Tiga

36 3 0
                                    

"Kak Benang Sari!"

Sambil terengah-engah, aku menoleh. Entah sejak kapan berlari mengelilingi lapangan voli selama sepuluh menit lantas membuatku kehabisan napas. Atau mungkin karena aku sudah lama tidak berolahraga? Mungkin saja. Ditambah lagi dengan melihat cecurut satu itu.

"Kak Benang Sari anak voli juga?" tanyanya pura-pura terkejut.

"Juga maksud lo?" aku meninggikan alis, tak berharap di hari pertamanya ia sudah menyombongkan diri menganggap dirinya sudah tergabung dalam ekstrakurikuler ini.

Beni tertawa renyah. "Ya... bisa dibilang gitu. Mulai hari ini sih."

Aku hanya tersenyum miring. Tak ingin menanggapi lagi, aku berbalik badan namun segera dicegat dengan panggilan dari Beni lagi.

"Jangan gitu dong eskpresinya abis lihat gue. Sinis banget." Beni tertawa setelahnya.

Melihat itu, aku berusaha untuk menjadi dingin. "Kenapa? Nggak boleh?"

Belum-belum Beni menimpali, seorang anak laki-laki tiba-tiba datang merangkul Beni hingga mereka berdua nyaris tersungkur. "Woi, Ben. Gue tungguin di depan, taunya lo di sini."

"Lo sih, kelamaan. Mending gue langsung ke lapangan ketemu Kak Benang Sari."

"Oh, ini Kak Benang Sari? Maksud gue, Kak Sari?"

Aku hanya membalas dengan senyum sekedarnya.

"Ini Rahmat, Kak. Yang sering gue ceritain," katanya santai, seolah kami sudah lama berteman.

Aku segera menepuk jidat. "Ngapain gue masih di sini?" gumamku. Meski namaku dipanggil-panggil karena lantas pergi tanpa pamit, aku memilih untuk melambaikan tangan ke udara sebagai jawaban sambil berlalu menuju tempat teman-temanku yang lain.

"Vin, minta air lo ya?" Tanpa menunggu jawaban, kutenggak air mineral itu hingga tinggal setengah botol.

"Lo nggak bawa emang?" tanya Vino sambil melakukan push-up yang entah sudah berapa lama ia lakukan. "Tumben."

"Ada." Pemandangan asing yang sebenarnya sudah pernah kulihat tahun lalu –melihat anak kelas sepuluh berbondong-bondong mendatangi lapangan voli –menarik atensiku sejenak. "Penerus kalian udah bergerak," ujarku tanpa mengalihkan pandangan.

Dalam waktu sekejap, Vino dan beberapa anak cowok yang mendengarku berhenti melakukan push-up. Mereka kelihatan seperti tengah mencari seseorang.

"Pada nyari apaan sih?" tanyaku penasaran.

"Cewek," jawab Fadli singkat. Seolah tak ingin kegiatan me-scan 'cewek' diusik.

"Kok nggak ada yang cantik sih?" keluh Bima. "Padahal ini yang gue tunggu-tunggu selama dua tahun terakhir."

"Lo pengen punya cewe yang bisa main voli kayak lo juga gitu?" tanya Gilang, menatap Bima keheranan. Sejenak mengalihkan fokusnya.

"Ya emang lo enggak?" Bima balik bertanya.

Gilang menggeleng.

"Terus apa dong?"

"Cuma pengen lihat yang bening-bening sambil main voli," Gilang menyengir lantas mengalihkan pandangan ke arah kerumunan anak-anak baru itu. "Pasti bakalan seru kalo panas-panasan sambil ngelihat cewek. Uuuhh... adem banget ngebayanginnya."

Aku menggeleng-gelengkan kepala melihat reaksi teman-temanku. Tiba-tiba ada seorang anak perempuan berambut panjang yang kuduga juga merupakan anak kelas sepuluh yang berlari menuju ke arah... Beni. Perempuan itu menyerahkan tas kecil yang ia jinjing sambil berlari tadi dan sebuah handuk kecil. Mengapa aku bisa melihatnya sampai sebegitu detail? Salahkan saja lapangan voli yang tidak sebesar lapangan bola kaki ini.

Suara peluit melengking membuyarkan fokusku. "Semuanya! Kumpul!" perintah pelatih kami.

***

"HAAAAAAAA.... KENAPA SIH DIA HARUS SELINGKUH DARI GUE?!" tanya Ira pilu sekaligus murka.

Kami berlima punya kebiasaan berkumpul karena tiga alasan. Pertama untuk bersenang-senang bersama, kedua untuk mengerjakan tugas bersama, ketiga untuk berduka bersama. Untuk kali ini kami berkumpul karena alasan ketiga. Tiba-tiba Ira mengirim satu foto di grup kami berlima yang dengan jelas menjelaskan apa yang terjadi.

"Ra..." Rani, makhluk paling bijaksana di antara kami semua mulai beraksi. "Lo tenangin diri dulu. Kalau keadaan lo kayak gini terus, masalah nggak bakal selesai dan elonya bakal capek."

Aku manggut-manggut, "Iya, gue ju–"

"GIMANA GUE BISA NENANGIN DIRI RAN?! MANUSIA SIAPA SIH YANG BISA TENANG KALAU DISELINGKUHIN?!"

"Manusia mana, Ra. Bukan manusia siapa," koreksi Tina seraya mengikat rambut Ira ke belakang. Mungkin untuk membuatnya tidak merasa kepanasan sehingga lebih bisa tenang.

"YA ITU MAKSUD GUE!"

Kami berempat hanya menghela napas. Memang agak sulit untuk menenangkan Ira bila kondisinya seperti ini. Tapi kami tetap berusaha.

"Ya udah lo nangis sepuas lo malem ini. Tapi cuma buat malem ini."

Penuturan Rani membuat Intan, dan Tina menoleh ke arahnya serempak, tidak yakin dengan ide spontannya. Berbeda denganku yang berpikir itu ide yang pantas untuk dicoba. Segera kuambil gitar yang ada di sudut kamar Ira dengan beralasan ingin latihan.

Ira melanjutkan ceritanya mengenai Fadli –pacarnya –sambil terisak-isak kepada kami semua yang ada di sana. Sengaja kupetik pelan gitar yang ada di pangkuanku agar mata Ira semakin berat lalu tidur. Sesekali Rani dan Tina menjawab pertanyaan-pertanyaan Ira dengan super hati-hati. Hanya Intan yang diam saja malam ini. Aku takut ia meledak sebentar lagi. Anak itu punya kebiasaan aneh.

Setelah Ira benar-benar tidur, barulah kami berlima berdiskusi. Beruntung kami belum mengantuk, berhubung sekarang sudah pukul dua pagi.

"Fadli udah kelewatan banget, guys. Gue nggak terima Ira diginiin sama cowok itu." Rani menghembuskan napas berat.

"Nggak punya otak emang!" seru Tina.

Sejenak, aku berpikir. "Terus kita bakal ngapain?"

Intan tiba-tiba mengambil ponsel Ira yang tergeletak di hadapan pemiliknya. Berhubung kami berlima tahu password ponsel Ira, Intan segera memasukkan passwordnya dan memeriksa chat Ira dengan Fadli.

"Lo mau ngapain?" tanya Tina.

"Mau meriksa penyebab Fadli selingkuh?" tebakku.

"Yep," Intan menanggapi sekilas.

"Tapi, mau apapun alasannya, keputusan Fadli sama sekali nggak bener," ujar Rani.

"Gue tahu Ran. Setelah ini kita bakal tahu gimana caranya ngebales itu anak." Intan tiba-tiba menatapku, membuatku sedikit kaget karena perubahan posisi kepalanya yang sebelumnya menekuri ponsel secepat kilat memutar kepala menatapku. "Lo stalk selingkuhannya Sar." Kepalanya berputar lagi, menatap Rani, "Lo stalk Fadli." Terakhir, ia memutar kepalanya, menatap Tina. "Lo stalk temen-temennya Fadli dan temen-temen selingkuhannya."

Perintah itu segera mendapat persetujuan dariku dan Rani.

"Kok gue banyak banget sih?! Ih, nggak adil!" Tina meronta-ronta.

Kami bertiga serempak mengangkat jari telunjuk ke depan bibir, meminta Tina untuk tidak berisik.

Tina mengerucutkan bibir.

Selama beberapa menit kami mengerjakan tugas masing-masing dan mencatat apa saja yang kami dapatkan. Fakta yang kami dapatkan sangat banyak sekaligus membuat kami tidak habis pikir. Misalnya fakta bahwa selingkuhan Fadli adalah anak kuliahan yang super sexy, kampusnya tidak terlalu jauh dari sekolah kami, perempuan itu sering pergi ke club malam, rata-rata temannya adalah orang-orang menyeramkan versi kami (bertato, suka minum-minum, sering ke club malam), dan Fadli sudah lama berhubungan dengan perempuan itu jauh sebelum ia berpacaran dengan Ira.


***

April 16, 2020

A.n

Komitmen buat nulis rutin itu kok susah bener ya?

Namanya BeniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang