Awan gelap menangis tersedu sedu, mengerang, dan meneriaki seisi bumi. Gelap malam mengamini amarah awan. Ruang dan waktu bersekongkol untuk menambah waktu berteduh para pengendara motor dibawah fly over jombor.
kabut kabut hitam itu semakin marah. Membuat hati para ibu yang berteduh gelisah. Anak anak yang sudah begitu ingin menikmati makan malam, merengek serta merintih menahan rasa lapar di perut mereka. Beberapa yang tak pengertian, mengerang seperti janda yang baru ditinggal mati suaminya. Sementara, kata Yogyakarta dalam aksara jawa itu berkelip-kelip dengan konstan. Bagi sebagian dari kami itu penyemangat menanti badai. Sebagian lain, itu hanyalah lampu yang berkedip dan mengejek seperti barongsai yang genit dan menyebalkan jika ditonton saat sedang putus cinta.
Underpass itu juga dimanfaatkan untuk berteduh, Lampu kuningnya bisa menjadikan syahdu muda mudi yang sedang apes terjebak hujan ketika memadu cinta mengendarai sepeda motor berkeliling jogja. Membuat risih orang yang ikut berteduh sambil melihat mereka bersenda gurau tampak seakan dunia milik mereka, selalu senang dan bahagia. Apalagi lajang yang berumur sudah cukup untuk menikah. Panas hati menciptakan kontras ditengah hawa dingin yang dibawa badai.
Dan aku. Duduk di pos polisi. Bersama Bidadari, yang hanya ada dalam benakku. Polisi menahanku dari sebelum hujan. Orang tuaku tak mau menyusul kemari. Aku yang hendak lari, tak bisa memikirkan cara. "utekku ngancing" begitu batinku tiap kali memikirkan cara lari.
Apes. Simku masih harus menunggu setahun lagi. Knalpot motorku sudah tak standar sejak sebelum di beli oleh bapakku. Dan di hari motorku lulus dari sekolah bernama bengkel, jalur khusus mobil menjadi pilihanku untuk melaju dengan kencang . Di lampu merah, seorang polisi berjalan dengan santai kearah motorku. Mengajakku menepi ke posnya, kupikir aku diajak berteduh. Ternyata kebodohanku mengantarku pada penantian yang terasa tak berujung.
Bapak, maupun ibuku tak mau lagi mengangkat telepon. Uangku habis, kubelikan lampu baru yang begitu ciamik. Stnk motorku tertinggal, di dalam tas dibawah bangku dikamar. Tak ada orang dirumah yang mau mengantarnya. Pilihanku di pos ini ada dua, Motor ini diangkat atau bayar denda, tetapi mengingat uangku yang tidak cukup untuk membayar bahkan hanya satu pasal saja, pilihan kedua kuganti. Menunggu polisi ini kasihan dan memperbolehkan aku pergi.
Pukul 8 malam. Orangtuaku masih saja tak peduli. Polisi juga masih ingin menunggu. Jombor... aku tak akan lupa tempat ini, meski nanti pos semi permanen di depan restoran waralaba amerika ini dibongkar, aku akan ingat semua susunan di tempat ini. Aku yang memandang tulisan Yogyakarta itu dari seberang jalan yang di hantam hujan yang ukuran tiap tetesnya sebesar bongkahan batu. Menciptakan bunyi dramatis tiap mereka menyentuh atap pos semi permanen ini.
Aku memutuskan meninggalkan motorku disana. Berjalan menembus hujan, menaiki bus transjogja sampai ke halte smsr smm atau smki, terserah apa kalian menyebutnya, kemudian berjalan ke tegal senggotan. Kampung rumahku berada. Aku masuk ke kampung lewat selatan sekolah seni menengah termegah yang kutahu itu, tentu saja berjalan kaki. Aku bisa melihat tembok sekolah yang di coret coret anak anak penyuka andrenalin. Begitupun tembok rumah warga. Sampailah aku dirumah, dengan menghabiskan lembaran uang terakhir yang seharusnya kubelikan nasi dikantin besok siang.
Kubuka pintu depan, salim ke ibu dan bapak, yang bersikap seakan tak ada satu hal pun yang terjadi, meski bajuku basah kuyup. Aku masuk ke kamar, mengambil stnk. Aku mengambil payung yang ada dibawah sofa depan. Payung itu milik seorang kawan sekelasku. anak perempuan, ia memiliki nama yang begitu indah. Sonata Putri Darmawan. Ia meminjamkan payung merah muda itu padaku kemarin sore, sebelum aku pulang jalan kaki dari kerja kelompok di sebuah cafe, dekat dengan rumahku. Ia mengambilkan payung itu dari dalam mobil kuning yang ia kendarai tiap hari.
Kemarin aku harus jalan kaki, karena sepeda motor itu masih di bengkel. Dan apesnya setelah dia sehat, aku harus berjalan lagi. Bahkan berkali lipat lebih jauh.
Baterai di telepon gawaiku masih cukup banyak, Aku masih bisa menelpon kawanku jika kakiku tak kuat menempuh ribuan langkah kaki ini. Hujan menusuk tulangku dengan hawa dingin.
Andai Sonata ada di sisi ku sekarang, kami bisa membicarakan tugas itu. Atau mungkin kami bisa membahas apa saja. Ekonomi, Dunia, Wabah korea, Wabah penyakit yang mungkin menyerang umat manusia. Atau sekedar canda soal kehidupan.
Aku menerawang pantulan titik hujan diaspal. Menyelami segala bentuk cobaan malam ini, mencari makna atas segala yang telah terjadi.
Aku masih di jalan bugisan. Mobil kuning melintas, menembus hujan. Dan lampu rem menyala terang dengan perlahan.
Berhenti di bahu jalan. Seorang gadis turun dari pintu pengemudi. Sonata.... kaukah itu?
"Sonata" itu ternyata orang lain. Hujan telah mengajakku berkhayal. Seorang ibu dari anak berusia paud tak mungkin Sonata. Lagipula, aku tak hafal nomor plat mobil yang baru kulihat satu kali itu.
Kaki mulai merasakan aspal, sepatu basah ini sudah tak terlalu memberi jarak antara aku dan kasarnya aspal jalan. STNK yang kubungkus dengan plastik untuk membuat es batu ini masih aman di kantongku. Payung milik sonata masih menemaniku dari rasa sendiri. Setidaknya payung ini lebih tegak dari pendirianku untuk tetap berjalan. Berjalan sambil terus fokus menatap aspal. Yang ternyata 20 kali lipat lebih membosankan daripada berjalan sambil melihat pemandangan sekitar.
Tulangku terasa seperti berdecit satu sama lain, bunyi kereta yang berjalan diatas rel gantung itu masih terdengar dari depan kantor samsat. Tujuanku terasa masih duapuluh dua ribu langkah lagi, walau mungkin tak sejauh itu.
Sonata yang kini mungkin sedang tidur dirumahnya, memenuhi pikiranku. Menemani fantasiku menembus awan hujan, melewati sela diantara bintang bintang. Tertawa lepas menikmati cahaya galaksi bimasakti. Sonata, kenapa kau mendadak menjadi candu? Sonata...
Aku sudah mulai menyesali punggungku yang tadi dengan tegas menolak pinjaman uang untuk naik ojek online, seorang polisi menawarkan itu padaku. Sementara punggung serta nalar bodoh remaja ku memilih berjalan. Ku lihat raut wajah petugas itu memerah, menahan tawa. Begitu pun polantas lain. Kini rasanya punggungku adalah bagian tubuh terputus dari kaki yang terus bergerak, berjalan menikmati rasa sakit dan denyut otot yang terus meraung dan meraung.
Aku yang berusaha untuk tetap kuat, berjalan lemas menembus hujan yang sejak awal ku sapa sebagai badai. Akhirnya melewati jalan magelang dengan penuh rasa sakit di persendian yang kedinginan. Jaket yang baru tadi kupakai dari rumah, sudah tak terasa menempel dikulit. Dingin ini hampir sama seperti mandi pagi di awal bulan Juli.
Tulisan itu sudah terlihat, tulisan jawa berkelap kelip itu...
Aku hampir menangis ketika melihat bahwa pos polisi itu sudah didepan mata. Aku menyebrang jalan dengan hati hati dan sangat kedinginan. Aku bertemu petugas itu lagi. Untunglah, benakku.
Kuberikan STNK itu dengan bahasa sesopan mungkin. Pak Rendi bertanya, "Kenapa ini STNK mobil?". Mendadak Sonata jatuh dihadapanku, bersama dengan langit dan bintang. Aku duduk diam. Dadaku sesak.
Lunglai. Aku berjalan keluar dari pos itu. Mengambil STNK mobil bapakku tanpa bicara, membuka payung. Dan berjalan lagi.
Sonata... Rasa sakit ini, dan payungmu telah membuatku jatuh cinta. Aku bisa melihat restoran diseberang jalan. Hotel dan mall itu... juga pusat grosir terkenal itu. Aku berjalan sambil membayangkanmu, iya kau Sonata. Aku, Arman Fidelio. Jatuh hati padamu, karena payung....
BRAK mobil bak berwarna putih itu menabrak tubuhku, Aku menangis. Menangis melihat payung itu terlepas dari peganganku. Klakson mobil berbunyi keras, dingin air hujan perlahan menjadi hangat. Pikiranku hanya satu.
Sonata...
YOU ARE READING
the truth behind the lie
Randomsebuah kebenaran yang disampaikan dengan buruk, akan terlihat seperti sebuah kebohongan. Dan kamu akan menjadi saksi dari ribuan mimpi (yang diimpor) dari negeri 1001,5 malam (Sebuah antologi, dan perkembangan seorang penulis amatir)