Sepatu kerjanya, jas dan dasinya sudah terletak asal di atas lantai—dikamarnya. Masih mengenakan sisa pakaian kantornya, ia berbaring lelah diatas kasurnya. Mata sayunya mengamati langit kamarnya yang gelap—karena ia tidak menyalakan lampu kamar itu. Dalam renungannya, kerinduannya pada sosok mantan istrinya kembali ia rasakan. Ekspresi apa itu? Seperti ada perasaan menyesal, bersalah dan.. kesal?
Trrrt.. Trrrt.. Ponselnya berdering.
Ia ingat itu, ponselnya masih berada didalam saku jasnya—yang sudah ia lempar asal. Terlalu lelah bergerak, ia memilih tidak menghiraukan panggilan itu. Tapi ponselnya kembali berdering bahkan hingga tiga kali panggilan dan ia tetap tidak menghiraukan panggilan itu. Huh! Kesal dengan suara getar ponselnya yang tak berhenti mengusik ketenangannya, penuh paksaan ia bergerak turun dari kasur lalu mengambil kasar jasnya. Diraihnya ponsel itu lalu meletakkan kembali jas mahalnya di atas lantai.
[Hyung!] seorang pria menyapanya dengan teriakan ekstra.
"Mmm, wae?"
[Bukankah besok kau libur? Boleh aku kerumahmu?] dia bertanya dengan penuh semangat.
"Datanglah."
[Wihii.. Sudah lama sekali aku tidak kerumahmu. Aku akan menghabiskan semua stok jelly dan permenmu! Aaa, katakan pada nuna juga ya kalau aku akan—]
Tuut.. Tuut.. Dia sudah memutuskan panggilan itu—yang ternyata dari adik laki-lakinya.
Permen? Ia lihat kearah lemari single dengan lapisan kaca disetiap sisinya. Tampak tumpukan permen disetiap rak pada lemari itu. Jika mencoba mengingatnya, sudah lama sejak terakhir kali ia membeli permen, mungkin sebulan yang lalu. Rasa lelah seperti terlupakan. Ia berdiri dari kasurnya, melangkah menuju lemari kaca itu. Ia ambil sebuah paper bag berukuran besar lalu membuka pintu lemari kaca itu.
Diambilnya beberapa macam permen dengan jumlah yang sangat banyak lalu ia masukan kedalam paper bag. Hampir melewati batas muatan, ia berhenti memilih. Sesaat matanya kembali menjadi sayu tak bersemangat. Ia letakkan paper bag berisikan permen itu ke atas meja—disamping kasurnya—lalu melangkah malas menuju kamar mandi. Disana ia menghujani tubuhnya dengan air hangat dan berusaha mengosongkan pikirannya.
--
Yoona baru saja mengganti pakaian yang sebelumnya sudah menghapus riasan diwajahnya. Ia duduk termenung dihadapan meja rias, memandangi wajahnya dari pantulan cermin. Yang selalu terpikirkan olehnya ketika dalam posisi itu, Mengapa aku menjadi seperti ini? Mengapa aku mau menikah dengannya? Ia tidak pernah berhenti memikirkan itu. Dan ketika pikiran itu mulai menghampirinya, dadanya akan terasa sesak dan membuatnya harus segera menghirup udara segar diluar sana. Dengan gaun katun selututnya—yang bertangan panjang—dilengkapi kardigan polos, ia keluar dari kamar. Oo?
Dilihatnya suaminya yang juga tengah keluar dari kamarnya dengan menenteng sebuah paper bag. Seakan tak melihat keberadaannya, suaminya itu melangkah santai menuruni tangga hingga keluar dari rumah—yang sepertinya menuju mobilnya. Sudah lama tidak melihat Sehun mengenakan pakaian seperti itu. Saat itu Sehun mengenakan jeans berwarna hitam, kaos turtle neck berlengan panjang yang juga berwarna hitam, topinya yang juga berwarna hitam, dan satu-satunya sepatu kets berwarna putih yang ia gunakan dengan cara menginjak bagian tumitnya.
Yoona dapat mengingat dengan baik. Sehun sering mengenakan pakaian seperti itu ketika hendak keluar dimalam hari—tapi sejak bulan lalu Sehun tidak pernah melakukannya—dan kini Yoona melihat hal itu lagi. Ia tidak pernah tahu apa yang suaminya lakukan diluar sana dengan pakaian yang nyaris sama itu. Sungguh, ia penasaran akan itu. Apa tidak masalah jika aku cari tahu?