Kemana Kubawa Lukaku

9 0 0
                                    

Aless

Aku memalingkan pandangan, miris melihat mereka berdua duduk bersebelahan di seberang sana, agak menjauh dari tempat duduk kami. Seorang bocah perempuan sedang tertidur di pangkuan lelaki itu, beberapa saat lalu sang ibu mencoba mengambil alih namun sang bocah malah merengek dalam tidurnya. Dia telah merasa nyaman dengan posisi tidurnya dalam dekapan sang ayah.

"Om Aless kok ada disini?"

Aku mengalihkan pandanganku kepada gadis cantik berjilbab hijau yang berdiri di sampingku. Aku tersenyum, tanganku mengelus kepalanya.

"Om sama teman-teman memang ada kegiatan berkunjung ke kebun Qur'an di Bandung. Kakak sudah lama tinggal disini?"

Aku bergeser, memberi dia tempat duduk di sebelahku. Dia segera mendekat, aku mengamati wajah cantik di sampingku saat ini. Membayangkan bagaimana wajah ibunya. Ah... Kutepis bayangan itu, karena hanya akan menambah luka.

Aku yang memilih pergi, menjauh tanpa mau mengerti keadaan dan kondisi mereka. Bukan salah mereka jika akhirnya menemukan pelabuhan yang menjanjikan rasa aman dan nyaman. Aku menghela nafas panjang, meredakan gejolak dalam hati yang menyesakkan dada.

"Abuya orang Bandung, kita semua pindah ke sini. Kata umi, kita harus ikut kemana abuya pergi. Sebenarnya Aira gak mau, takut gak punya teman, harus pindah sekolah lagi. Terus gak bisa latihan berkuda sama memanah sama Abi Yos lagi," ceritanya panjang lebar kepadaku.

Aku tersenyum menanggapi, "Abi Yos itu siapa?"

"Pelatihku berkuda sama memanah di pondok Tazkia, dulu setiap Sabtu aku latihan di sana. Perginya diantar umi, pulangnya sama Abi Yos. Tapi aku juga seneng kok disini, bisa latihan memanah tiap sore sama abuya," jawabnya ceria.

Aku mendengarkan dia bercerita dengan seksama, mencoba mencari tahu apa saja yang terjadi setelah aku memilih pergi.

"Sebelum nikah sama abuya, umi sempat sedih waktu om aless gak pernah lagi telpon atau sms umi. Aku sering lihat umi nangis selesai sholat. Pas aku tanya kenapa om aless gak pernah telpon lagi, umi bilang katanya ini taqdir yang Allaah tetapkan, gak semua orang yang hadir akan singgah selamanya. Aku gak ngerti umi ngomong apa, tapi aku gak mau tanya. Nanti umi sedih lagi," dia melanjutkan ceritanya dengan sendu.

Aku tercekat, tiba-tiba saja pelupuk mataku memanas. Reflek aku memeluk gadis kecil di sampingku ini, sungguh aku merasa menjadi orang yang paling bodoh. Melepaskan dirinya yang begitu hebat dalam menjalani ujian hidup ini. Seorang perempuan sendiri dengan 4 anaknya yang masih dalam tahap pertumbuhan. Sebuah perjuangan dan pengorbanan yang tak mungkin semua orang akan sanggup menjalani.

Aku yang seorang lelaki, begitu sangat terpuruk saat menghadapi perpisahan dengan mantan istriku dulu. Aku masih ingat bagaimana ibuku berjuang mendampingi dan menyemangati aku untuk bangkit. Aku begitu jauh dari Allaah, berlari dalam dekapan alkohol saat hidupku hancur. Hingga Allaah memperkenalkan aku dengan dirinya lewat jejaring sosial. Berada dalam grup yang sama, berasal dari provinsi yang sama membuatku dekat dengannya. Kata-kata bijaknya selalu menyemangati, mengingatkan aku akan Rabb yang telah lama aku lupakan, setiap saat sholat selalu mengingatkan untuk menerima panggilan itu terlebih dahulu. Menomorsatukan Dia yang telah memberikan kehidupan, selalu bersyukur dan bersabar atas ujian dalam kehidupan kita. Sungguh, aku benar-benar bodoh.

"Aira, pulang yuk sayang. Adik Ira sama Ara sudah ngantuk pengen tidur," panggil seseorang.

Aku melihat ke belakang. Tak jauh dari tempat kami duduk, dia berdiri sambil menggenggam kedua tangan putri kembarnya. Ah... Rasa sejuk mengalir di setiap relung hatiku mendengar suara itu.

"Aira masih makan umi, belum selesai," jawab gadis di sampingku.

"Nanti in syaa Allaah saya antar mbak," ucapku menawarkan.

Wanita itu diam, dia memalingkan wajahnya pada seseorang yang berjalan mendekat.

"Abang nanti jemput Aira lagi nggih?" kudengar suaranya bertanya pada lelaki itu.

"In syaa Allaah," jawab lelaki itu.

"Kalau saya antar pulang boleh, bang?" aku menawarkan kepadanya. Aku tahu dia juga lelah, apalagi dengan bocah kecil yang sedari tadi tidak mau lepas dari gendongannya.
Dia melihat pada istrinya, samar kulihat istrinya menggelengkan kepala tanda tidak setuju. Dia tersenyum menatapku.

"Maaf bang, uminya gak mengijinkan. Sekali lagi maaf," ucapnya pelan kepadaku.

Aku menganggukkan kepala, memahami posisinya sekarang. Aku cukup tahu diri, kehadiranku bukan berarti apa-apa lagi bagi mereka. Aku yang telah memilih menghilang dulu. Dan jika kini mereka pun memilih pergi, itu bukan kesalahan mereka. Bodohnya aku.

Pelangi Selepas HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang