya belum selesai?" tanyanya, mengamati lukisan setengah jadi milik laki-laki itu.

"Menurut kamu?" Tanya kembali laki-laki itu.

Gadis itu mendengus kesal. "Kan aku yang nanya, kok kamu balik nanya?"

"Pertanyaan kamu tidak masuk akal. Buat apa saya jawab kalau kamu tau jawabannya."

Gadis itu meringis kecil, menyadari ucapan laki-laki itu sangat benar.

"Kamu melukis apa?" gadis itu mendudukkan dirinya di samping laki-laki yang masih sibuk dengan lukisannya.

"Ini adalah cahaya di dalam gelap."

"Cahaya di dalam gelap?" tanya gadis itu membeo. "Maksudnya?"

"Saya pernah merasakan hidup dalam kegelapan. Melakukan semuanya secara sempurna tanpa celah, hingga saya seperti manusia yang tak memiliki kekurangan. Tapi, semakin hari, semakin saya menyadari bahwa hidup saya seperti lingkaran hitam tak berujung. Saya yang selalu berlari dan kembali ke posisi awal saya memulai. Hidup saya yang datar mulai memiliki warna sejak saya mengenal satu orang yang berhasil mengenalkan saya bagaimana cara menikmati hidup. Hidup saya yang gelap perlahan memiliki cahayanya sendiri," kata laki-laki itu, menatap lukisannya dengan tatapan yang sulit diartikan.

Gadis itu bangkit berdiri, bertepuk tangan atas jawaban menakjubkan dari laki-laki di depannya. "Hebat! Makna yang dalam sekali. Kamu harus berterimakasih pada orang yang berhasil menambahkan warna selain warna hitam di hidupmu itu," saran gadis itu, melipat tangan di depan dadanya.

"Terimakasih," bisik laki-laki itu, menatap gadis manis di depannya dengan tulus.

Gadis itu tertawa kecil, berjalan mundur dengan tatapan menggoda pada laki-laki itu. "Sama-sama, semoga saranku itu bisa bermanfaat untukmu," ucapnya. "Ternyata, sahabatku ini bisa jatuh cinta ya?" godanya, membuat laki-laki di depannya mendengus geli.

Gadis itu tertawa lebar, dia tidak menyadari ada steger besi yang menopang beberapa balok kayu dibelakangnya. Alhasil, dia yang terus berjalan mundur terjerembab, tanpa sengaja menabrak steger yang berada di belakangnya. Butuh beberapa detik untuk gadis itu menyadari balok kayu di atas akan jatuh, kemudian menimpa dirinya dan laki-laki yang masih sibuk dengan lukisannya.

Semua berlalu dengan cepat, ketika tangannya menarik laki-laki itu menjauh lalu tersungkur sejauh satu meter dari steger bersamaan dengan suara benda jatuh yang beruntutan.

Tubuhnya berdenyut nyeri, rasa terkejut yang membuat kesadarannya perlahan menipis, laki-laki yang dia selamatkan sempat bangun, berusaha meraihnya sebelum akhirnya terjatuh dengan darah yang keluar dari belakang kepala karena terantuk ujung beton yang tajam.

Perlahan, dia mendengar namanya disuarakan dengan lemah oleh seorang laki-laki sebelum kesadarannya benar-benar menghilang.

"Fero...nichaDian...dra"[]    

Sepasang Pena UsangWhere stories live. Discover now