Prolog

25 1 0
                                    

"Abuya.... Ayo kejar Aira... "

"Awas ya kalo sampai ketangkap, abuya gelitikin kakak sampai nangis minta maaf."

Kulihat mereka sedang berkejaran di halaman depan rumah kami. Gelak tawa riang Aira, putri pertamaku, menghias ke segenap penjuru rumah ini. Ya, senyum dan tawa yang telah lama hilang dari bibir gadis kecil itu kini telah kembali. Dia sedang berbahagia, keinginannya untuk bisa bermain bersama sosok ayah dalam hidupnya telah terpenuhi. Lelaki tampan yang kini dipanggil abuya, saat ini telah hadir mengisi kekosongan hati yang telah lama sendiri.

Aku beranjak masuk kembali ke rumah, menengok 3 tubuh mungil yang masih tertidur kelelahan setelah perjalanan panjang Malang-Bandung. Kami baru sampai tadi pagi sekitar pukul 8, ditambah perjalanan dari stasiun menuju rumah yang kini kami tempati membuat mereka masih terlelap dalam buaian mimpi. Aku duduk di samping tempat tidur mereka, mencium kening mereka satu persatu. Ira, gadis keduaku yg kini berusia 7th dan Ara saudara kembarnya hanya mendesah ketika bibirku menyentuh kening mereka. Pandanganku beralih pada sosok gadis bungsuku yang masih 4th, pipi tembemnya begitu menggemaskan. Pelan kuusap lembut pipinya, bibir gadis mungil itu mengerucut, tampaknya terganggu dengan gerakan tanganku. Aku masih memandang wajah-wajah polos di hadapanku, ketika kusadari sepasang tangan kokoh melingkar di pinggangku. Kumiringkan sedikit kepalaku ketika kurasakan sensasi menggelitik di telingaku. Lelaki itu menyurukkan hidung mancungnya ke sisi belakang telingaku. Desah nafasnya membuatku malu.

"Aira mana, " tanyaku mencoba meredakan gejolak yang tetiba hadir.

"Aira lagi jalan-jalan sama kakek dan neneknya, sengaja aku hubungi ibu supaya menjemput dia," bisiknya pelan di telingaku. Seakan menggodaku, membangkitkan gairah yang telah lama kupendam dalam kesendirian.

"Kita istirahat yuk, mumpung mereka juga lagi pada tidur, " ajaknya. Dia mengecup tengkukku cukup lama, mengisyaratkan apa yang ingin dia katakan.

Aku berdiri mengikuti langkahnya menuju kamar, tangannya masih memeluk erat pinggangku. Meski ini bukan kali pertama, tapi aku masih malu menanggapi sikap romatisnya. Dia tak pernah memaksakan keinginannya, namun sebagai seorang istri adalah wajib hukumnya untuk melayani setiap kebutuhan suaminya.

Dia, lelaki sholeh yang Allaah taqdirkan di usiaku yang mulai senja. Dia yang tak pernah menyerah berjuang untuk kami. Dia yang selalu meyakinkan kami, bahwa masih ada kisah manis yang akan kami rajut bersama dalam mahligai rumah tangga. Dia yang begitu berbesar hati menerima semua kekuranganku, menyayangi keempat bidadariku seperti putrinya sendiri. Allaah, Alhamdulillaah, Jazakumullaah khoiron katsir telah kau hadirkan dirinya diantara kesunyian hariku. Diantara sepinya malamku, dan diantara kepedihan harapan keempat bidadariku.

Pelangi Selepas HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang