Jam sembilan pagi bagi para pekerja kantoran adalah waktu start menjalani hari hingga delapan atau sembilan jam ke depan. Ada kalanya waktu akan bertambah jadi sepuluh bahkan empat belas jam jika mereka mengambil jatah lemburan yang berpotensi mengakibatkan diri pulang lebih malam daripada biasanya. Namun bagi para pekerja terutama yang tinggal di ibukota, pola pergi saat ayam berkokok dan kembali saat ayam memilih ngorok adalah hal yang teramat biasa. Tidak perlu khawatir pulang malam, kehabisan angkutan umum bahkan takut akan ada penjahat. Kadang para pekerja, jagoan lembur seperti mereka semua sudah kebal dari serangan badai, hujan bahkan preman kelas teri sekalipun.
Yang tidak aman paling banter masalah bangun kesiangan. Hal klasik yang menjadi salah satu penyebab mereka datang telat di samping macet yang sudah menjadi bahan omongan basi dan tidak lagi dipercaya hari ini.
"Kenapa kamu telat."
Jika seorang pimpinan bertanya dan dijawab dengan kata macet, maka siap-siaplah kena makian. Rumus macet tidak berlaku lagi di tahun dua ribu delapan belas, apapun pembelaannya, yang ada, dari mulut bos akan keluar gerutuan panjang lebar tak kunjung padam mengalahkan nyinyirnya mulut emak-emak berdaster sedang menstruasi di penghujung bulan, dimana tanggal satu jatuh pada hari sabtu.
Nyebelin akut.
"Macet katamu? Kenapa nggak berangkat dari jam lima subuh, sudah pasti nggak bakalan telat. Lagipula orang yang mau sama posisi kamu sekarang ini banyak bukan main, jika merasa keberatan, silahkan angkat kaki."
Delapan tahun telah berlalu, pemuda yang dulu tidak pernah bisa membalas ucapannya kini mendelik tajam dengan kalimat sepedas sambal mercon lima ratus cabe yang ditumis dengan kikil dan jengkol iris. Tidak terbayang betapa sedapnya, tapi efeknya mematikan sekaligus bisa bikin mencret. Sehingga yang bisa Ratu Intan Wijaya Kusuma lakukan hanya berkelit, seperti yang selalu ia lakukan.
"Maunya malah nginep di sini. Tapi kan Mas Prabu sendiri yang bilang aku mesti pulang, bosan liat muka aku lama-lama. Jangan salahin aku jadi telat."
Mata elang beralis tebal milik Prabu Damar Anggabaya melotot garang pada gadis cantik berusia satu tahun di bawahnya itu. Setelah bertahun-tahun, tetap saja dia bisa membalas omongan siapa saja yang dia rasa perlu, ratu ngeles dengan tingkat kejahilan paling tinggi dan kini, mereka bertemu lagi di tempat yang berbeda dalam wujud seorang atasan dan bawahan.
"Bagus bener, kantor kamu jadikan tempat nginap, nggak sekalian kamu pindahan bawa magic jar sama dispenser biar lengkap berasa rumah sendiri." Damar membalas dengan suara sinis dan ditanggapi dengan tawa riang dari Ratu yang tidak pernah punya rasa takut sejak tahu Damar adalah Supervisor di kantor tempatnya bekerja saat ini.
Adik kelas gila yang nekat menembaknya di depan seribu orang siswa SMA tanpa takut setelahnya mesti di seret paksa ke ruang guru dan kena maki guru matematika selama bermenit-menit.
"Ah, Pak Jamal mah gitu. Aku kan cuma mau matok aja siapa tahu nanti ada yang mengklaim. Calon papanya anak-anak gitu loh, namanya juga udah pas sama nama aku. Kayak jodoh gitu."
Damar masih ingat obrolan yang ia dengar dalam perjalanan menuju ruang KIR siang hari usai acara penembakan mematikan di hari Sabtu menyebalkan itu.
"Dih, buat apa bawa dispenser ama magic jar segala? Aku kan kalo numpang boboknya di kantor Mas, nggak perlu repot. Ada sofa, ada kamar mandi, terus di kulkas sana, banyak makanannya, lagian udah malem mana boleh makan lagi. Bikin gemuk, ntar Mas nggak suka lagi sama aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ratu dan Prabu
ChickLitRatu intan Wijaya kusuma Prabu Damar Anggabaya Bertemu kakak tingkat gebetan yg pernah dia tembak saat sma dan kini menjadi supervisor di kantor membuat Ratu selalu salah tingkah, terutama saat ia selalu menjadi bahan ejekan teman akrab yang tahu ki...