Tak perlu menunggu lama setelah keluar gerbang, bus berwarna biru itu berhenti tepat di depan halte. Pintu dibuka oleh kondektur. Penumpangnya cukup padat. Beberapa orang berseragam putih abu yang berada di sampingku juga ikut naik. Menambah suasana semakin panas di tengah teriknya matahari. Aku memilih berdiri dekat jendela karena semua kursi sudah terisi penuh. Menghindari dempet-dempetan di bagian tengah.Kendaraan berbadan kubus panjang ini merangkak di tengah kemacetan. Harapan untuk pulang cepat, sirna sudah. Terpaksa menghabiskan waktu satu jam dalam bus jika antrean kendaraan masih mengular panjang. Biasanya jika jalanan kosong melompong atau naik ojol, lima belas menit sudah sampai di depan gerbang rumah. Karena uangku yang hanya cukup untuk menaiki bus, aku tidak memilih opsi ke dua yang sedang tren itu.
Beberapa menit perhatianku tertuju ke luar kaca sebelum akhirnya di suatu persimpangan, seperempat penumpang turun. Akhirnya aku mendapatkan jatah duduk karena ada kursi yang kosong. Disusul kondektur yang keliling menarik ongkos. Setelah memberikannya, sempurna sudah uangku hari ini habis.
Setelah beberapa menit terakhir sibuk dengan alam pikiran, tiba-tiba seseorang dari sebelah kiri ku yang dari tadi tanpa kusadari keberadaannya, bersuara.
"Kak, lu siswi di SMAN 1?"
Entah kepada siapa. Namun dengan refleks aku menoleh karena menyebutkan nama almamaterku.
"SMAN favorit itu kan?" siswa berkaca mata dengan seragam putih biru kembali bertanya sebelum aku menjawab, sambil menoleh ke arah logo sekolah di baju ku. Aku mengangguk sebagai jawaban, lalu memalingkan wajah lagi seperti semula. Dia tidak bertanya lebih lanjut, hanya menganggukkan kepala sebanyak dua kali, terlihat dari juru mata kiri ku.
Di beberapa kesempatan, ketika jalanan sedikit longgar, bus dengan lancar melakukan tancap gas untuk menyusul kendaraan di depan. Sejauh ini baik-baik saja, tidak ada masalah.
Aku kembali sibuk dengan pikiranku. Teringat tugas yang diberikan hari ini cukup banyak. Rencanaku setelah sampai di rumah adalah mandi, makan, kemudian belajar.
Namun, beberapa saat kemudian ketika bus kembali tancap gas untuk menyusul kendaraan di depan, tiba-tiba melakukan rem mendadak, aku berpegangan pada besi di sebelah kanan, jika tidak, badanku akan terpental mengenai penumpang di sebelah. Dan dengan waktu yang bersamaan terdengar suara "BRAKKK" disusul klakson yang bersahutan. Walaupun gubrakan tidak terdengar sangat kencang, tetapi suara itu cukup membuatku tersentak.
Aku refleks menutup wajah dengan kerudung putihku di tengah hampir semua penumpang sibuk melihat ke luar kaca dan berseru-seru. Jantungku bergetar hebat dan lututku terasa sangat lemas. Tak mampu ikut melongok ke luar.
Belum lagi ketakutan itu reda, sesuatu yang baru menambah panas suasana. Seseorang yang bercelana jeans bolong, kaos pendek hitam, dan berkalung rantai panjang menepuk badan bus bagian depan dengan sangat kencang. Berperan sebagai saksi peristiwa. Menuntut tanggung jawab karena menabrak pengendara dan penumpang ojol yang tengah dibantu berdiri oleh beberapa orang di tengah jalan. Berseru-seru dengan bahasa yang kasar.
Awalnya kondektur bus tidak mau berurusan, karena yang jelas-jelas salah adalah pengendara ojol yang tidak mempan diberi aba-aba. Dan menyalip di luar perkiraan.
Ketika bus hendak menyusul, klakson dibunyikan supaya kendaraan yang lain memberi ruang. Namun entah apa yang dilakukan pengendara ojol itu, tiba-tiba ikut menyusul di depan bus, mendahuluinya dan akan terhimpit dua kendaraan jika saja bus yang ku tumpangi tidak melakukan rem mendadak. Akhirnya kendaraan beroda dua itu hanya tersenggol kendaraan di sebelah kirinya karena tidak bisa dikendalikan.
Percekcokan terjadi di luar, aku tidak terlalu memperhatikan, masih sibuk dengan jantungku yang rasanya hampir saja terlepas dari tempatnya. Napasku tersengal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penghias Kaki-kaki Langit
General FictionIni tentang sebuah pertanyaan dalam hidup; Jika hujan yang jatuh saja mampu memberi kehidupan. Kenapa kamu yang berdiri tangguh tak mampu bertahan atas segala ujian?