Puntung rokok sudah berserakan disudut meja kerjanya. Abu rokok juga hampir memenuhi asbak yang ukurannya memang tak terlalu besar. Aroma asap rokok tentu tercium kuat di ruangan itu. Kepulan asapnya terus keluar dari lubang hidung dan juga mulutnya. Menyerbak pelan didepan wajah tampannya. Mungkin sudah 1 jam lamanya ia menghisap puntung rokok itu—yang merupakan puntung ke 11, mungkin?
Dia bukan perokok berat, bisa dikatakan hampir jarang menyentuh rokok. Tapi hari ini pengecualian. Pikirannya kini tengah kacau. Masalah di perusahaan mendadak datang dari berbagai arah. Cukup berat untuknya tanggung sendiri. Sendiri? Ya, sendiri. Kini perusahaan telah menjadi tanggung jawabnya sepenuhnya. 5 bulan yang lalu ayahnya telah memberikan perusahaan itu kepadanya. Termasuk hampir semua saham—yang dulu ayahnya merupakan penyumbang terbesar—tapi kini sudah dilimpahkan kepadanya.
Dia tampak tidak senang bukan? Benar sekali. Dia memang tidak senang akan semua itu. Mengapa? Karena dia memang tidak menginginkannya. Kalau disuruh memilih, dia lebih nyaman dengan jabatannya yang sebelumnya. Yang hanya seorang General Manager. Tapi, ayahnya melakukan semua itu juga bukan tanpa alasan. Itu karena beliau tengah sakit parah, dan dirinya lebih bisa diandalkan—menurut ayahnya.
Sebenarnya dia memiliki seorang adik laki-laki. Adiknya itu masih remaja dan sama sekali tidak tertarik dengan urusan perusahaan. Adiknya itu lebih tertarik menjadi trainee karena impiannya adalah menjadi anggota Boy Band terkenal. Padahal dia bisa saja meminta ayahnya untuk membeli salah satu perusahan entertainment diluar sana.
Ibunya sudah meninggal sejak ia masih berumur 13 tahun—ketika melahirkan adiknya. Dia selalu menyimpan foto ibunya di sela dompetnya. Mengingat sang ibu, ia raih dompetnya. Ternyata tak hanya foto ibunya, tetapi juga ada foto itu. Ya, ada dua lembar foto didalam dompetnya. Foto ibunya dan foto mantan isterinya. Yang tengah ia lihat dengan sorot mata penuh kerinduan. Ia tekan ujung rokoknya di atas asbak dan kembali mengamati kedua foto itu. Yang berakhir fokus pada foto mantan isterinya.
Kelopak matanya bergetar pelan. Ada airmata di sudut matanya. Sudah satu tahun lebih lamanya, tapi hingga kini ia masih sulit melupakan wanita itu. Dia masih sangat mencintai wanita itu. Lalu dimana mantan isterinya saat ini? Jika dia masih mencintai wanita itu, mengapa tidak ia pertahankan? Karena semua itu adalah takdir yang diberikan tuhan. Takdir yang tidak bisa dihindari. Yaitu kematian. Istrinya meninggal dikarenakan kanker.
Tuk. Tuk. Tuk.
Seseorang mengetuk pintu. Sesaat ia tersadar bahwa ia telah melamun sangat lama. Buru-buru ia selipkan kembali foto itu kedalam dompetnya. Bersikap santai sebelum seseorang yang berada dibalik pintu itu menemuinya—yang sudah bisa ia tebak bahwa orang tersebut adalah Manager Ji.
"Direktur, bolehkah saya masuk?" tanya Manager Ji—yang merupakan karyawan senior, satu-satunya orang yang sangat ia percaya di perusahaannya. Sebenarnya Manager Ji bisa saja langsung masuk, tetapi ia mengetahui kondisi Direkturnya saat itu, tidak hanya dirinya, seluruh karyawan juga mengetahuinya. Dan dalam keadaan yang seperti itu, tidak ada satupun karyawan yang berani mendekati sang Direktur. Mengapa? Dia sangat menyeramkan. Begitulah yang mereka pikirkan.
"Ya, silahkan." Jawaban singkatnya itu membuat sang manager menciut ketakutan yang tengah melangkah kikuk menghampiri meja kerjanya. "ada apa lagi?" belum juga Manager Ji berkata, dia sudah bertanya dengan tegas.
"Aa.. Begini.. Tadi aku baru saja mendapatkan telepon dari Komisaris Yoo, dia mengundang anda untuk makan malam bersama dirumahnya." Wajah sang Direktur langsung masam tak senang. "apa anda akan pergi?" beberapa saat tidak ada jawaban.
"Ya, aku akan pergi." Jawabnya karena merasa akan menambah masalah jika tidak menerima undangan itu.
"Dan.. Komisaris Yoo juga mengundang Nyonya." dia menutup matanya seraya menghela nafas dengan penuh rasa lelah.