Chapter 3 ; losing

305 42 7
                                    

"Sore ini, Ketua Kim, Dewan Kehutanan Korea telah ditahan setelah diduga menerima suap, menggelapkan uang, dan menyalahgunakan kekuasaannya. Ekslusif dari rumah Ketua Dewan kini telah─"

Jungwoo menghela nafas berat. Kenapa juga ia harus menonton berita tentang politik di negaranya. Toh, dia tidak ada hubungannya dengan semua ini. Oh baiklah, sebut dia melarikan diri, tapi itulah cara satu-satunya. Dia tak pernah tahu, tapi mungkin lambat-laun orang-orang akan mengucilkannya dalam kehidupan sosial. Jadi, ia hanya tinggal menghitung hari sampai kapan ia akan aman sembunyi disini.

"Dengar, kau masih punya kami. Jadi tak perlu takut," Taeyong mengelus lembut rambutnya, memberikan kenyaman bagi temannya yang paling muda itu.

Jungwoo kembali menghela nafas berat, membenturkan badannya pada sofa yang untungnya cukup empuk untuk tidak melukai kepalanya. "Aku tinggal menghitung hari, dan semua akan berakhir, hyung."

Doyoung disana, dan hanya bisa terdiam. Dia sangat membenci para pejabat yang bermain-main dengan uang milik rakyat, tapi di satu sisi, Jungwoo bahkan idak paham apapun yang dilakukan ayahnya sendiri.

Korea Selatan terkenal dengan hukum sosialnya yang mengucilkan para penjahat koruptor dari pada membunuhnya secara langsung. Sebut saja beberapa mantan presidennya yang terbukti melakukan korupsi, mereka mengakhiri hidupnya sendiri karena hukuman sosial. Bukan hanya sang koruptor, tapi juga keluarganya terus menahan malu dan hidup kesusahan.

Jadi malam itu, setelah menyakinkan bahwa semua temannya tengah tertidur, Jungwoo pergi dari sana. Perlahan, orang-orang akan mengetahui keberadannya, dan ia tak ingin teman-temannya ikut masuk kedalam sanksi yang diberikan oranglain. Cukup dirinya yang bahkan tak tahu apapun dengan apa yang dilakukan Pak Tua itu.

b o y s n e x t d o o r

"Bagaimana? kau sudah dapat kabarnya?"

Ten menggeleng lemas, bahkan pesannya saja masih belum di terima oleh Jungwoo sedari pagi. "Jungwoo tidak memiliki banyak teman di kampus, dan aku tidak begitu banyak mengenal sanak saudaranya."

Taeyong mengangguk. Pagi tadi ia berpikiran bahwa mungkin Jungwoo punya kelas pagi jadi ia tak menemukan Jungwoo di pagi hari, tapi berita dari Doyoung dan Winwin membuat ia cepat-cepat menyelesaikan tugas kantornya.

"Temanku bilang mereka tidak memiliki kelas hari ini," begitulah yang disampaikan Doyoung dengan khawatir tadi siang.

"Kau pulang cepat?" tanya Ten yang masih berkutik dengan ponselnya mencoba kembali menghubungi Jungwoo.

"Ya, dengan terpaksa aku memberikan tugasku pada Jaehyun."

Ten hampir saja melemparkan ponselnya jika ia tak ingat harganya cukup mahal. "Seriously? What a kind of relationship do you two have?"

Sedikit informasi, tak ada yang mengetahui hubungan Taeyong dan Jaehyun, termasuk teman-teman dekatnya. Mengingat bahwa mereka sangat membenci tetangga yang mendapatkan cap 'menyebalkan' itu.

Taeyong sebisa mungkin menetralkan tingkah lakunya, berlagak seperti tak ada apa-apa diantara mereka. Jadi, dia mencoba untuk tidak mendapati mata menyelidik milik Ten dengan pura-pura sibuk menyeduh teh. "Dia anak magang di kantorku, so yeah, that's a kind of our relationship."

"Hm? aku ingin percaya padamu, tapi─"

"Oh, ayolah, Ten. Kita punya hal yang lebih penting untuk diselesaikan, bukan?"

"Yeah,"

Ten kembali berkutat dengan ponselnya, berharap Jungwoo setidaknya menerima pesan darinya. "OH! DIA MEMBALASNYA!"

Taeyong segera bangkit dari duduknya, menarik ponsel dari tangan Ten yang menampilkan pesan dari temannya itu. "For the sake of god, Ten?"

'Aku baik-baik saja, kalian tidak perlu mengkhawatirkanku. Tapi, terimakasih. Aku hanya butuh waktu sendiri, Aku akan baik-baik saja, Hyung."

Ten menghela nafas, setidaknya temannya itu mengabarinya. "Kabur dari tempatnya bersembunyi ketika kabur."

Taeyong mengangguk frustasi, dia sebenarnya tidak paham dengan apa yang dikatakan Ten. "Aku tetap mengkhawatirkannya."

Ten menepuk punggung Taeyong, menyalurkan rasa pedulinya. "Jungwoo cukup dewasa. Aku yakin dia akan baik-baik saja. Trust him, so he will trust us, ok?"

b o y s n e x t d o o r !

Doyoung kembali pulang sendirian─tanpa Winwin dan sudah pasti tanpa Jungwoo─lagi. Dia ingin sekali membakar Yuta karena dengan seenaknya menarik Winwin untuk pergi dari sampingnya. Ini sudah keberapa kalinya dalam seminggu? Doyoung ingin benar-benar ingin memberi pukulan pada perut pria maso itu.

Terkadang, ia tak ingin munafik, ia ingin benar-benar mengakuinya, ia iri pada Winwin. Seolah dunia benar-benar memilihnya, dan sangat memandang dirinya. Sementara Doyoung? orang-orang sudah biasa memanggilnya 'singa betina mengamuk' atau 'orang berkepala merah', karena kebiasaannya sendiri yang tidak bisa mengontrol emosinya. Tidak banyak orang yang berani mendekatinya untuk sebatas menjadi teman dekat meskipun Doyoung sendiri mencoba untuk ramah pada orang-orang disekitarnya.

"Kenapa melamun?"

"SIALAN!"

"Bicara yang cantik!"

Tapi orang disampingnya ini yang membuatnya terkejut setengah mati, apalagi jalanan menuju kawasan apartemennya benar-benar sepi karena memasuki jam malam. "Hah, Pak Tua ini lagi. Maaf, tapi hari ini Winwin tidak bersamaku."

Taeil tertawa sambil menepuk-nepuk tangannya, oh ayolah, bahkan Doyoung tidak sedang bercanda. "Aku tidak mencarinya,"

"Lantas?"

Taeil menghela nafas, udara musim panas memang yang terbaik. "Kebetulan saja bertemu denganmu disini."

Doyoung mendeliknya untuk beberapa detik, Taeil cukup rapih dan santai untuk dikatakan sebagai seseorang yang baru saja pulang bekerja, jadi sudah pasti dia tidak dalam perjalanan pulang sehabis bekerja. "Belanja?"

Taeil kembali terkekeh. "Memangnya aku terlihat menenteng plastik, ya?"

"Tidak."

Moon Taeil benar-benar tidak peka dengan maksud Doyoung, sudah jelas dia menanyakan 'kau dari mana?' dengan jalannya sendiri.

Doyoung jadi teringat sesuatu, dia kembali membuka suara, karena dilain alasan juga ia benci suasana canggung seperti ini. "Kuberi tahu ya, Winwin itu sudah punya kekasih. Jadi─"

Taeil menghentikan langkahnya. "Hei, tidak ada Winwin disini. Kenapa harus membicarakannya?"

Doyoung menyerngitkan dahinya keheranan, dia hanya ingin memberitahu saja, dimana letak kesalahannya. Lagi pula, ia tidak mengatakan hal yang tidak sepatutnya dikatakan. "Aku hanya ingin memperingati─"

"Bicarakan yang sedang berada disini," Taeil mengatakannya dengan sedikit penekanan, dan Doyoung dibuat bingung olehnya. "Kukira kau cukup pintar untuk memahami maksudku. Tapi, ternyata otakmu tidak sepintar yang kubayangkan"

"YAK!"

Mereka kembali menggelut dalam pikiran masing-masing. Sebenarnya, Doyoung hanya pura-pura bodoh saja. Dia hanya tak ingin membuka luka lamanya.

Dan tanpa disadari keduanya sudah memasuki gedung apartemen kecil yang sama-sama mereka huni. Apartemen dengan finansial yang cukup untuk mereka yang berkecukupan biasa-biasa saja. Pintu lift terbuka, Taeil masuk, sementara Doyoung masih berdiri; enggan melangkah masuk.

"Kenapa? kau melupakan sesuatu?"

Doyoung berdehem, menundukan wajahnya yang biasa ia angkat tinggi-tinggi. "Aku tidak suka terjebak di satu lift dengan suasana yang canggung."

Taeil tersenyum, melambaikan tangannya dan bersiap menutup pintu lift. "Ah, baiklah."

Dan pintu lift tertutup meninggalkan Doyoung yang berdiri sendirian disana, menghela nafas berat. Semuanya semakin berat. 

boys next door! // nct bxbTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang