Aku Masa Depanmu

8 0 0
                                    

Iqbal

Aku mendekatinya, mendekap tubuhnya yang masih terbalut mukena. Mencoba memberikan ketenangan dan meyakinkan dirinya bahwa aku akan selalu ada untuknya. Menemani dirinya saat ini dan selamanya hingga maut memisahkan, dan menyatukan kembali di jannahNya. Dia hanya diam, menundukkan pandangannya ke arah tempat sujudnya. Aku menarik dagu itu, membawa kebeningan matanya untuk beralih menatapku.

"Kenapa? Abang harap itu tidak mengganggu pikiranmu" tanyaku lembut. Pelan kukecup keningnya, menikmati setiap moment kebersamaan kami.

"Aku juga tidak tahu, Bang. Aku cuma takut, anak-anak akan terbawa perasaan. Aku sangat mengenalnya, " jawabnya pelan nyaris menyerupai bisikan.

"Kau takut tentang anak-anak atau takut pada hatimu sendiri," tanyaku kembali.

Kutatap bening matanya, ada begitu banyak luka yang tersirat di sana. Ya Allaah, apa yang sudah kulakukan? Aku mendekapnya erat, dia menumpahkan tangisnya dalam dadaku. Tak pernah kusadari luka itu begitu dalam, bodohnya aku membiarkan airmata itu terjatuh lagi. Dan kini aku yang menjadi penyebabnya.

"Ma'afkan abang, maaf" bisikku lirih.

Aku mengangkat tubuhnya, membawanya ke peraduan kami. Sesaat dia memejamkan mata, menikmati setiap detiknya. Aku meletakkan tubuhnya di pembaringan, mengecup keningnya. Aku duduk di sisi pembaringan tepat disampingnya. Mataku menatap kedalam kebeningan matanya. Kudekati bibirnya, bibir yang kini jadi candu untukku.

"Maafkan abang ya," bisikku lirih.

Kutempelkan keningku pada keningnya, hela nafas kami bertemu di penghujung hidung yang hampir bersentuhan.

"Abang tak pernah tahu masa lalumu, dan tak pernah ingin tahu. Biar itu ada di belakang sana. Yang penting bagi kita sekarang adalah saat ini dan masa depan kita. Kubur masa lalu itu, cobalah berdamai dengannya, bukan melupakan. Karena bagaimanapun, masa lalu akan tetap menjadi bagian dari hidup kita. Kita tak harus melupakan, kita hanya harus menerima dan berdamai dengannya. Agar tak ada lagi rasa sakit dan luka itu. Hemmm, bagaimana?"

"Aku akan coba, bang. Terima kasih sudah mau menerima kami..."

Aku mengecup bibir itu. Menghentikan apa yang akan diucapkannya. Aku menatap ke dalam bening matanya, sekali lagi mengecup bibirnya.

Tok... Tok... Tok...
Aku mendengar suara ketukan pintu depan. Aku bangkit dari sisi pembaringan, mengecup kening istriku.

"Abang keluar dulu, lihat siapa yang datang. Kamu bisa istirahat dulu, pasti lelah kan sudah masak begitu banyak hari ini," ucapku seraya beranjak dari sisi pembaringan.
Dia menganggukkan kepala.

*****

Sakinah

Aku baru saja selesai melaksanakan sholat dhuhur, ketika kurasakan dekapan sepasang tangan kokoh suamiku. Ada ketenangan dan kedamaian yang kurasakan saat dia memelukku, aku memejamkan mata menikmati setiap moment kebersamaan ini.

Dia menengadahkan wajahku, melihat dalam kedalaman mataku. Wajahnya yang bersahaja, namun meneduhkan dan menentramkan hati. Dia menatap lembut,

"Kenapa? Abang harap itu tidak mengganggu pikiranmu" pertanyaannya lembut padaku, tanpa ada nada menyudutkan atau menghakimi.

Pelan dikecupnya keningku. Aku hanya diam menikmati saat-saat seperti ini, kelembutan dan kesabarannya dalam menghadapi sifatku yang kadang kekanakan. Meski usianya jauh lebih muda dariku, dan meski ini adalah pernikahan pertama baginya namun dia sosok yang betul-betul mampu membimbing dan melindungi. Sungguh suatu anugerah terindah yang Allaah berikan dalam kehidupan kami. Kehadirannya bagaikan mata air di tengah gurun pasir yang gersang, menyejukkan dan menyenangkan. Memberikan keindahan dalam perjalanan hidup ini.

Tak ada yang bisa kuungkapkan selain rasa syukur yang tak pernah putus dalam tiap alunan doaku. Semoga kami selalu dalam ridhoNya, bersama memperjuangkan agama ini, hingga Allaah kembali menyatukan kami kembali di surgaNya...

Bagaimana setiap perkataannya selalu menentramkan, bagaimana setiap tingkah lakunya membuatku tersipu merona dalam kebahagiaan. Dia betul-betul tahu bagaimana memperlakukan diriku,  dia benar-benar faham bagaimana menguasai hati dan tubuhku. Dan kini, ridhonya yang harus aku perjuangkan, bersama menggapai keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah dan bersama berjuang meraih cita-cita tertinggi kami, hidup mulia atau mati sebagai syuhada. Semoga Allaah meridhoi keinginan kami, mengijinkan kami meraih kemuliaan itu bersama-sama.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 04, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pelangi Selepas HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang