1.2

18 0 0
                                    


Sinar matahari menyinari sebagian sisi kamarku. Lukisan-lukisan yang tertempel mengitari kamarku, sebagian mulai terlihat. Gelap mulai tergantikan oleh cahaya matahari. Alarm alam –burung berkicau– mulai membangunkanku dari tidurku yang cukup lama ini. Sedikit demi sedikit, mataku terbuka. Mulutku menguap dengan lebar. Udara dingin terasa dengan jelas ketika aku buka selimutku. Lagi-lagi yang menjadi pandangan pertama ketika bangun tidur adalah lukisanku sendiri.

"Hoahhh.....," aku mulai menguap panjang, "selamat pagi, untuk diriku sendiri."

Sudah menjadi kebiasaanku untuk mengucapkan 'selamat pagi' atau 'selamat malam' kepada diriku sendiri. Semua ini karena aku hidup hanya sendiri di sebuah kamar yang luasnya 4 x 4 meter. Tidak ada orang tua hingga saudara yang tinggal dekat denganku. Bisa dikatakan jika aku ini adalah 'perantau pendidikan' –orang yang pergi keluar kota untuk menempuh pendidikan. Diriku merantau karena mendapatkan beasiswa di sebuah sekolah bagus yang letaknya sangat jauh dari tempat asalku –beda pulau.

Seperti biasa, dengan cepat aku mengambil kacamataku –yang minusnya sudah 2,5 dioptri– lalu mematikan lampu tidurku dan menyalakan lampu kamarku. Buru-buru aku mengambil handuk dan melaju ke kamar mandi sebelum digunakan oleh penghuni kamar sebelahku. Setelah selesai mandi dan siap-siap, aku berangkat ke sekolah menggunakan sepeda. Tidak lupa aku mengunci kamarku sebelum berangkat.

Saat ini aku duduk di kelas dua SMA. Sudah menjadi kebiasaanku menjalani hidup yang berputar seperti roda ini. Bahkan tanpa bosan aku memakai baju putih abu-abu ini dari pagi hingga sore, lima hari seminggu selama kurang lebih dua tahun ini. Bahkan aku sudah terbiasa dengan jalan-jalan di kota ini yang selalu padat di pagi dan sore hari. Udara yang dipenuhi polusi ini sudah terbiasa terhirup ke dalam organ pernapasanku. Bau selokan yang selalu aku lewati sehari dua kali, sekarang sudah familier dengan indra ditubuhku. Jadi jika ditanya 'Apakah aku betah di kota ini?', maka aku akan menjawabnya 'Aku tidak betah dengan kota ini, tetapi aku sudah terbiasa dengan kota yang sudahku tempati selama kurang lebih dua tahun ini.'

Setelah sampai di sekolah –tepatnya setelah memarkirkan sepeda–, aku langsung masuk ke dalam kelas dan mengikuti pelajaran yang sudah berlangsung kurang lebih lima menit yang lalu. Kebiasaan telatku inilah yang sering yang sering disindir orang dengan halus. Kurang lebih, 'Orang yang sering terlambat, sebenarnya orang yang memiliki pikiran yang luas...' Kata-kata itu dikutip dari sebuah buku membahas mengenai orang-orang yang berpikiran luas. Dan salah satu ciri dari orang-orang itu adalah sering telat.

Pelajaran terus berjalan, hingga akhirnya bel pergantian jam pelajaran berbunyi.

"Shin... kenapa kamu terlambat hari ini?" Tanya teman satu mejaku. "Oh iya kamu biasanya terlambat ya..."

"Ishhh... memangnya telat sebuah masalah besar bagi kelas ini?"

Buku dia letakan di atas meja. "Tetapi ada peraturan sekolah yang mengatur jika terlambat masuk kelas akan terkena skors, kan?"

Aku mengangguk. "Memang... tetapi yang perlu kamu ketahui, peraturan itu dibuat hanya untuk formalitas. Lagipula jika aku terlambat saja harusnya sudah di hukum, bagaimana dengan orang yang sudah mencemarkan nama sekolah ini? Dikeluarkan?"

Hanya senyuman lebar yang menjadi balasannya. Terdiam seribu bahasa, seperti terbungkam oleh singa yang menerkam dengan ganasnya. Kami kembali menjalani urusan kami masing-masing

Sepuluh menit kemudian –lamanya menunggu guru masuk–, guru pelajaran Bahasa Indonesia, bu Tuna, masuk ke kelas. Wajah berkulit keriput yang dipenuhi oleh make up sebuah ciri khas dari guru ini. Dua buku yang selalu dia bawa terlihat di tangan kanannya. Guru inilah yang dapat membuat suasana kelas yang tadinya ramai menjadi sunyi seketika. Dialah salah satu 'Guru Galak' yang memiliki wajah ganda –kadang baik, kadang juga ganas.

"Selamat pagi semuanya..." Ucap guru itu dengan tersenyum lebar.

"Selamat pagi."

Akhirnya pelajaran Bahasa Indonesia dimulai. Materi mengenai novel disampaikan saat itu juga tanpa membuang waktu. Diriku yang duduk diposisi pojok belakang hanya pura-pura memperhatikannya. Bukan hanya di pelajaran ini saja, tetapi dipelajaran-pelajaran berikutnya. Bahkan hampir setiap hari, aku melakukan hal ini tanpa memandang karakteristik dari setiap guru –galak atau baik, acuh atau tak acuh.

Pukul 03.30, bel tanda pulang sekolah akhirnya berbunyi. Seperti biasa. Setiap hari Kamis, pukul 04.15, aku harus sudah sampai di tempat kerjaku. Jaraknya mungkin sekitar tiga kilometer dari sekolah, dan dua kilometer dari rumah. Ketepatan waktu adalah prioritas utama bagiku untuk mendapatkan uang dengan kerja shift.

Selama kurang lebih dua tahun aku tinggal mandiri di sini. Dua tahun juga, aku juga mulai hidup mandiri dengan kerja shift itu. Pekerjaannya ialah menjaga warnet sampai jam 9 malam pada hari Rabu, Kamis, dan Sabtu. Gajinya lumayan untuk tambahan kebutuhan makananku di kota ini.Walaupun gajinya tidak banyak, aku masih mensyukuri itu. Toh juga, aku bisa mengakses internet untuk menyelesaikan tugasku atau melakukan hal-hal yang menyenangkan bagiku –seperti membuka media sosial atau melihat video. Terkadang ketika pemilik warnet ini berkunjung, aku juga mendapatkan nasi bungkus untuk makan malam secara cuma-cuma.

Ketika menjaga warnet, aku dilarang menggunakan seragam. Oleh sebab itulah aku sudah menyediakan baju ganti yang sekiranya sopan. Kalimat-kalimat seperti, "Selamat datang di Cha-net, Smoking atau Non-Smoking?" dan "Jumlahnya blablabla rupiah." Dengan senyuman dan nada yang sopan seakan hal yang biasa bagiku saat ini.

Sudah cukup larut malam aku bersepeda pulang. Mataku berkedip-kedip terus menandapakan jika aku sudah tidak kuat lagi. Aku membutuhkan tidur untuk saat ini.

"Terus... terus... tinggal sedikit lagi. Kayuhlah..." Begitulah ucapku dalam hati kepada diriku sendiri.

Keseharian yang seperti ini membuatku sangat kelelahan. Tetapi kelelahan ini tidak akan berpengaruh kepada prestasi dan nilaiku di sekolah. Justru... jika aku tidak merasakan kehidupan yang melelahkan ini, aku tidak akan bisa hidup.

Semua kelelahan ini nantinya akan hilang dengan cepat ketika sampai rumah. Satu chapter dari novel yang aku copascopy paste– dari warnet tadi, akan menumpas habis semua rasa lelah. Aku tahu ini seperti melakukan pembajakan terhadap karya orang lain. Tetapi aku tidak ada niat untuk menjual-belikan hasil print-out ini. Aku hanya ingin membacanya sendiri dengan alasan karena aku tidak dapat membeli buku novel. Sedangkan novel seperti bagian penting dari hidupku.

Saat aku membaca novel, rasanya seperti aku masuk ke dunia lain dan menjadi tokoh yang memiliki kehidupan yang tidak terlalu berat. Untuk bulan ini, aku membaca novel ke-empat 'Bumi' dengan judul 'Bintang'. Dalam novel inilah, aku merasa menjadi Raib 'si Putri Bulan'. Dengan kekuatannya dan sikapnya yang unik, aku ingin menjadi dia. Ingin sekali rasanya menyelamatkan dunia dari kehancuran.

Untuk malam ini, tidak banyak yang aku baca. Hanya tiga lembar, tetapi sudah bisa menjadi dongeng tidurku. Mataku sudah mengantuk. Tubuhku sangat lemas. Dan yang lebih penting, besok aku ada jam nol –masuk jam 06.30. Jadi, aku langsung menghempaskan tubuhku ke kasur dan menutup mataku.

Sebelum aku terlelap tidur, aku selalu berkata dengan pelan,

"Saat ini bukanlah saatnya untuk mengeluh. Karena akan ada hari esok yang memberikan sesuatu yang baru lainnya."

***

Me & MyselfWhere stories live. Discover now