Part 16

1.4K 239 5
                                    

"Johan. Johan." Abimayu berteriak-teriak usil memanggil namaku. Padahal aku duduk hanya setengah meter dari depan mukanya. Aku diam saja sambil memijit-mijit keningku. Pening karena mendengar Abimayu memanggil namaku terus menerus sepanjang pelajaran Fisika yang kosong karena bu Retno nggak masuk.

"Tugasmu emang udah selesai ya?" Tanya Helen sambil menatap Abimayu heran. Helen sama denganku dan sebagian besar siswa lain, masih sibuk berkutat dengan tugas yang di tinggalkan bu Retno. Tugas yang harus segera di kumpulkan ke ruang guru begitu jam pelajaran Fisika berakhir.

"Sudah." Jawab Abimayu sambil cengengesan tanpa beban, "Mau nyontek?"

Aku dan Helen saling tatap-tatapan. Kami sudah lama menebak-nebak kapasitas otak Abimayu. Kesimpulan dari kami, apapun jawaban atau contekan yang berasal dari Abimayu itu nggak bisa di percaya. Nyontek jawaban Abimayu sama saja terjun ke jurang bersamanya.

"Nggak deh." Kata Helen.

"Nggak usah gengsi. Itu nomor 2, 4, 11, 15 belum pada di kerjain tuh." Kata Abimayu sambil menunjuk-nunjuk kertas lembar jawabku dan Helen.

"Soal nomor-nomor itu kan susah. Emang kamu bisa ngerjain?" Cibir Helen.

"Bisalah." Abimayu lalu tertawa terbahak-bahak seperti om Jin yang baru keluar dari botol.

Aku berjengit kaget. Bulu kudukku meremang. Suara tawa Abimayu barusan betul-betul membuatku takut. Sudah lama aku melupakan fakta kalau aku takut pada suara semacam itu.

Dulu waktu aku kecil, aku pernah di tinggal ibuku sendirian di rumah. Aku ingat, aku menonton TV sendirian hingga tertidur. Tak berapa lama aku terbangun karena suara tawa memekakkan telinga dari TV yang masih menyala. Aku nggak tau film apa yang sedang di tampilkan di TV sewaktu itu. Yang jelas, aku terbangun ketakutan. Aku gelapagapan sambil menangis lari kesana kemari di dalam ruang keluarga, tidak tau harus berbuat apa. Sejak itu aku takut pada film apapun yang ada tokoh jin di dalamnya. Termasuk film Aladin.

"Kenapa, Jo?" Mata Abimayu berkilat penasaran melihatku langsung berkeringat dingin.

Aku mengigit bibir dan menundukan kepala semakin dalam. Amit-amit kalau sampai aku mengaku pada Abimayu bahwa barusan aku takut setengah mati pada suara tawanya. Lalu kukira Abimayu tidak akan mengeluarkan suara tawa menyeramkan itu lagi. Nyatanya saat aku berjalan keluar kelas, hendak ke ruang guru untuk mengumpulkan tugasku, Abimayu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, berat, dalam, kasar tepat di kupingku. Jantungku berhenti sesaat sebelum melorot ke kaki.

Seperti sudah jadi kebiasaan, kalau kaget aku selalu reflek berlari. Aku berlari sangat cepat menyusuri lorong sekolah sambil menutupi telingaku ketakutan. Ingin menangis rasanya, tapi tidak bisa. Aku baru berhenti berlari setelah aku jatuh tepat di depan gudang olahraga. Untung ini bukan jam istirahat, jadi tidak ada yang melihatku atau yang kukira begitu; karena saat aku menoleh kebelakang, aku melihat Abimayu berlari tergopoh-gopoh mengejarku. Di belakangnya, Helen, yang memang payah dalam olahraga, kewalahan mengejar.

Kalau aku super idiot, aku pasti akan reflek berlari lagi, menghindari Abimayu. Untungnya aku nggak sebegitu idiotnya, karena aku sadar; Abimayu nggak akan berhenti mengejarku sekalipun aku kembali berlari.

"Johan!" Seru Abimayu. Muka paniknya kelihatan lucu. Hanya tinggal tiga langkah kaki hingga sampai didepanku. "Maaf." Ucapnya. Tingga satu langkah lagi, "Aku minta maaf."

Aku meringis sebal. Tapi pada dasarnya aku pemaaf dan nggak suka mendramatisir suasana. Jadi aku langsung mengangguk memaafkannya sambil berdiri dan menepuk-nepuk lututku yang lecet.

"Maaf." Ujar Abimayu sekali lagi. Sekarang ia berdiri menjulang tepat di hadapanku. Kening Abimayu berkeringat. Wajahnya memancarkan rasa bersalah dan panik saat menunduk menatapku.

Sontak aku mulai tertawa pelan geli. Gimana nggak ketawa? Muka panik Abimayu yang selalu kelihatan percaya diri itu kelihatan super lucu.

Abimayu tertegun melihatku tertawa. Detik berikutnya, aku sudah berada dalam pelukan Abimayu. Abimayu memelukku sangat erat sampai aku kehabisan nafas. Aku bergerak kanan kiri mencoba melepaskan diri. Di saat yang sama, bukannya membantu Helen malah menatapku dengan mulut ternganga lebar.

"Dibilangin! Bener kan Abimayu itu naksir kamu!" Seru Helen.

"Nggak kok." Bantahku sambil mendorong bahu Abimayu menjauh dariku.

Helen menggertakan gigi gemas, "Huh! IYA Jo!! Beneran! Kamu percaya dikit kenapa sih? Kasihan aku tuh ngeliat Abimayu cari perhatian tapi di kacangin terus!"

"Eh? APA?" Ucapku mulai terengah-engah karena bergelut dengan Abimayu.

"Gimana kalau ngomongin perasaan orang jangan di depan orangnya?" Potong Abimayu. Akhirnya ia melepaskanku dari pelukannya.

"Yah, habis kelihatan banget sih." Helen mulai menggaruk-garuk puncak kepalanya malu sendiri.

"Perasaanku ketahuan ya?" Tanya Abimayu.

"Iya." Helen mengangguk, "Semua orang selain Johan pasti tau."

Sambil tersenyum lucu Abimayu tiba-tiba menoleh menatapku, "Kenapa aku harus suka Johan ya? Padahal Johan aneh, udah punya pacar pula."

Aku mengerjap tak percaya, "Abi nggak serius kan?"

"Kamu mau aku serius?" Mendadak ekspresi Abimayu berubah. Bibir Abimayu tidak tersenyum seperti biasanya. Rahangnya mengeras dan ia menatapku tajam. Aku mengekeret takut. Abimayu yang sedang serius tampak dua kali lebih mengerikan di banding wajah serius Saga. Karena Abimayu hampir nggak pernah kelihatan serius.

Aku melirik Helen. Berharap ia menbantuku melakukan sesuatu, karena aku nggak tau aku bersikap bagaimana saat ini.

"Kenapa kamu buat aku suka kamu, Jo? Harusnya kamu tanggung jawab."

Kami bertatapan dalam keheningan menakutkan selama sepuluh detik sebelum Abimayu kembali tersenyum, "Kok bisa ya? Padahal Johan makannya banyak, tukang remidi di sekolah, kalau lari gayanya kayak bebek pula."

Dunia Jo (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang