Prologue

180 11 2
                                    

 Ketenangan, keheningan, kesunyian yang berasal dari ambang ketidaktahuan menyelimuti tubuhnya. Perasaan akan sesuatu yang hangat dan damai nan lengkang serta tak akan pernah berhenti meluas itu akhirnya berhenti bergerak, suara dari detak yang mengiringnya menghilang bagaikan ditelan oleh kegelapan itu sendiri.

Pandangan matanya melotot, penuh akan rasa keterkejutan, namun juga berpadu dengan amarah. Tatapan yang diberikannya pasti akan membuat segala keberadaan yang berada di hadapannya mengambil langkah seribu ke belakang dan berdoa untuk menghilangkan kenangan atas pengelihatan mereka.

Apa yang diinginkan oleh dirinya hanyalah sebuah kehidupan dimana dia bisa menjadi setara dengan orang lain, diperlakukan dengan baik, sebagaimana nasib membuatnya terus hidup di strata terbawah dari masyarakat sosial. Berbondong-bondonglah orang-orang yang dianggapnya busuk dan merupakan sumber perkara yang melingkari kehidupan yang dijalaninya.

"Apakah dia sudah mati?"

"Dia sepertinya sudah mati...."

"Ke—kepalanya... luka tembak di kepalanya pasti membunuhnya!"

Semua orang berujar, mengutarakan pendapat dan apa yang ingin mereka katakan, segalanya amat jelas mengatakan jika mereka masih belum bisa menerima kenyataan yang sedang berada di depan mata.

Tapi, perasaan yang mengiringi mereka itu sendiri bercampur aduk, perasaan sedih karena mereka mendapati seorang manusia menghembuskan napas terakhirnya berpadu dengan keinginan untuk merayakan kepergian dari sang 'keberadaan asing' yang selama ini tak bisa mereka pahami.

Mereka tak bisa memikirkan dengan jelas, apa yang harus mereka lakukan. Apa yang pasti, mereka bersyukur dengan apa yang baru saja terjadi. Pemuda yang kini sudah terlentang dengan mata melotot dan tanpa napas tersebut baru saja menjadi penyelamat mereka.

Tepat di seberang gerombolan orang-orang tersebut, terdapat tubuh lain yang dalam keadaan sama. Terlentang dan tengah menatap dengan tatapan kaget, tapi bedanya dia terlihat jauh lebih damai. Hanya saja tak ada orang yang mempedulikan keberadaannya, sebagaimana dia adalah sumber perkara dari segalanya, atau bisa dikatakan jika kematian yang disaksikan oleh semua orang di sini disebabkan oleh dirinya.

"Ja, jadi apa yang harus kita lakukan?"

Salah satu dari mereka bertanya dengan nada gugup, tapi tak ad ada yang memberikan solusi.

"Dia sudah melindungi kita dari amukan membabi buta yang hampir membunuh kita."

Suara tersebut menyambungkan perkataannya.

Semuanya masih diam.

Mereka ingin melakukan sesuatu, tapi perasaan yang mengatakan jika mereka lebih ingin meninggalkan tempat kejadian amatlah kuat. Manusia-manusia biadab ini bagaikan tak tahu diuntung, mereka lebih merasa lega kematian dari sang pemuda yang mereka kerumuni bisa menghentikan segalanya tapi tak ada keinginan untuk menangisi maupun menghormati jasanya.

Sebagaimana mereka tidak mengerti apa yang berada di dalam pikiran sang penyelamat, sang pemuda yang memiliki tatapan penuh amarah dan keterkejutan di baliknya terus memberikan tatapan yang sama kepada mereka yang balik memandangnya, dari 'keberadaan asing' yang selama ini tidak bisa dipahami oleh diri mereka.

"Bagaimana kalau meninggalkan tempat ini?"

"Ide bagus, aku tidak ingin lebih lama berada di sini. Rasanya bisa mual."

"Tapi, mayatnya..."

"Biarkan pihak berwajib menanganinya saja, kita perlu memanggil mereka."

Gerombolan itu mengambil keputusan, kemudian membubarkan diri. Mereka keluar dari ruangan kelas yang diisi oleh bau campuran besi, amis, dan memuakkan.

Jejak langkah mereka yang lemah pun membawa mereka untuk meninggalkan ruangan tersebut.

Sementara itu, jauh di atas sana, di sebuah alam yang sudah terpisah dengan tempat mayat itu berada....

Seorang pemuda, berpenampilan sama, berpikiran sama, dan berwatak sama tengah berdiri seorang diri di atas sebuah timbangan. Namun pandangan matanya berbicara jauh lebih keras daripada apa yang dilakukannya. Tetapi dia bukanlah pemuda yang memandang dengan penuh amarah tadi, sebaliknya, ia adalah pemuda yang terlihat memanjang tajam dengan lebih tenang dan damai.

"Azuma Kazui berhasil dihabisi lagi kah?"

"Bukan, ini hanyalah bagian dari jiwanya. Di dunia ini, dia adalah keberadaan yang memiliki jiwa di dalam sebuah tubuh cadangan yang dibuat oleh-Nya."

"Apakah yang Anda maksud merupakan penguasa dari segala alam semesta serta isinya?"

"Tepat sekali, sesi permainan peran yang kita jalankan selama ini selalu dimenangkan olehku, sehingga dia mencoba cara yang baru."

"Cara yang benar-benar tak akan mempengaruhi hasil akhir."

"Benar sekali, aku sudah memenangkan permainan ini sebanyak 1,000,275,666 kali. Dia berusaha untuk mengubah sesuatu dengan memindahkan jiwa Azuma Kazui selama beberapa tahun ke tubuh orang biasa... dan dia pikir aku tak tahu."

Keberadaan dari pemuda tersebut berbanding terbalik dengan pembawaan penuh kedamaian yang tadi dibawakannya, suaranya dingin dan pekat dengan tekanan yang akan menghancurkan segala keberadaan yang mengganggu jalannya. Kelam, itulah kata yang tepat untuk menggambarkannya.

Dia adalah perwujudan dari kegelapan, itu adalah kata yang sangat tepat untuk menggambarkannya.

Ketenangan dan kesunyian... mereka sangat salah, dia bukanlah keduanya. Apa yang harus digunakan untuk memanggilnya adalah kekosongan.

Sosok mata setengah terbuka bagaikan orang yang baru saja bangun dari lelapnya itu... menunjukkan kekosongan dan keasingan. Tak akan ada orang yang bisa menyainginya, itu adalah kesan yang pasti akan didapatkan darinya.

"Sebenarnya apa yang ingin kau lakukan, untuk memenangkan permainan kita, kawan permainanku?"

"Mungkin dia sedang berusaha untuk mencoba kemenangan baru."

"Siapa tahu, mungkin kau benar. Hanya saja aku tak akan yakin itulah apa yang dibutuhkan untuk merubah hasil permainan ini..."

Permainan yang sudah berjalan sebanyak 1,000,275,666 kali yang kini akan menyentuh angka 1,000,275,667 kali.

Meskipun sedari tadi dia nampak berbincang dengan seseorang, pada kenyataannya tidak ada siapapun di sana. Pertanyaan akan bersama siapa dia berbincang juga amatlah bodoh, pada kenyataannya dia sama sekali tidak berbincang dengan 'siapapun'.

Melainkan berbincang dengan 'apapun'.

Ia hanya mendiskusikan permainan yang tengah dimainkannya dengan 'apapun' itu.

Permainan yang sebenarnya berisikan sebagai berikut:

Siapa yang bisa menghancurkan atau menyelamatkan sebuah alam semesta?

Permainan antara keberadaan asing serta penguasa atas alam semesta dan segala isinya.

Permainan yang dijatuhkan kepada seorang saja, untuk menentukan apa yang bisa terjadi.

Terdengar konyol dan komikal sekali, tapi itulah kenyataannya. Permainan ini hanya mengandalkan satu bidak saja, dan bidak tersebut akan memengaruhi segalanya.

Satu bidak yang mengubah dunia.

"Kalau begitu, untuk melawan dia, aku harus mulai menurunkan bidak baru."

"Azuma Kazui tak boleh hidup, atau kita akan kehilangan kemenangan sempurnamu."

"Tepat sekali, untuk itu, aku lah yang memegang giliran kali ini. Kehidupan macam apa yang harus kuberikan kepadanya agar dia bisa mati lagi?"

Nada bicaranya amat penuh akan rasa tak berasalah meskipun apa yang dikatakannya merupakan sebuah pertanda buruk, hanya sebuah tawa yang mengiringi dan mengingang di seluruh penjuru alam tersebut yang sepi.

Re: Magician of the Genesis RootsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang