"Banci banget tu orang!"
"Sst! Jangan kenceng-kenceng!" Fio langsung menempelkan satu telunjuknya di bibir. Dilihatnya sekeliling. Untung kelas sudah sepi. Tinggal tersisa segelintir orang.
"Emangnya apa namanya, bawa-bawa cewek gitu, kalo bukan banci?" Tari menatap Fio dengan kedua alis terangkat tinggi.
"Iya sih. Tapi jangan kenceng-kenceng. Takutnya ada yang denger trus nyampe ke Kak Ari."
"Gue nggak takut!" tandas Tari.
"Mending ke kantin aja yuk. Gue laper." Fio buru-buru mengalihkan pembicaraan. Ditariknya Tari sampai berdiri lalu digandengnya ke luar kelas.
Sejak Angga terpaksa mundur karena keberadaan sepupunya terbongkar, Fio sadar Tari selalu berada dalam keadaan emosi yang siap meledak. Soalnya sejak itu kalimat "Ari banci!" sering banget keluar dari mulutnya.
Karena itu Fio sekarang jadi makin melekatkan diri ke Tari. Bukan apa-apa. Takut Tari kelepasan ngomong. Soalnya kalo sampai didenger Ari, yang ada pasti huru-hara lagi. Rame lagi. Heboh lagi.
Baru saja mereka melangkah ke luar kelas, Maya memanggil.
‗Tar, lo dipanggil Bu Pur tuh!"
"Ada apa sih?" Tari mengerutkan kening.
"Yeee, mana gue tau!" sambil meneruskan langkah Maya menjawab tak acuh.
Tari dan Fio balik badan, batal ke kantin. Sesampainya di depan ruang guru, Tari mengetuk pintu lalu masuk, sementara Fio menunggu di luar. Tak lama Tari keluar dengan tampang bingung.
"Ada apa Bu Pur manggil lo?" tanya Fio langsung.
"Itu dia. Bu Pur nggak manggil gue, tau nggak?"
"Lho kok?" seketika di kening Fio muncul lipatan-lipatan. Keduanya lalu meninggalkan ruang guru, berjalan dalam kebingungan.
"Waktu itu juga ada yang bilang gue dipanggil Bu Endang. Trus kapan itu, katanya gue dipanggil Pak Isman. Dan lo tau? Dua-duanya sama sekali nggak manggil gue. Aneh, kan? Pasti ada yang lagi ngisengin gue nih."
"Apa jangan-jangan Maya salah tangkap? Jangan-jangan buat Utari?"
"Mungkin." Tari mengangguk. "Mana guru-guru lagi pada makan siang, lagi. Malu-maluin aja. Gue sampe ditawarin makan tuh tadi."
"Ngomongin makanan, gue jadi inget, gue laper. Yuk ah, ke kantin. Baliknya baru cari Maya." Fio menggandeng tangan Tari, mengajaknya berjalan lebih cepat. Saat melewati kelas menuju kantin, Chiko, yang bersama beberapa anak cowok tetap tinggal di kelas, berseru memanggil Tari.
"Untung lo nggak ada, Tar. Tadi Kak Vero ke sini, nyariin elo."
"Hah!?" Tari terperangah. "Kapan?"
"Tadi. Baru aja pergi."
"Ngapain dia nyariin gue?" ditatapnya Chiko dengan cemas.
Chiko mengangkat bahu. "Nggak tau. Nggak bilang. Cuma nyari elo, trus tanya elo ke mana. Karena nggak tau, y ague bilang nggak tau."
Tari menatap Fio. Kecemasan juga ketakutan membayang jelas di kedua matanya.
"Iya nih. Kayaknya ada yang aneh. Thanks, Chik." Tari balik badan dan langsung berjalan ke luar kelas. Fio bergegas menyusul.
Sesampainya di kantin, Tari langsung menghampiri Maya yang duduk berkelompok bersama teman-teman cewek-cewek sekelas lainnya, asyik menyantap siomay. Tapi baru saja Tari siap buka mulut, Devi sudah lebih dulu meletakkan sendoknya lalu berseru pelan.
"Untung lo nggak ada, Tar. Tadi Kak Vero ke sini, nyariin elo!"
Seketika kedua mata Tari melebar.
"Dia ngomong apa gitu, nggak? Soalnya tadi Chiko bilang dia juga nyari gue ke kelas."
"Mana kami tau? Dia Cuma nanya-nanya elo di mana. Maya yang jawab."
"Iya, gue bilang aja elo lagi ke ruang guru, dipanggil Bu Pur," ucap Maya, yang sama seperti semua teman cewek sekelas yang saat itu duduk berkelompok,
menghentikan makannya begitu Tari muncul. Dicari-cari senior cewek yang paling beekuasa di sekolah jelas bukan masalah kecil. Dan itu membuat mereka jadi ingin tahu apa yang sedang terjadi.
"Gue jadi inget, kenapa gue nyari elo, May," Tari tersadar. "Lo dikasih tau siapa sih, gue dicari Bu Pur?"
"Emang kenapa?" Maya balik bertanya.
"Bu Pur nggak manggil gue, tau. Boro-boro manggil. Inget gue juga nggak."
"Masa sih? Kejem amat."
"Maksudnya, hari ini kelas kita kan nggak ada kimia. Jadi dia juga nggak mikirin kelas kita, apalagi gue. Gitu lho. Jadi ngapain juga manggil-manggil?"
"Gue sih nggak ketemu Bu Pur langsung. Cuam tadi pas abis bayar SPP, gue disamperin cewek. Kayaknya anak kelas dua belas, soalnya dating dari arah gedung selatan. Dia bilang, ‗Lo temen sekelasnya Tari? Kasih tau Tari gih, dai dipanggil Bu Pur tuh. Sekarang.' Gitu. Ya udah gue sampein ke elo."
"Yang dia maksud Utari, kali?"
"Bukan. Orang dia bilang Tari yang rambutnya panjang. Yang suka pake aksesori oranye."
"Tapi Bu Pur nggak manggil gue tuh." Tari menatap Maya dengan bingung.
"Aneh." Maya ikutan bingung. "Berarti tu cewek bohong dong? Tapi buat apa?"
"Ambil hikmahnya aja kalo gitu," ucap Devi. "Gara-gara itu kan lo jadi nggak ketemu Kak Vero. Coba kalo ketemu, gue nggak tau deh lo bakalan diapain sama dia, Tar."
"Iya! Bener! Untung lo nggak ketemu dia!" serentak seluruh teman Tari menganggukkan kepala.
Tari menatap Fio. Kebingungan semakin terlihat jelas di mukanya. Ada sesuatu yang aneh sedang terjadi.
YOU ARE READING
Jingga dan Senja
RomanceJingga dan senjaTari dan Ari, dua remaja yang dipertemukan oleh takdir. Selain bernama mirip, mereka juga sama-sama lahir sewaktu matahari terbenam. Namun, takdir mempertemukan mereka dalam suasana "perang". Ari yang biang kerok sekolah baru kali in...