Tapi sungguh baru kali ini, aku merasakan persyaratan terasa seperti hukuman ketimbang kesepakatan dimana sama sama senang. Hukuman yang kuterima dari perilaku yang sudah kuperbuat tanpa sebelumnya tau hukuman dari perbuatan itu sendiri apa.
Seperti dipenjara karena perbuatan keji 100 tahun yang lalu sebelum pasal tentang hal itu dibuat. Aneh bukan? Atau lebih jauhnya, seperti menghukum mati orang gila yang berkeliaran karena membunuh seorang kakek sekarat yang mungkin ajalnya pun akan datang di keesokan harinya. Entahlah apakah ia layak membayar perbuatannya itu, atau tidak selagi pemerintah pun tidak mengatur tertib pelayanan dari Rumah Sakit Jiwa setempat.
Padahal hukuman sendiri, seharusnya hanya berlaku bagi orang yang memiliki kewajiban saja, bukan diperuntukkan pada orang orang yang tidak mengerti akan aturan bermainnya. Bukan ditunjukan pada pion pion yang berada di garis depan.
Mengeksekusinya, sama saja akan melahirkan pion pion baru yang lebih handal darinya. Mereka lah yang akan menemukan celah celah kebodohan hukum, sedang aparat, malah terbuai dengan prestasi penangkapan tersangka yang polos.Kupikir hukuman adalah pilihan kata lain daripada kata kewajiban yang terlalu elegan itu. Seperti. Wajib bagi seorang pencuri untuk memotong tanggannya sendiri. Wajib bagi seorang pezina untuk mencambuk dirinya sendiri. Wajib bagi pembunuh untuk membunuh dirinya sendiri. Hanya karna ia membutuhkan orang lain untuk melakukan itu, maka bergeserlah kata pakainya menjadi kata hukuman.
Maka dari itu, seorang muslim yang merasa berdosa besar, meyakini dirinya telah suci kembali, mendapatkan kehormatannya kembali dan mendapatkan amalan baik ketika memenuhi hukuman yang telah menjatuhinya. Dikarenakan hal ini termasuk kewajiban seperti halnya sholat lima waktu, berhaji dan berzakat, mereka sanggup menjalani bahkan memintanya dengan rasa tulus rela dan rendah hati.
Begitulah kewajiban dan hukuman bisa dilempar kemana pun selagi ada tokoh yang bersalah dan tidak mengerti hukum dan faktor yang berkaitan dengan tindakannya. Keduanya bisa ditukar sesuka hati soal fungsi dan esensinya. Akulah si orang gila yang menjalani kewajiban mereka tetangga baru si pemerintah, dengan dalih, hukuman oleh sebab tamanku yang justru telah mengindahkan rumah mereka.
Demikianlah rokok ku habis separuh bungkus hanya untuk menghujat dan mengolok kelicikan dan kewenangan mereka. Setelah memahami ini, rasanya semakin berat juga untuk diriku dapat memenuhinya. Pemahaman kadang selain dapat menciptakan ketulusan dengan saling mengerti juga dapat memperumit keadaan oleh penalaran pada alurnya sendiri. Memahami apa yang sedang terjadi tidak melulu dapat mempermudah untuk melaksanakan sesuatu. Dengan memahami, kita jadi tau bagian mana yang telah hilang, bagian apa yang akan terbuang, relakah kita membiarkan itu untuk tetap berjalan.
Rasanya, dengan tidak mengetahui banyak hal, dengan tidak menggali apapun, kita dapat mengurangi tingkat penyesalan dan kedengkian yang pernah kita perbuat dan perhatikan.
Andaikan jika ayah bisa membeli rumah sebelah ini, meski hanya untuk halaman belakang, aku tidak akan melakukan kebiasaan bodoh yang penuh kepura puraan ini. Bagiku tidak ada yang lebih kejam daripada diharuskan melakukan hal yang tidak perlu dilakukan. Tidak ada yang lebih pegal daripada kebiasaan ber basa basi. Dan tidak ada perkataan yang lebih sulit daripada mengatakan apa yang orang lain ingin dengarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Lupa Mengingat ( Slow Update )
Short StorySeseorang yang selalu berusaha mengingat hal hal kecil untuk dapat dihindari atau dilakukan di kemudian hari. Dengan begitu ia selalu mengitung laju nafas atau menyadari saat melamunnya untuk tidak kehilangan waktu. Merasakan lamanya waktu adalah ca...