Bagian 3: Pelukan

24 1 0
                                    



- Ada alasan kuat mengapa kenangan selalu sulit dilupakan, karena Tuhan terlalu baik menciptakan dua tempat untuk menyimpannya, hati dan memori- Alfarellza Dewanda

---

Bak siklus hidup klise yang sering diangkat dalam sinetron. Seseorang yang "merasa" disakiti kehidupan, menutup hatinya rapat-rapat, terbuka oleh satu perasaan indah yang disebut cinta, kemudian ditinggalkan. Jika kata sakit saja tak bisa mewakilinya, lantas apa lagi yang dapat dilakukan selain bertahan dengan berpura-pura terlihat kuat? Untuk itu disinilah ia sekarang, menghisap sebatang rokok di balkon Kantin Sekolah untuk menenangkan diri.

SMA Surya Buana memiliki Kantin yang luas dengan balkon berisikan kardus-kardus tak terpakai milik para penjual Kantin di pojokan. Tempat itu juga dijadikan basecamp anak-anak bandel yang ingin merokok atau sekedar rapat untuk menyusun strategi tawuran. Sudah jadi kebiasaan seorang siswa kalau malas pelajaran, alibi paling mutakhir yang kebanyakan diterapkan adalah izin sakit, lalu tidur di UKS, atau juga izin ke belakang kemudian tak kembali hingga pelajaran berakhir. Kalau sudah begini, pilihan anak-anak SMA Surya Buana adalah balkon kantin. Tempat itu dianggap paling aman karena tak pernah terjamah oleh Guru, bagi mereka yang disana, menikmati makan dan rokok di atas balkon dengan ditemani semilir angin adalah perpaduan ciamik surga dunia.

"Sial, harusnya gue udah biasa." Umpatnya. "Sudah biasa" yang ia maksud adalah biasa ditinggalkan. Ia tentu tak bisa mengalah dengan perasaan sialan ini. Ketika pikirannya masih sibuk dengan umpatan atas kabar pernikahan ibunya, ponselnya tiba-tiba berdering. Ia mengambil benda itu dari dalam saku celana, kemudian meng-slide layar.

"Hmm.." Jawabnya singkat.

["Singkat amat bos jawabnye, lo udah kayak cewek yang lagi ngambek ama cowoknya."], terdengan suara sedikit berbisik dari penelepon.

Cowok itu mendengus," Buruan ngomong! Bacot mulu, Anjir!"

Terdengar kekehan di seberang sana, [" Iye! marah-marah mulu, menstruasi lo bos?"]

"Ck, apaan bego? Buru!", tanyanya dengan nada kesal.

["Balik ke kelas lo bos, pelajaran mulai, gue udah bilang ke Pak Samadi kalo lo lagi setor, satu suara loh ya, ja...!"]

Belum sempat selesai Manggala berbicara, Alfa sudah menutup telepon. Ia berani bertaruh bahwa saat ini Manggala sedang mengumpat habis-habisan karena ia memutus sambungan telepon begitu saja. Tapi apa pedulinya? cowok itu sedang dalam mood tak baik, Jadi, jangan berani menganggunya atau tombol kemarahannya akan otomatis terpencet seperti saklar lampu jalanan. What the fuck with life kalau kata Alfa. Ia tidak peduli, lebih tepatnya berusaha tidak peduli. Ibarat berlari tanpa tahu dimana garis finish-nya, maka itulah yang ia lakukan, ia hanya tahu caranya berlari tanpa memikirkan bagaimana itu akan berakhir, ia mungkin akan berhenti, nanti, jika semesta berbaik hati memperlihatkan garis finishnya, atau mungkin membuatnya terbunuh dalam perjalanan. Ia tidak akan berharap lebih, karena nyatanya dunia memang tidak seramah yang manusia inginkan.

Alfa menghisap rokoknya dalam, kemudian membuangnya ke lantai. Ia lalu bergegas turun dari tempat itu. Sebenarnya ia bisa memilih untuk tetap tinggal, tapi kali ini logikanya mengatakan "menurut saja", ia tak mau bertemu dulu dengan ibunya dalam waktu dekat. Jika Alfa berbuat masalah seperti biasanya, ibunya pasti akan dipanggil Sekolah, untuk itu mereka jadi akan punya alasan untuk bertemu. Tidak! Saat ini Alfa tidak akan siap bertemu dengan wanita itu. Berani-beraninya wanita itu memutuskan menikah lagi sementara Alfa sendiri bahkan belum tahu siapa ayahnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 14, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Elegi LangitWhere stories live. Discover now