"Mungkin, dengan menenggelamkan diri di lautan pekerjaan bisa membuatku melupakan dirimu dengan perlahan."
GETARAN ponsel dalam saku celemeknya membuat kegiatan Feronicha Diandra terhenti. Tangan kirinya telurur mengambil ponsel kemudian menjepitkan diantara telinga dan bahu setelah menggeser lingkaran hijau.
"Iya, Di?" tanyanya singkat, sambil melanjutkan pekerjaan yang terhenti.
"Aku butuh bantuanmu."
Alis Feronicha mengernyit, meletakkan adonan pancake di tangannya setelah mendengar permohonan kakaknya, Priska Diandra, dari seberang telepon. Sebelah tangannya terangkat mengambil ponsel yang tadi terjepit di antara telinga dan bahu sehingga kepalanya bisa ditegakkan kembali. Feronicha memberi isyarat pada Silvia untuk meneruskan pekerjaannya.
"Bantuan apa?" tanya Feronicha, serius.
"Temani aku ke butik Aunt Winda," kata Priska dengan tenang.
Feronicha mengangkat lengan kirinya melihat jam yang masih menunjukkan waktu makan siang. Feronicha mendesah pelan. "Aku tidak bisa meninggalkan café di jam makan siang. Kamu tahu itu, Di," ucapnya, pelan, melirik bagian depan café yang tampak ramai.
Banyak yang keluar masuk café-nya, sebagian besar sekumpulan anak SMA yang asik mengobrol dan tertawa membuat beberapa pengunjung tersenyum melihat mereka. Ah, dia merindukan masa putih abu-abunya.
"Hanya sebentar, Ra. Apa salahnya kamu meninggalkan café untuk hari ini?" tanya Priska dengan nada kesal yang menyadarkan Feronicha. "Kamu bisa menitipkan café pada Ridho."
Feronicha memutar bola matanya jengah. "Laki-laki itu sedang mengecek stok bahan makanan di pantry," jelas Feronicha.
"Oh, ayolah, Ra," desah Priska di ujung sana. "Aku tidak ada teman ke sana. Kamu adikku, apa salahnya membantu kakak sendiri?"
Apa Feronicha sudah mengatakan bahwa kakaknya itu sungguh menyebalkan? Jika belum, maka Feronicha akan mengatakan itu sekarang. Priska adalah manusia paling menyebalkan yang pernah dia temui. Di tambah dengan title pemaksa yang sudah di raihnya sejak kecil, membuat Priska terlihat sebagai gadis tidak menyenangkan. Ralat, sangat-sangat tidak menyenangkan.
Oh, baiklah! Mungkin dia sudah keterlaluan dalam menggambarkan kakaknya. Well, mungkin Priska tidak semengerikan yang Feronicha pikir. Hanya saja, sifat pemaksanya yang membuat dia terlihat sangat menyebalkan. Feronicha mengambil napas panjang, sebelum kembali berdebat dengan kakaknya. Semoga kali ini kakaknya itu bisa mengerti.
"Di, mengertilah, café sedang ramai saat ini," kata Feronicha, memindah ponsel ke telinga kirinya.
"Kamu tega melihatku pergi sendiri?" ucap Priska dengan nada lemah.
Feronicha memijat pangkal hidungnya. "Kamu bukan anak kecil lagi, Di!" desahnya.
"Ayolah, Ra. Hanya hari ini," kata Priska dengan nada memohon. "Please."
Feronicha memejamkan mata berpikir, kakaknya itu benar-benar keras kepala. "Oke," jawab Feronicha, "hanya hari ini," lanjutnya, mengacungkan jari telunjuk, walaupun Priska tidak bisa melihat.
"No problem! Sepuluh menit lagi aku akan menjemputmu," kata Priska dengan nada senang.
Feronicha menurunkan ponsel setelah Priska memutus sambungan telepon tanpa menunggu dirinya selesai mengucapkan salam. Ia melangkah menghampiri Silvia yang telah selesai memindahkan beberapa pancake yang sudah matang dari loyang ke beberapa piring. Feronicha mendesah kemudian menjatuhkan dagunya di meja dapur, menimbulkan suara yang tidak begitu nyaring, mengingat meja dapur itu berbahan stainless steel.
YOU ARE READING
Sepasang Pena Usang
Teen Fiction(Telah terbit dalam novel SWEET SUMMER) Penulis: Premitaa "HIDUP saya yang datar mulai memiliki warna sejak saya mengenal satu orang yang berhasil mengenalkan saya bagaimana cara menikmati hidup. Hidup saya yang gelap perlahan memiliki cahayanya sen...