Eka <1>

76 19 37
                                    

"Maaf ibu, bisa diceritakan bagaimana bisa Lula bolos sekolah hampir satu bulan penuh? "

Gadis cantik bermata coklat siswa SMA Sakura tersebut menatap lawan bicaranya penuh simpati.

Terlihat si ibu menarik napas berat. Gurat lelah terlihat jelas di wajah keriputnya.

"biar saya ceritakan bagaimana keseharian lula di rumahnya."

Kezia sedikit mendekat untuk memberikan fokus penuh pada ibu tersebut.

"Sebenarnya, ini salah saya sebagai ibu yang sakit sakitan. Kalau saja saya tidak mengidap penyakit ini, Lula tidak harus seperti itu."

Air mata sang ibu meleleh. Kezia mengulungkan sebungkus kecil kertas tisu yang memang ia bawa kemana mana.

" Tapi nak Kezia, ibu minta tolong ya. Tolong jangan beri tahu siapapun tentang ini. Jangan sampai ada teman lula yang tahu. Sebab ini dianggap aib oleh Lula, dan saya tidak ingin dia menanggung malu. " Kezia mengangguk takzim. Sejujurnya dia juga sedikit gemas dengan si ibu yang bertele tele. Namun dia memakluminya.

"Semua ini bermula sejak ibu mengidap penyakit jantung. Awalnya, ibu bisa menutupi fakta ini dari Lula, namun seperti kata pepatah. Sebagai mananya bangkai yang disimpan akan tetap tercium baunya. Lambat laun Lula mengerti, dia menemukan hasil kontrol ibu di nakas kamar ibu ketika hendak mengambilkan ibu pakaian. Dia marah sekali saat itu." mata sang ibu menerawang, seperti sedang membayangkan hal yang diceritakannya.

"sejak saat itu pula, Lula menggantikan ibu berjualan tikar dipagi hari. Hingga dia sering terlambat dan pemberlakuan denda untuk siswa yang terlambat sebesar dua puluh ribu, itu dianggap sangat memberatkan. Karna untuk mendapatkan uang sejumlah itu, Lula harus menjual tikar setidaknya lima. Lalu bagaimana dia bisa mengikhlaskan uang itu hanya untuk membayar denda? Itu mustahil." Berhenti sejenak.

"Dulu ibu pernah memaksanya untuk tetap sekolah dan membayarkan uang itu untuk denda. Alhasil dia tidak mau makan tiga hari. Katanya sebagai ganti uang makan yang dia bayarkan untuk denda." lagi, si ibu menghela napas. Menenangkan diri.

"kemudian Lula memutuskan untuk tidak berangkat jika dia terlambat. Begitu nak." Kezia terdiam. Tidak menyangka.

"maaf ibu, engh... Ayahnya kezia?" kezia bertanya penuh kehati hatian. Takut takut akan menyinggung.

Sorot mata si ibu berubah. Bercampur antara kerinduan, kebencian, kelelahan, dan dominan luka. Ada apa? Pikir Kezia.

"dia selingkuh sejak Lula masih SD. Pernah ibu bertemu dia saat ibu masih berjualan dulu. Dia berlagak tidak mengenali saya." ohh, cara bertuturnya juga berubah. Menegas.

Kali ini, ada yang berbeda dengan air muka Kezia. Sepertinya ada sesuatu.

"penyakit jantung ini, ibu pikir juga karna dia. perokok berat." hening. Kezia tak mempunyai ide akan bicara apa lagi. Dia hanya mengangguk.

Kezia melirik jam tangan di pergelangan kirinya. Pukul sebelas lebih dua puluh tiga. Jam setengah dua belas. Dia sudah harus kembali. Demi itu, dia berpamitan.

***

"bang, zia udah selesai. Jemput ya."

"...."

"apa? Iya, iya di tempat tadi."

"....."

"eh? Enggak ih, abang ajalah yang jemput, ya?"

"...."

"ck, ya udah."

Percakapan telefon yang menyebalkan. Siang ini abangnya kembali tidak bisa menjemput. Ada rapat katanya. Gadis bermata coklat itu hanya bersungut sungut sebal.

Dia beranjak mendekati bangku yang ada di dekatnya. Duduk disana. Sekarang, tugasnya adalah duduk menunggu tutor menyebalkan itu menjemputnya.

Bagaimana tidak menyebalkan? Dengan adanya tutor itu, Kezia jadi merasa sangat tidak bebas. Dulu, jika Kezia terlambat ke sekolah, dia akan masuk lewat belakang tanpa satupun tahu bahwa dia telat. Oh, sahabatnya pengecualian. Lalu, kalau kalau dia bosan, dia mudah saja pergi dari sekolah. Sekarang? Boro boro kabur, bolos. Membunuh seekor semut saja akan ada yang menghukumnya. Tidak, itu berlebihan.

"Zia!" panggilan itu mengintrupsinya. Kezia segera mendekat dan masuk mobil tanpa kata kata.

"dasar ya, udah di jemput nggak ada makasih makasihnya sama sekali." sindir pemuda yang duduk di kursi kemudi.

"gimana tadi? Kenapa Lula bolos?" tanyanya diiringi kekehan. Kezia hanya menjawab sekadarnya.

" pagi kerja dulu. Telat sayang uang." wajah gadis itu masih saja kaku. Mungkin masih dongkol dengan tugasnya kali ini.

Lawan bicaranya justru terkekeh. "ya sudah, nggak apa apa. Nanti juga aku tahu kan dari hasil laporanmu."

Kezia terjenggit. Mendelik tidak terima.

"eh apa? Laporan apa? Nggak. Itu nggak ada di perjanjian awal ya, enggak. Pokoknya aku nggak mau bikin laporan apalah itu. Yang benar saja, wawancara ini tadi aja aku sudah setengah hati. Iya kali masih mau ditambahin laporan. Enggak. Titik. Nggak pakai koma. Lagian kan aku bolos gak cuma sekali ini. Kalau memang harus dihukum, Kenapa nggak di scors aja 2 hari, atau tiga hari gitu." Sudah mendelik, kini dia bersungut sungut. Astaga, Muram sekali.

" Untung di kamunya kalau begitu. hey, lagian, bukannya kamu sendiri yang bilang pengen jadi penulis? Ya harus rajin nulis dong. Mana ada ceritanya, ' salah satu novel best seller ditulis oleh penulis malas nulis' itu nggak lucu zia."

Gadis bermata elok itu sekali lagi mendelik tajam demi mendengarnya.

'Enak saja, aku ini hanya malas menulis bukan mengetik.'kan novel diketik bukan ditulis.'

"kalau mau diketik boleh kok. Yang penting kamu ngerjain laporan itu. Hitung hitung Mengganti yang kamu sobek kemarin" imbuhnya santai.

"nggak." sambar kezia singkat. Padahal batinnya sudah berteriak. Berisik tak karuan.

Astaga, tutor terkutuk! Inilah, Gorgeous Anstice. Cih, namanya saja aneh kayak nama hewan . Mungkin masih ada sulur kekeluargaan dengan platypus, ornithorhynchus anatinus. Hahaha. Mana orang tahu. Masih untung namanya Gorgeous Anstice, bukan Gorgeous Anastinus

Besok besok Zia tahu, bahwa nama itu bukan sembarang nama.

***

Gadis yang sedang berjalan menuju kamarnya menghentikan langkah demi mendengar suara kenop pintu bergerak.

Pukul sebelas.

" Abang dari mana aja?"

Abangnya menoleh sedikit sembari meletakkan sepatu pada raknya. Melangkah dan duduk di kursi tamu.

"Tadi lembur bikin proposal dek, pendamping minta di revisi."

Kezia mendekat, ikut duduk di sebelahnya. Kemudian meletakkan semangkuk buah pir yang sudah dipotong potong di meja depannya. Seperti biasa, menyandar di bahu abangnya adalah posisi favoritnya.

"Gimana tadi? Garga nggak aneh aneh kan sama kamu?"

Kezia menoleh. Menegakkan badan.
"Aneh aneh sih enggak bang. Tapi nyebelin. Lagian kenapa sih harus banget si garga yang jemput Zia? Dia tuh nyebelin bang, masa iya udah nyuruh zia nanya nanya yang nggak penting tentang Lula masih di suruh bikin laporan? Kurang kerjaan banget, heran. "

Garga menatap Kezia lembut.
"Kamu tahu persis alasannya dek." Nadanya merendah. Sangat rendah.

Seketika ruangan berdinding abu itu terasa begitu muram. Sama dengan warnanya.

Kezia berdiri meninggalkan abangnya, juga semangkuk pir yang belum tersentuh. Tidak lagi berselera.

UNTITTLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang