Prolog

295 31 1
                                    

Hari itu cuaca tak secerah hari kemarin, namun aku masih saja setia berjalan kaki pulang sekolah meski mama berkali-kali mengingatkanku mang Otoy si ojeg langganan sudah menunggu di depan sekolah. Aku terlalu suka lingkungan ini, lingkungan tempat kelahiranku, kota Bogor yang lembab dan jalan yang menghijau menuju rumah.

"Dy... Tungguin gue!!!" seru Shanti merangkul bahuku.

Namaku Anindya Harumi, saat itu kira-kira aku berusia 12 tahun. Di tahun terakhir aku berseragam SD, tepat di hari kelulusanku, aku banyak membantah mama. Contohnya ketika mama menjemputku dengan mengirim bang otoy aku memutuskan berjalan saja. Seolah aku tak akan bisa lagi melewati jalan ini, seolah aku beranggapan bahwa ketika SMP kelak aku tidak akan lagi menemukan jalan indah seperti ini.

"Dy, lo enak bisa langsung keterima di SMP 1, lah gue harus tes dulu." ungkapnya. Aku tersenyum.

"makannya biarpun ketiduran lo harus bisa jawab." ledekku.

"Emangnya gue sejenis lo apa." rengeknya. "kita sekolah di swasta aja deh biar ga ribet. Kita bareng-bareng terus."

"ya gak bisa San, lo kan tau cita-cita gue apa..." jawabku segera.

Yah cita-cita yang cukup tinggi, aku ingin menjadi seorang pilot, aku selalu bermimpi bisa terbang keliling dunia, bersama mama, papa dan Letisya Hamimi adikku yang kini masih TK. Keluarga kami cukup sedehana namun bahagia, meski kami tak pernah naik pesawat untuk berlibur, kami tetap bahagia. Untuk itu, sekali saja aku ingin mengajak mereka duduk di kursi VVIP dan ku bawa mereka terbang menuju Negara-Negara indah di dunia ini.

Di rumah....

Tiba-tiba kebahagiaan itu pudar sedikit demi sedikit....

Hari itu juga,

Aku mendengar pertengkaran hebat antara mama dan papa. Belum saja aku masuk, papa keluar dengan koper besarnya, tertegun menatapku.

"Maafin papa, Ka!" pintanya lantas berlalu setelah membelai kepalaku. Aku tak berusaha menghentikannya, anehnya aku penasaran dengan kondisi di dalam rumah.

Mama menangis meraung-raung sambil memeluk Tisya, bocah lugu berusia 5 tahun yang tak tau apa-apa turut menangis dalam dekapannya.

Inginku tanya Ada apa ini?

Namun melihat mama tampak terluka, aku tak pernah menanyakannya.

Seolah kepergian papa sejak saat itu menjadi bukti fatalnya kesalahan yang pernah ia buat, dan setelah 1 tahun berlalu mama hanya menangis dan terdiam.

Aku masih bisa sekolah di tempat yang ku inginkan, SMP favorit dan masih memberikan prestasi dengan luka yang ku bawa, dan rasa penasaran yang tak berujung.

Mama berkerja sangat keras, setiap hari ia jadi buruh pabrik untuk bisa menghidupi kami, biaya sekolah dan kehidupan sehari-hari. Ku dengar papa tak pernah lagi mengirimi kami uang sejak kepergiannya. Aku selalu melihat rasa lelah di mata mama, meski ia berusaha keras kami masih selalu berkekurangan.

Hingga hutang kami menggunung dan harus terpaksa menjual rumah agar setidaknya kami bisa hidup lebih nyaman tanpa tekanan si penagih hutang.

Berbulan-bulan kami mengontrak di sebuah kontrakan kumuh, lingkungan yang cukup menyedihkan. Hingga ku temukan seorang pria yang cukup mapan mendekati mama. Hanya tolakan yang ia terima, namun sungguh aku pun lelah melihat kemurungan mama hingga ku paksa akhirnya agar mama bersedia menerima laki-laki itu.

Kehidupanku semakin berubah setelah hadir suami mama. Kami hidup jauh lebih baik, namun setelah beberpa bulan ayah tiri yang kami yang kami panggil ayah harus bertugas ke Maluku.

Aku menolak ikut, begitupun dengan Tisya yang mengatakan ingin sekolah di Kota Nenek saja di Jakarta. Hingga kami di titipkan pada Nenek dan bibi kami di kota Jakarta.

Tentu, hidup kami berbeda dengan sebelumnya Nenek yang sudah tua renta tak bisa mengurusi kami. Begitupun bibi Lisa yang juga adalah adik mama yang sudah berumah tangga dan memiliki 2 putra kembar. Kami berdua lebih banyak membantu. Memberishakan rumah, mencuci piring, pakaian dan bahkan memasak.

Hingga nenek meninggal di tahun selanjutnya.

Hidup aku dan Tisya semkin berat dan sulit, mama selalu menanyai kabar kami via telpon atau videocall namun tentu kami tak mengatakan yang sebenarnya. Karena saat itu mama tengah mengandung. Kami khawair itu akan mengganggu kehamilannya.

Bukan bibi tak bersikap baik, tentu ia sangat baik, namun seiring bertambahnya anak bibi jadi semakin sibuk, apalagi saat suaminya tak bisa lagi bekerja. Saat itu juga kami harus memikirkan diri kami sendiri. Aku dan Tisya, serta kenangan menyakitkan yang selalu kami bawa... Entah bagaimana kami terus hidup dalam rasa perih tak berkesudahan.

Another MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang