"Kenapa kau menyukai tato? Apa itu tidak sakit?"Taehyung mengelus permukaan kulit telanjang di bahu kanan Jungkook, tempat di mana tato sayap setengah iblis dan setengah malaikat berwarna merah dan hitam tertera jelas di sana.
"Sakit." Jungkook menjawab, masih dengan mata terpejam dan suara nyaris berbisik. Ia menikmati embusan napas Taehyung tepat di tengkuknya dan enggan menghancurkan momen berharga seperti ini.
"Lalu, kenapa masih mau melakukannya?"
"Karena sakitnya sebanding dengan hasilnya."
"Tapi dulu saat masih sekolah kau muntah cuma karena guru memukul lehermu dengan penggaris, bagaimana bisa kau bilang kulitmu yang ditusuk ribuan kali dengan jarum tato itu lebih baik?"
Jungkook tersenyum. Bagaimana Taehyung masih ingat peristiwa memalukan itu lebih membuatnya takjub. Dulu dia hanyalah anak yang lemah. Ke mana-mana hanya membawa buku sketsanya dan menggambar kapan saja. Jungkook ingat saat itu pelajaran sejarah dan ia sangat mengantuk. Menggambar atau kaligrafi lebih memantik minatnya ketimbang mendengarkan suara guru laki-laki yang bicara tentang pandangan politiknya alih-alih tentang sejarah china yang sebenarnya.
Ia hanya tidak menyangka, keasyikan dengan pena dan sketsa acak tanpa bentuk itu sangat menyita perhatiannya hingga lupa guru tidak menyenangkan itu sudah berdiri di sampingnya. Merebut buku sketsa Jungkook, merobek sekuat tenaga dan mencampakkannya ke luar jendela. Setelahnya, ia hampir tidak ingin mengenang hal buruk itu. Guru itu mengeluarkan penggaris besi dan memukul pantat, punggung hingga ke bagian tengkuknya. Ia merasa malu, merasa dicurangi, merasa bahwa dunia menertawakannya saat penggaris dingin itu melecut kulitnya. Bagian paling memalukan, Jungkook muntah setelahnya. Sangat menjijikkan, tapi juga sangat menyedihkan.
Hari itu hari ulang tahunnya, terakhir kalinya mendiang ibunya memasak sup rumput laut untuknya. Satu-satunya menu sarapan yang paling 'mewah' selama 17 tahun hidupnya tinggal berdua dengan sosok ibu yang lebih sering menyumpahinya ketimbang memasakkan untuknya. Ia merasa menyesal, bahkan makanan berharga itu pun menolaknya dan memilih keluar dari lambung melewati kerongkongannya dan dimuntahkan dalam bentuk cairan kuning kecoklatan.
Teman-temannya bergidik, menatap jijik ke arahnya setelah jam pelajaran usai. Ia mengira masa remajanya sudah tamat setelah peristiwa memalukan itu. Lalu, ia ingat sosok Taehyung yang berjalan masuk menenteng ember berisi air dan lap pel. Mengelap muntahan Jungkook tanpa sedikit pun merasa jijik, memerintahkan teman yang lain untuk minggir dengan suara beratnya yang terdengar begitu seram saat ia marah. Sejak saat itu, pandangannya terhadap Taehyung tidak lagi sama.
Bagi Jungkook, Taehyung adalah malaikat, sekaligus iblis dalam dirinya. Satu-satunya sosok yang menjadi alasannya untuk merajahkan tato di bahu kanannya. Meski ia tahu, ia sangat menderita saat pertama kali jarum mesin tato itu menusuk kulitnya ribuan kali. Ia hampir pingsan saat mendapatkan tato itu. Yah, bagian itu ia tidak akan pernah menceritakan pada Taehyung karena sangat memalukan.
Jika ada yang bertanya, jawabannya selalu sama. Tattoo itu adalah hidupnya. Sama seperti keberadaan Taehyung. Jungkook merasa terselamatkan... Sekaligus juga dikutuk. Namun, siapa yang peduli tentang kutukan. Jika artinya Taehyung adalah iblis yang membimbingnya ke neraka, Jungkook hanya perlu mempersiapkan diri supaya perjalanan ke neraka ini terasa menyenangkan.
"Taehyung, kau sudah bangun? Atau kau mengigau dengan memberiku pertanyaan?"
Taehyung tidak menjawab. Jungkook yang memunggungi Taehyung kini berbaring menatap sosok yang tidur dengan menekuk tubuhnya. Persis seperti anak kecil. Bulu mata Taehyung yang panjang selalu membuat Jungkook merasa takjub. Bagaimana bisa seorang pria dewasa bertubuh tinggi besar seperti dia memiliki mata besar dan senyum kekanakan yang memikat.
Jungkook menunggu beberapa lama sampai Taehyung kini membuka mata. Bukan lagi mengigau seperti sebelumnya.
"Kau sudah bangun? Apa kita masih bicara soal tato? Kalau kau mau, aku bisa membuatkan tato untukmu," goda Jungkook, mengacak-acak rambut Taehyung yang sudah kacau jadi makin berantakan.
"Nah, itu tidak perlu." Taehyung bangkit dari tempat tidur Jungkook, lalu memakaikan kaus tipis bergambar klub sepak bola. Menutup permukaan kulit melanin yang sedikit lebih gelap dibandingkan kulit orang Korea pada umumnya. Kulit yang hampir sama polosnya dengan pemiliknya karena tidak ada jejak-jejak tinta yang dirajahkan di atasnya. Tidak seperti Jungkook. Sudah enam tahun lamanya sejak ia membuat tato sayap malaikat dan iblis untuk pertama kalinya. Sejak itu pula, kecintaannya pada tato semakin besar dan sudah ada lima belas tato di seluruh bagian tubuhnya. Besar atau kecil. Hasil eksperimen dengan studio tato murahan atau paling mahal sekalipun. Karya orang lain dan juga karyanya sendiri sebagai seniman tato.
"Kenapa kau buru-buru pergi? Tinggal lah lebih lama," gumam Jungkook, masih berusaha keras membuka mata, menatap Taehyung yang kini sudah berpakaian lengkap. Wajah bengkak karena kantuk yang masih menggantung belum sepenuhnya lenyap dari ekspresinya.
"Aku tidak bisa. Aneh juga, bagaimana bisa semalam aku datang ke studiomu? Apa aku mengetuk pintumu?"
"Kau punya kunci studioku, sejak kapan kau ketuk pintu? Mungkin kau mabuk. Saat kau mabuk, kau biasa menyusup ke kamar siapa saja." Jungkook menegakkan duduknya. Menikmati pemandangan di hadapannya yang memperlihatkan pemuda berwajah cemas dan bingung.
Taehyung mengangguk. "Mungkin juga."
Jungkook sendiri pun tidak ingat semalam, kapan Taehyung datang dan menyusup ke tempat tidurnya. Tidak ingat juga persisnya apa yang dikatakan pemuda yang memiliki fitur wajah paling sempurna yang pernah dilihatnya itu saat Jungkook sudah terlelap tidur dan merasakan punggungnya hangat karena kehadiran Taehyung, sekaligus salah satu kakinya terasa dingin karena artinya ia harus berbagi selimut yang sama di ranjang sempit ini.
"Mungkin juga kau sangat memikirkan aku sampai kau tidak sadar datang kemari saat kau mabuk," ujar Jungkook. Ia menikmati kebingungan Taehyung yang mondar-mandir memungut kunci, jam tangan, coat dan tas yang berpencar ke segala penjuru ruangan.
"Yah itu... Kau tahu, Jungkook? Jangan bicara seperti itu."
"Seperti apa?"
"Seperti itu. Yang kau katakan barusan itu..." Taehyung terlihat sangat keberatan. Jungkook tidak bisa memprediksi apa pun dari ekspresi cemas.
"Memangnya apa yang aku katakan?"
"Kau bilang kau---"
Taehyung tidak melanjutkan dan memilih untuk mengenakan mantel musim gugurnya dan masuk ke kamar mandi hanya untuk membasahi rambutnya sedikit.
"Aku pasti sudah gila," gerutu Taehyung.
"Aku setuju. Lain kali, kalau mabuk... Kau mungkin harus menyewa sopir yang harusnya kau minta langsung mengantarmu pulang," ujar Jungkook memberi saran.
"Tentu saja. Yang seperti ini tidak akan terjadi lagi."
"Hei, hei... Santai saja. Aku tidak marah kalau besok-besok kau akan melakukannya lagi. Kau sudah punya kunci studioku, manfaatkan saja sesukamu."
Di situlah Jungkook merasa ekspresi Taehyung sukar untuk ditebak.
"Kenapa? Apa aku salah bicara?"
Taehyung menggeleng. "Tidak."
"Lalu kenapa kau memasang muka begitu? Kita bukan orang asing lagi."
"Aku tahu, tapi aku tidak bisa lagi seenaknya seperti semalam."
"Kenapa?"
Taehyung menggigit bibir, menghindari tatapan mata Jungkook.
"Karena aku sudah bertunangan."
***to be continued***
*Drumroll....*
Akhirnya sekte pemuja bangtan punya cerita FF yang dipost pertama kalinya. Untuk FF edisi perdana ini bakal diisi cerita dari Kak LeaYunkicha
Uwuwuw... mimin deg-degan posting cerita FF Taekook ini. Takut baper-baper gimana. Stay tune terus ya. Bakal ada cerita atau FF keren dari member sekte yang nggak kalah kece.
Jangan lupa vote dan komen yah... mwah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Ink
FanfictionDi dalam goresan tinta itu, aku menitipkan rasa sepi, masa muda dan harapanku untuk kau tanggung. Kau yang menjadikan aku seperti ini, Taehyung. Aku tidak peduli lagi ke mana kau akan membawaku. Surga atau neraka tidak penting lagi. Hitam atau putih...