Part 24 (Part sebelumnya ada di @florenciaputri99)

2.5K 29 3
                                    

Gw otw ke rmh lo. 15 mnt lg smp.

Tari membaca SMS Angga itu dengan kening berkerut. Dan nggak sampai lima belas menit kemudian cowok itu sudah sampai di depan rumah Tari. Raut mukanya keruh.

"Jalan yuk?" ajak Angga langsung.

"Sekarang?" Tari menatapnya bingung.

"Iya," Angga mengangguk. "Ada yang mau gue omongin. Penting. Gue yang maintain izin ke nyokap lo deh."

"Nggak bisa diomongin di sini?"

"Nggak bisa!" Angga menggeleng tegas.

"Bentar deh, gue ganti baju dulu."

"Gitu aja, Tar. Nggak pa-pa. kita nggak pergi jauh kok. Pake jaket aja biar nggak dingin."

Masih dengan sepasang mata yang menatap Angga dengan sorot tak mengerti, Tari mengangguk. Kemudian dia balik badan dan berjalan ke dalam. Tak lama dia muncul kembali, kali ini dengan tubuh terbungkus jaket jins.

"Nyokap mana? Mau minta izin.:

"Tuh." Tari menggerakkan dagunya ke belakang. Tak lama kemudian mama Tari muncul.

"Selamat malam, Tante," Angga menganggukkan kepala dengan santun. "Mau minta izin ngajak Tari keluar sebentar."

"Ke mana?" tanya mama Tari dengan kening sedikit mengerut.

"Cuma deket-deket sini aja kok, Tan."

"Jangan lama-lama ya?"

"Iya, Tan," Angga mengangguk, kali ini sambil tersenyum. "Yuk, Tar," ajaknya.

"Pergi dulu ya, Ma," sambil mengikuti langkah Angga, Tari menoleh sesaat ke arah mamanya. Wanita itu mengangguk.

Mereka memang tdiak pergi terlalu jauh. Angga menghentikan motornya di tepi lapangan rumput tidak jauh dari mulut kompleks tempat tinggal Tari. Sedikit tempat terbuka yang masih tersisa di Jakarta yang mulai dipenhi hutan beton.

Angga turun dari motor, setelah sebelumnya dibantunya Tari turun. Kemudian cowok itu maju beberapa langkah, meninggalkan Tari di belakang.

Butuh beberapa saat keterdiaman sebelum Angga sanggup mengatakan, karena ini adalah kekalahannya. Mengatakan terus terang pada seseorang yang harus dia lepaskan akibat kekalahan itu jelas telah membuatnya merasa lebih kalah lagi. Apalagi orang itu adalah satu-satunya pion yang dia miliki.

Angga mengertakkan giginya tanpa sadar. Satu kemenangan kecil tapi langsung diikuti satu kekalahan telak.

Tari tidak ingin mengusik. Dia sudah menduga pasti ada apa-apa, karena selama di atas motor tadi Angga juga Cuma diam. Sama sekali nggak ngomong.

Entah berapa menit sudah terlewat, ketika akhirnya Angga membalikkan badan sambil menarik napas panjang-panjang. Kemudian dihampirinya Tari, yang masih berdiri diam di sebelah motornya.

Berdiri menjulang di hadapannya, Tari bisa melihat keruhnya wajah Angga meskipun suasana di sekeliling mereka tidak terlalu terang.

"Mulai besok, gue nggak bisa jemput elo lagi, Tar. Maaf...," ucap Angga dengan suara berat.

Kedua mata Tari langsung melebar. Tapi dia tidak membuka mulut. Hanya kedua matanya yang menatap Angga dengan pertanyaan besar. Melihat ekspresi Tari, diam-diam Angga mengertakkan kedua rahangnya kuat-kuat.

"Gue punye sepupu di sekolah lo. Kelas sepuluh juga. Dan Ari tau."

Kedua mata Tari kontan melebar maksimal. Info itu sangat singkat, tapi cewek itu langsung mengerti situasinya.

"Kak Ari pasti ngancem bakalan ngapa-ngapain sepupu lo. Iya, kan?" tanyanya. Angga tidak menjawab. Tari mengangguk-angguk. "Ya udah. Mulai besok gue berangkat sendiri aja. Siapa nama sepupu lo itu?"

"Anggita. Kelas sepuluh tiga." Ketika mengatakan itu, tanpa sadar Angga memalingkan sedikit mukanya, tidak ingin menatap Tari.

Tari mengangguk-angguk lagi. "Ya udah deh. Daripada dia kenapa-napa, mulai besok mending gue berangkat sendiri aja." Tari mengulangi keputusannya.

Namun, Angga tidak saja bisa menangkap nada sedih dalam suara Tari, tapi itu juga terlihat jelas dalam helaan napas dan kepala Tari yang kemudian menunduk. Angga jadi semakin memaki dirinya sendiri atas ketidakberdayannya dan untuk satu-satunya kesempatan balas dendam yang dimilikinya.

Tiba-tiba Angga meletakkan telapak tangan kanannya di puncak kepala Tari. Dengan sedikit penekanan, diusap-usapnya rambut cewek itu.

"Jangan lo kira gue akan diem aja..."

Jingga dan SenjaWhere stories live. Discover now