Tua...

10 1 0
                                    

Temaram sore berteriak pilu di ujung pepohonan pinus. Langkah kakiku tak segan datang kerumah tua yang masih kokoh berdiri diantara belukar semak desa yang dahulu kala asri namun kini mati. Di beranda rumah tua itu kulihat seorang lelaki tua duduk bersimpuh. Aku tau, ruhnya sudah hilang, hanya jasmani saja yang ku tatap ada, sedangkan jiwanya entah dimana bersembunyi. Entah berapa lama, mungkin telah setengah abad badannya terhuyung huyung di keramaian, namun jiwanya tenang entah dimana. Lara, kulihat dia hanya diam, menyulut api rokok yang berasap asap sayup. Sudah tersirat sebelumnya, jika dia bicara, aku gagal paham. Tanpa harus bertanya, aku langsung masuk saja sambil memanggil sang penghuninya, menelusuri beranda hingga ruang tamu rumah tua ini. Namun, yang kudapati hanya kosong, lalu ku panggil lagi dan ku teruskan melangkah hingga ke tempat peribadatan penghuninya. Disana ku lihat mukenah kusam terlipat rapi di atas sajadah coklat tua, dan lagi, tiada raga yang kutemukan. Ku ayunkan lagi kakiku turun melewati jenjang batu berdebu, kusam lama tak disapu. Ragaku disambut perapiannya yang hangat, masih berbekas gejolak api yang sudah padam.

Di sudut bilik di dekat pintu, dia hanya duduk memandang ladang bayam kecil di halaman belakang. Dia yang dari tadi kupanggil namanya tidak menoleh dan tak sadar atas keberadaanku. Sekali lagi kupanggil dengan lantang, sontak dia terkejut lalu menoleh. Butuh sekian detik untuknya berpikir dan bertanya-tanya,

"Siapa yang ada disana? Anak siapakah dia? Apa gerangan yang terjadi hingga dia berdiri disana?".

Dari segelintir pertanyaan di pikirannya, hanya sekalimat yang terlontar.

"Siapa anak gadis berbaju gamis ini?" katanya parau.

Wajar saja dia tak tau dan tak mendengar, usianya sudah tiga perempat abad. Tua menjadikan kupingnya tuli dan sarafnya pikun.

"Ini saya, anak sulung pak Datuk dari rumah kandang", jawabku.

Selangkah dia berjalan, payah..., jemarinya mencari sebatang tongkat di dekat pintu. Wanita tua ini berusaha untuk berjalan selangkah lagi, bertopang pada tongkat kayu jati pemberian kakek kandungku yang sudah lusuh sering dipakai. Berhasil dia sampai di hadapanku. Tangan kanannya liar menggapai wajahku. Hampir sampai namun tak dapat, ternyata tua juga sudah membutakan matanya.

"Oo, kau anak pak Datuk, sudah besar ya? Kenapa kau tak pernah datang kesini? Tidakkah kau lihat susahnya aku berdua saja dengan pak tua mu? Siapa yang mengurusku? Aku sudah menyerah untuk hidup, anak-anakku jauh, entah dimana".

Dia menangis senang karena cucunya yang tua datang berkunjung, sekalian menangis sedih teringat anak anaknya yang rumahnya entah dimana. Namun jauh kulihat ke dalam matanya yang buta, sang pilu hiduplah yang memancing air matanya. Isaknya tidak keras, namun terdengar sakit. Dan lagi, lara, mengapa kau datang kepada wanita tua ini? Dia hidup hanya ditemani tongkat dan anaknya yang sudah cacat mental. Mengapa lara begitu kejam untuk singgah dan tak pernah melarikan diri dari dalam nurani wanita tua ini. Kupeluk dia dan laranya, lalu pergi.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 25, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Tua...Where stories live. Discover now