tidak perlu terulang.

149 11 0
                                    

ALL Wonwoo POV

Aku memutuskan bahwa kata "cinta tak harus memiliki" itu kan ku buktikan kebenarannya. Karna perpisahan yang aku putuskan ini bukan atas dasar rasa yang telah hilang atau bahkan masa yang telah habis. Justru ini adalah sebuah pembuktian, dimana ketulusan cinta tak hanya bisa dibuktikan dengan langgengnya sebuah hubungan.

Jika kau tanya padaku alasannya, jelas alasannya karena aku mencintainya. Percayalah seorang pbohong seperti ku pun tak pernah berbohong jika sudah menyangkut cinta.

Jika kau tanya padaku takkah ku pikir perasaannya, jelas aku sangat memikirkannya. Memikirkan akankah dia lebih terluka jika bersamaku atau ia akan lebih terluka jika berpisah denganku. Kurasa aku cukup melukainya selama ini. Dan kurasa cukup ia melukaiku selama ini.

Kita mungkin hanya ditakdirkan Tuhan untuk saling mencintai bukan untuk bersama. Aku berjalan mundur perlahan, menikmati luka yang ku pilih, melihat lambaian tangan ddari orang-orang yang ku kasihi.

Lalu aku menghilang darinya, bukan menghindar, sama sekali tidak menghindar. Apalagi melupakan. Aku hanya mencoba untuk terbiasa tanpanya, tanpa dekapannya, walau selalu berujung merindukannya.

Bohong jika aku tidak mencari sosoknya pada diri orang lain. Tapi kenyataan kembali menamparku, memberi tahuku bahwa ia adalah ia. Takkan ku temukan ia pada diri orang lain.

Kala itu, perpisahan itu, ucapan itu, selalu terngiang di kepalaku, "Apakah ia benar benar tak lagi peduli padaku?" Selalu itu yang muncul dalam benakku. Saat itu aku jatuh, jatuh dalam titik terendah kehidupanku.

Flashback on

"Jeon Jihoon," Ucapku pelan. Banyak keputusasaan yang tersiratkan disana.

"Ya?"Jawabnya. Lihatlah, aku dengan bodohnya tersipu melihatnya. Jatungku berpacu cepat mendengarnya.

"Jeon Jihoon, aku melepasmu dari semua kekang yang mengekangmu. Mengembalikan marga 'Lee' di hadapanmu"-Keputusasaan itu takkah kau lihat di mataku?

"Jangan, kumohon jangan" Jangan meminta seperti itu, tolong.. Jangan membuatku berat.

"Biarlah semua jadi masa lalu Ji"-Aku mencintaimu, sangat

Flashback done

Setelah perpisahan itu, orang tua ku bercerai, keluargaku hancur. Tak ada lagi yang ku perjuangkan, aku di titik terendah kehidupan, dan ia menolakku. Menolak mengetahui keadaanku yang menggila.

Aku sendirian, Ji

Aku butuh kau menemaniku,

Aku tidak suka sendirian,

Tolong, temani aku

Ini sakit, haruskah aku sendirian yang menerimanya?

Takkah tersisa orang untuk menemaniku?

Penolakan dirinya atas diriku membuatku sadar bahwa aku tak lagi pantas untuk mengharapkan kehadirannya lagi. Membuatku sadar, bahwa ia, yang ku percayai justru membuatku semakin jatuh.

Tak hanya dirinya, seorang yang ku sebut 'kembaran'-ku pun, ia menolakku. Semua orang menolak mengetahui hancurnya diriku.
Katanya kau mencintaiku, tapi dimanakah kau saat ku luka?

Aku, dengan sisa kekuatanku, bangkit, lalu kembali dihancurkan dengan kenyataan baru bahwa kalian, keluarga tak nyata ku, melupakan aku. Namun kembali bangkit, melupakan meski berujung merindukan.

Aku mulai membuka diri atasmu, menanyakan keberadaan anakku. Memberinya nama, denan margaku tentunya. Aku bahagia, kau masih sudi memberi tahu Wonzi-nama pemberianku bahwa aku lah ayahnya.

Wonzi selalu bercerita padaku bagaimana ia selalu ditanya tentang ayahnya di sekolah, takkah ia bercerita padamu juga, Ji? Kurasa ia menjaga perasaan ibunya. Anak yang baik.

Lalu aku kembali dihancurkan, dengan kenyataan bahwa kau menemukan penggantiku meski sekarang menjadi dominan. Aku pun memiliki pengganti, tapi hatiku masih sakit atas kenyataan.

Wonzi selalu berkata, "Appa kenapa tidak tinggal saja dengan eomma?"
Dan aku selalu menjawabnya dengan lembut, "Bukankah appa dan eomma tinggal bersama dihatimu?".

Dan aku sepenuhnya sadar bahwa ia ingin aku dengan mu bersama dalam satu atap sama sama menghangatkan Wonzi. Karena Wonzi pun menginginkan kehidupan layaknya anak lain seusianya.

Wonzi selalu berkata ia merindukanmu ketika ia sedang bersamaku. Apakah ia selalu berkata ia merindukanku ketika bersamamu, Ji? Jika iya, itu berarti ia merindukan kita bersama.

Aku juga merindukannya, tapi tidak menginginkannya. Rumit, bukan?
Aku bangkit, saat itu, lalu kesekian kalinya aku dihancurkan kembali dengan kenyataan bahwa aku harus berpisah dengan pengganti mu yang ku dapatkan dengan susah payah.
Aku pernah dengan sengaja menanyakan pada Wonzi apakah ia rela jika aku ataupun kamu menikahi orang yang baru, dan jawabannya sungguh mengejutkan.

"Apakah appa benar benar bertanya begitu dengan tulus?" Tanyanya menyelidik

"Aku berbohong tentu saja, aku mencintai eomma mu" Jawabku sambil terkekeh pelan.

"Aku tidak apa jika kalian berdua menikah lagi, Appa. Tapi dengan atas dasar cinta yang baru bukan keegoisan untuk membuat satu sama lain cemburu."

"Kata-katamu seperti orang dewasa! Diajari siapa hayo?" Padahal aku juga yang mengajarinya.

"Appa ku yang tampan! Bernama Jeon Wonwoo"

"Tentu saja" Jawabku sambil mengusap kepalanya.

"Appa, jika kau mau menikah lagi, Wonzi tak apa. Tapi eomma juga harus menikah lagi saat appa menikah lagi"

"Iya sayang" Ucapku tanpa menatapnya.

Aku benar benar merasa bersalah karena keegoisan appa-nya, Wonzi harus merasakan imbasnya. Wonzi sama sekali tidak bersalah tapi ia yang kena imbasnya. Karena jika harus ada yang disalahkan ya itu aku.

Pada akhirnya Woozi datang lagi membawa hatinya ke hadapan ku, semua balik seolah tanpa pernah ada kejadian itu. Namun, aku masih disini, masih sering meraung atas luka dimasa lampau.

Luka itu masih membekas dan sering terasa sakit. Juga akupun telah menjatuhkan pilihan pada Woozi lain, aku juga tak mau lagi jadi brengsek yang memainkan hati dan perasaan orang begitu saja.

Aku juga dengan bajingannya mematahkan hati yang Woozi bawa kembali ke hadapanku. Ya, aku memang seorang bajingan selamanya akan tetap begitu.

Sungguh, ke-tidak ingin-anku atas kembali dan mengulangnya hubungan dengan Woozi bukan karena aku sudah benci apalagi muak padanya. Aku hanya berfikir tidakkah kita hanya ditakdirkan mencintai satu sama lain dan mengagumi satu sama lain tanpa harus memiliki.
Aku percaya, ia memang tertakdirkan bertemu denganku, mengingatkanku dan sebagai pembelajaran bagi ku bahwa yang indah bisa saja pergi begitu saja.

Ia kupilih sebagai pelajaran hdup, yang akan ku usahakan takkan ku ulangi pada siapapun kedepannya. Ia pernah jadi teman hidup sebelum berakhir jadi pelajaran hidup.

Woozi masih bagian terindah dari kenanganku. Aku masih sering mengenangnya dalam benakku, ber-angan angan bahwa kami bersama Wonzi di suatu hari. Ya hanya angan angan tentunya. Karena keegoisanku pastinya.

Karena tak semua kisah harus terulang, bukan karena ku percaya bahwa semua berakhir sama. Tapi ada beberapa luka yang tersebabkan seseorang yang membuat kembali padanya adalah bunuh diri.

Lee Jihoon, tahukah kamu bahwa luka ini sulit mengering? Saat itu aku benar benar butuh seseorang menemani, bukan penolakan yang menyakitkan yang menyeretku pada jurang terendah kehidupan.

Maafkan aku jika selama ini, bahkan sampai sekarang aku melukai hatimu, menggoreskan luka terus menerus. Kumohon maafkan.

Maaf juga tak bisa menerimamu. Meski hati ini berteriak menginginkan dan mengiyakan kau kembali, tapi kau harus tahu satu hal. Aku sudah cukup terluka.

Maka,

Tanyakan padaku apa aku masih mencintaimu, dan akan selalu ku jawab "Iya".

END.
----------------

YA BEGITULAH:>

PernahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang