Langit berangsur terang. Cicitan burung merecoki suasana pagi. Satu dua motor terdengar melintas di bawah halaman rumah nenek, para pekerja mulai berangkat. Mengejar waktu dan menghindari kemacetan. Aku duduk di depan meja yang sudah tersedia nasi goreng dan dua gelas susu putih. Nenek asyik menonton berita pagi di televisi.
Seseorang menyeringaiku. Meraih segelas susu putih lalu meneguknya. Aku masih malas menanggapi. "Diputusin cowok, lo?" kalau saja baju putih abu itu tidak bersih nan cerah, segelas susu yang hendak ku teguk akan disiramkan ke kepalanya. Hakim menahan tawa. Menyebalkan.
Aku segera melahap nasi goreng buatan Nenek. Sebelum akhirnya berangkat, setengah gelas susu sudah ku habiskan. Mau tidak mau aku berangkat bersama Hakim. Dia terlanjur datang ke mari.
"Cha, ketimbang naik angkutan umum atau mobil Ayah lo, naik motor gua bakal lebih cepet. Kecuali kalo masih jam 5 pagi. Tau sendiri kan sebelum ke sekolah kita, ada lampu merah yang lamanya memecahkan rekor se Asia Tenggara"
"Apalagi naik ojol, belum tentu mereka mudah menjangkau titik poin di rumah Nenek ini, lama menunggu, apalagi nyasar, mau dicancel gak enak"Sudah menjadi rutinitasku berangkat pagi buta. Walaupun ketika sampai di sekolah masih sepi, hanya anak-anak rajin yang berkeliaran, namun itu lebih baik ketimbang berangkat agak siang namun terjebak macet di perjalanan dan akhirnya terlambat.
Kali ini berbeda, hari sudah mulai terang. Jika di rumah komplek, lima belas menit yang lalu aku sudah berangkat. Menaiki ojol, angkutan umum, atau bareng Ayah---meskipun jarang. Di kesempatan ini, tidak ada pilihan lagi selain ikut bersama Hakim.
Saat Hakim mulai menstarter motor miliknya, hatiku sudah berdegup kencang, bukan karena tidak terbiasa boncengan dengan lawan jenis, terlebih karena aku tau bagaimana cara Hakim mengendarai motornya. Tidak peduli dengan penumpang di belakang selama penumpang itu berpegangan erat di atasnya, motornya akan melaju, meliuk, menyalip dengan kecepatan yang sulit ditoleransi polisi lalulintas di jalan. Walaupun selama ini tingkah berkendaranya tidak merugikan yang lain, terlihat lihai, namun tetap saja berpotensi membahayakan dan melanggar aturan lalulintas.
Setelah menyalami Nenek, motor yang kami tumpangi menuruni jalan yang sedikit menukik ke bawah, kemudian melewati lapangan tidak terlalu luas, rumput liar menghiasi bagian sisi-sisinya. Di tengah lapang hanya terlihat tanah kemerahan. Lapangan itu sering dipakai anak-anak bermain bola ketika sore hari.
Kami mulai memasuki komplek dari arah gerbang belakang. Lurus menyusuri jalanan, di satu dua titik terdapat pedagang kaki lima yang dikerubungi pembeli. Salah satunya ketoprak dan nasi kuning langganan Ibu jika pagi hari tidak sempat masak untukku.
Setelah keluar gerbang komplek, Hakim mulai mempercepat laju motor. Meliuk-liuk menghindari kerikil yang tergeletak acak di jalanan sebelum menuju jalan Protokol. Hatiku mulai cemas.
Hakim benar, jalanan mulai padat, bukan pilihan yang tepat jika aku turun kemudian menaiki angkutan umum hanya karena takut dibawa terbang bersama motor Hakim. Lima menit berlalu. Eh? Motor Hakim sudah butut? Dari tadi tidak ada aksi mempercepat laju motor dengan kecepatan yang riskan itu.
"Gua takut lo pingsan, Cha. Merepotkan" seolah tau apa yang ku pikirkan, Hakim berteriak di tengah keributan klakson dan bunyi mesin kendaraan yang berhilir mudik di kanan kiri depan belakang.
Separuh lega, dan separuh lagi tanganku gatal ingin menjitak kepalanya.
***
"Semua kesedihan datang itu bukan untuk membuat lo lemah Cha, tapi untuk membuat ko semakin kuat. Asal jangan menyerah." Hakim kembali berteriak, suaranya berbaur dengan riuh kendaraan, namun aku dapat mendengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penghias Kaki-kaki Langit
Ficción GeneralIni tentang sebuah pertanyaan dalam hidup; Jika hujan yang jatuh saja mampu memberi kehidupan. Kenapa kamu yang berdiri tangguh tak mampu bertahan atas segala ujian?