Perjumpaan Tak Terduga

9 0 0
                                    

Parongpong Bandung, Iqbal

"Alhamdulillaah, masakan ummi enak ya. Kalo ummi setiap hari masak begini, bisa-bisa perut abuya yang buncit ini," ujarku sembari mengusap perut.

Pagi ini istriku memasak menu istimewa andalannya, nasi kebuli kambing. Sejak dulu aku selalu penasaran bagaimana rasanya, aku hanya bisa menelan ludah jika dia sudah upload foto masakan itu di group. Alhamdulillaah, Allaah mengijinkan aku bisa menikmati masakan itu sekarang. Mengijinkan aku mempersunting dirinya, sekaligus keempat bidadari kecilnya.

"Abuya, mau ke kebun lagi ya," suara Aira mampir di telingaku.

"In syaa Allaah iya sayang, kenapa?" tanyaku balik

"Aira boleh ikut, biar bisa lihat abuya memetik daun bidara juga mau belajar panahan sama pak ida," jelasnya panjang lebar.

"In syaa Allaah boleh, tapi ijin ummi dulu ya. Tapi harus janji, disana harus taat sama aturan. Jangan memetik atau mengambil tanaman sembarangan, bilang abuya atau ustadz sofyan dulu kalo pengen sesuatu," terangku padanya.

"Siap abuya, aira pamit sama ummi dulu," jawabnya cepat sembari bangkit dari tempat duduknya. Dia berjalan menuju dapur, meninggalkan aku dan ketiga adiknya yang masih asyik dengan sarapannya.

Aku mengamati mereka satu per satu, si kembar Ira dan Ara juga si bungsu Nana yang menggemaskan. Ira yang seakan cuek dengan keadaan di sekelilingnya, padahal dia yang sebenarnya paling care pada saudara-saudaranya. Ara yang masih malu-malu melirikku, sambil tersenyum simpul. Dan si bungsu Nana yang paling gembul, masih takut-takut saat berinteraksi denganku. Aku tersenyum, mendapatkan ide untuk mengambil hati mereka.

"Kalian juga mau ikut abuya ke kebun gak," tawarku seraya menatap mereka satu per satu.

Ara dan Ira saling menatap, aku menunggu jawaban mereka. Ara selalu mengekor apapun jawaban Ira, bukan hal yang mudah menaklukkan hati gadis cilik berusia 7th ini. Ira gadis yang berani mengambil keputusan meski dia masih sangat muda. Keputusan Ira, yang nantinya akan menjadi jalan untukku meraih hati dan perhatian mereka. Aku masih tersenyum memandang mereka, kulihat Ira sudah mengambil keputusan, dia menatap mataku tanpa keraguan.

"Ira ikut," jawabnya tegas.

"Ara juga mau ikut," suara manja dan malu-malu Ara mengalihkan pandanganku sejenak dari Ira.

"Nana itut," suara cadel bocah itu ikut meramaikan gendang telingaku.

Aku tersenyum mendengar jawaban mereka, kuusap kepala mereka bergantian. Aku bangkit dari tempat dudukku, menghampiri Ira juga Ara yang duduk bersebelahan. Kukecup puncak kepala mereka penuh kasih, menyalurkan segenap sayang dan cinta yang aku punya untuk mereka.

"Ira sama Ara pamit sama ummi dulu, trus siap-siap. Pake sepatu boat yang dibelikan abuya ya," ucapku sembari menatap mereka. Mereka tersenyum, menganggukkan kepala dan memelukku bersamaan. Aku menikmati pelukan mereka, tak melepaskan. Membiarkan mereka memelukku sekehendak mereka, karena sesungguhnya aku sangat menyayangi mereka. Mencintai ummi mereka, dan menerima mereka sebagai bagian dari hidupku saat ini sampai nanti maut memisahkan kami. Mereka mencium kedua pipiku, aku tersenyum. Alhamdulillaah, jika mereka telah menerima kehadiranku dalam kehidupan mereka. Mereka segera berlalu, aku memandang bocah gembul yang masih asyik dengan sarapannya itu.

"Nana mau ikut?" tanyaku sambil berjongkok di samping kursinya.

Gadis itu mengangguk, namun masih asyik dengan makanan yang tersaji di hadapannya. Aku menoel pipinya yang gembul seperti bakpao.

"Ah... " ucapnya singkat merasa terusik.

Aku kembali menoel pipinya. Dia mengusap pipinya sembari memandangku, bibirnya cemberut. Pengen rasanya mencubit kedua pipinya yang kini makin bundar.

Pelangi Selepas HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang