Aku bertemu dengannya saat musim hujan turun. Ia tampak kedinginan di halte bis yang juga kutempati untuk menunggu bis. Karena kurasa aku butuh teman bicara, kurasa mengajaknya mengobrol bukan hal yang buruk. Ia hanya menggunakan kaus dan jeans yang membalut tubuhnya. Pantas ia kedinginan.
Bibirnya nampak pucat, namun senyumnya tetap tertempel manis di bibir itu. Aku tidak tau apa yang aku lakukan, namun kata hatiku mengatakan aku harus membantunya sebelum mengajaknya mengobrol. Tanpa pikir panjang lebar, aku menawarkan jaketku padanya. Aku masih merasa hangat karena sweeter yang melapisi tubuhku.
"Pakailah, aku tau kau membutuhkannya. Kalau kau ingin berterima kasih, maka hanya dengan menerima jaketku, aku sudah senang" kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku. Kupikir ia akan bereaksi macam-macam, namun yang kulihat hanyalah senyuman yang manis. Entah kenapa aku menyukai senyuman itu.
"Terima kasih, kau sangat baik" ia menjawab dengan lirih, bahkan seperti bisikan. Aku rasa ia mungkin sedang sakit, namun bis sudah lebih dulu datang. Karena ramai, aku secara spontan langsung memasuki bis tersebut. Saat aku melirik kebelakang, aku hanya melihat orang lain yang masuk kedalam bis.
Akupun melihat keluar.... orang itu masih duduk di halte dengan jaketku yang melekat ditubuhnya. Ia melihat ke arahku, dan terkejut saat aku sudah di dalam bis. Namun aku membalasnya dengan senyuman dan memberi isyarat agar ia memakai saja jaketku.
Keesokan harinya, di jam yang sama, dan halte yang sama, kami bertemu. Ia mengembalikan jaketku. Ia sudah tidak sepucat kemarin. Namun, sepertinya ia sedang flu karena masker menutupi hidung dan mulutnya. Kami berbincang sedikit tentang siapa aku, siapa dia, dan kenapa kami dapat terjebak dalam halte ini. Tidak lupa ia mengembalikan jaket milikku.
"Aku hanya menyukai saat aku menghabiskan waktuku menunggu bis. Bukankah menyenangkan?" aku sedikit merasa aneh dengan alasannya saat kami saling mengobrolkan alasan kami berada dihalte ini. Namun aku hanya tertawa menanggapinya, mungkin ia sedang bergurau.
"Bagaimana denganmu?"
"Aku jarang menaiki bis untuk berpergian. Biasa aku menggunakan motorku, tapi kemarin kakakku kecelakaan saat mengendarai motorku. Jadi bisa dibilang kakakku dan motorku harus dirawat" aku menjawab dengan sedikit bumbu candaan. Kulihat ia terkekeh, lalu menggelengkan kepalanya.
"Kuharap kakakmu dan motormu cepat sembuh. Dan bilang kepada kakakmu agar lebih berhati-hati saat mengendarai kendaraan atau motormu esok. Itupun kalau kakakmu tidak trauma mengendarai motormu" aku tidak tau mengapa candaan yang tak begitu lucu bisa lucu saat ia yang mengucapkannya. Sesekali aku terkekeh olehnya.
Tiga hari setelahnya kita hanya mengobrol singkat, karena bisku cepat sekali datang menjemput. Dan aku selalu lupa menanyakan nomor atau sosial medianya. Beberapa hari setelah itu, aku tidak menggunakan bis sama sekali. Aku lebih memilih menggunakan motorku yang sudah keluar dari bengkel. Namun, karena aku merindukan sosoknya, aku berpikir untuk mengendarai motorku menuju halte bis yang biasa kami singgahi.
Aku sejujurnya ingin tahu dimana ia tinggal, atau apa nama akun sosial medianya, karena akhir-akhir ini aku merasakan hal yang jarang aku rasakan pada orang asing. Ya, aku merindukannya. Kita belum terlalu jauh mengenal satu sama lain, namun aku sudah ingin menemuinya. Sebenarnya, kemarin-kemarin, aku hanya mengetes perasaanku, apakah aku akan merindukannya atau tidak. Dan jawabannya adalah, iya.
Aku pun melakukan yang biasa orang-orang lakukan saat sedang menetapkan perasaannya pada seseorang seseorang, yaitu melakukan pendekatan. Aku sudah menatap diriku dicermin hampir 1 jam, dengan jaket yang pernah ia pakai. Melihat motorku yang seperti motor baru, membuatku percaya diri mengantarnya ke suatu tempat dengan itu.
YOU ARE READING
Mini Story With Quotes
Historia CortaHanya sepenggal kisah singkat yang penuh makna