Malamnya, Tari sedang duduk terdiam di depan meja belajarnya – masih memikirkan keanehan peristiwa siang tadi – saat ponselnya berdering. Seketika itu juga muka serius tapi muramnya berganti ceria saat mendapati nama yang muncul di layar. Angga.
"Hai, apa kabar?" sapa Angga begitu Tari mengangkat telepon.
"Baik."
"Beneran baik?"
"Iya. Emang kenapa?"
"Syukur deh kalo baik. Gue kepikiran elo terus."
"Emang kenapa?"
"Bego deh pertanyaannya," Angga menggerutu, tapi dengan nada lembut. "Takut lo diapa-apain Ari dan gue nggak bisa apa-apa."
"Oh, itu. Belom sih."
"Kok belom? Mau?" suara Angga mendadak jadi tajam. Tari tersentak.
"Eh, bukan! Bukan!" ralatnya buru-buru. "Maksudnya beberapa hari iniaman-aman aja. Gue juga nggak ngeliat dia. Gitu lho."
Terdengar helaan napas berat di seberang, kemudian hening.
"Ga?" panggil Tari hati-hati. "Gue nggak apa-apa kok. Baik-baik aja."
"Tu baik-baik aja paling juga nggak bakalan lama."
"Iya sih."
"Tar, lo jangan terlalu frontal sama Ari, ya?
"Y ague liat-liat lah. Kalo dia kelewatan, ya gue lawan. Enak aja."
Angga tertawa pelan.
"Janganlah. Sementara tahan diri dulu. Sampe gue dapet cara untuk bisa ngelawan dia lagi."
"Trus gue suruh diem aja, gitu?"
"Jangan terlalu frontal. Bukan diem aja."
"Kalo itu sih gue nggak bisa janji. Lo kan tau sendiri dia suka kelewatan."
"Iya, gue tau," suara Angga terdengar berat. Sesaat dia terdiam. Ketika kemudian kembali bicara, Tari menangkap sesal yang jelas dalam suaranya.
"Tar, gue minta maaf banget. Nggak bisa ngelindungin elo dari Ari. Dan terpaksa ngebiarin elo kayak gini, ngelawan dia sendirian."
Tari terdiam. Tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Kalimat Angga itu membuatnya sedih. Angga menarik napas lalu mengembuskannya dengan cara seperti ingin melepaskan sesak.
"Kalo inget, gue jadi benci diri sendiri."
"Nggak separah itu kok, Ga. Siapa pun yang ada di posisi lo pasti akan ngambil cara yang sama."
"Apa pun alasannya, tetep aja judulnya gue ternyata nggak bisa, nggak mampu..."
Dua-duanya kemudian terdiam. Sampai Angga kembali buka suara, Tari tidak berhasil menemukan kalimat yang tepat untuk menghibur cowok itu, untuk mengatakan bahwa hal itu bukan apa-apa.
"Gita kirim salam buat elo. Dia juga minta maaf."
"Oh..."
"Udah ketemu?"
"Nggak. Gue sengaja nggak pingin tau yang mana orangnya. Biar dia nggak tambah kenapa-napa."
Angga menarik napas. "Tambah feeling guilty gue dengernya," desahnya. "Baik-baik lo ya. Inget, kalo bisa lo hindarin konfrontasi sama Ari. Ya?"
"Iya."
"Gue kuatir banget sama elo."
"Iya," kali ini kata itu keluar dari bibir Tari dengan suara lirih. Pembicaraan ini membuatnya nelangsa.
"Kalo ada apa-apa, cepet kasih kabar ke gue. Oke?"
"He-eh."
"Ya udah. Met tidur. Jangan lupa jendela ditutup trus dikunci."
"Iya." Tari mengangguk lemah.
Angga menutup telepon. Tapi ternyata Tari kemudian mendapati pembicaraan itu membebani pikirannya. Yang mulanya hanya rasa nelangsa berubah jadi kemarahan pada keesokan paginya.
***
YOU ARE READING
Jingga dan Senja
RomanceJingga dan senjaTari dan Ari, dua remaja yang dipertemukan oleh takdir. Selain bernama mirip, mereka juga sama-sama lahir sewaktu matahari terbenam. Namun, takdir mempertemukan mereka dalam suasana "perang". Ari yang biang kerok sekolah baru kali in...