Caren berusaha memberontak keras-keras dari pelukan Justin, dan disaat itulah Justin membuka kedua kelopak matanya. Justin terkesiap keras begitu melihat wajah Caren berada dalam jarak hanya beberapa sentimeter dari wajahnya, meskipun ada ekspresi senang yang berusaha ditutupi Justin. dengan segera, pemuda itu melepaskan dekapan tangannya dari badan Caren, hingga akhirnya Caren bisa bernapas lega. Dia nyaris kehabisan napas ketika berada dalam pelukan Justin tadi. Tiga puluh persen karena dekapan Justin yang terlalu keras, dan tujuh puluh persen lainnya karena dia merasakan paru-parunya sesak ketika Justin memeluknya. Sesak karena... bahagiakah? Dia tidak tahu, yang jelas dia merasa nyaris kehabisan napas tadi.
"Kenapa kau berada di depan wajahku?" tanya Justin ketus. Caren diam sebentar lalu balas berkacak pinggang seperti ibu-ibu yang sedang memarahi anak lelakinya yang baru saja berbuat sebuah kenakalan yang sangat tidak patut ditolerir.
"Kau yang memelukku duluan, Bieber," kata Caren sembari memicingkan matanya ke wajah Justin. Justin mendengus dengan keras.
"Oh please, jangan mengada-ada. Untuk apa aku memelukmu?" kata Justin menyangkal, meskipun pada kenyataannya ketika dia tengah memimpikan Caren tadi. Dia bermimpi Caren berada di depannya, merangkul pundaknya dengan hangat, dan Justin ada disana, memegangi pinggul Caren sembari tersenyum bahagia. Mereka terlihat begitu akrab dalam mimpi Justin. mereka terlihat seperti pasangan kekasih sungguhan, bukan seperti sekarang, meskipun orang lain melihat mereka begitu dekat seperti pasangan kekasih pada umumnya.
"Aku tidak tahu," kata Caren frustasi, "Kau memelukku begitu saja. mana aku tahu alasannya kenapa. Memangnya aku bisa bertanya pada orang tidur?" lanjut Caren sengit, "Lagipula, kau itu seperti kerbau saja, kita sedang menyaksikan pertunjukan sebagus tadi, dan kau tertidur pulas. Ini pertunjukan balet menakjubkan, Justin, bukan dongeng pengantar tidur,"
"Lantas?"
"Itu artinya kau membuang-buang uangmu dengan percuma. Kalau kau mengantuk, mendingan kau di rumah saja. tidur di kamarmu yang nyaman, atau—"
"Kau tidak suka aku menemanimu?" Justin memotong perkataan Caren dengan nada jengkel yang kentara. Caren cemberut sebentar,
"Bukan begitu.." katanya dengan nada polos khas anak-anak. Justin memutar bola matanya dengan gerakan yang kelewat dramatis, sebelum akhirnya dia menarik tangan Caren untuk keluar dari ruangan pertunjukan dengan gerakan yang sama sekali tidak terduga. Caren sedikit tersaruk mengikuti langkah Justin, dia beberapa kali tersandung, dan itu membuat Justin berdecak tidak sabaran.
"Perhatikan langkahmu dengan benar!" perintah Justin, lagaknya hampir menyerupai bapak-bapak yang tengah memperingatkan anaknya yang baru belajar berjalan—err, salah. Mana ada bapak-bapak yang bersikap begitu ketus pada anaknya yang masih balita? Justin terang saja lebih mirip komandan militer yang sedang menyiksa anak buahnya.
"Aku sudah melangkah dengan benar," keluh Caren, "Kau saja yang berjalan terlalu cepat. Memangnya ada apa sih? Kenapa kita harus buru-buru pulang ke rumah? Kau lupa mengunci pintu kamar? Atau mematikan mesin pemanas kopi? Atau kau lupa menutup jendela kamar? Atau—"
"Tidak ada 'atau' lagi. Aku bukan pribadi yang ceroboh sepertimu," kata Justin yang secara tidak langsung mengejek Caren. Caren memutar bola matanya, dan berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Justin.
"Lantas kenapa terburu-buru? Aku kan masih ingin membeli permen kapas," lanjut Caren kesal.
"Permen kapas? Kau tidak sadar umurmu ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MY LOVELY ENEMY by Renita Nozaria
FanfictionJustin Bieber's Fanfiction by Renita Nozaria