Suasana di Kadipaten kerajaan Galung tengah dirundung duka. Sudah seminggu ini Patih Giling Wesi memerintahkan prajurit-prajurit pilihan untuk mencari kapal layar yang membawa putrinya. Sampai saat ini mereka belum memperoleh kabar berita sama sekali.
Di Pendopo Kepatihan, Patih Giling Wesi seperti orang kebingungan. Melangkah hilir mudik dengan hati diselimuti kegelisahan. Tiba- tiba langkahnya terhenti. Matanya memandang ke depan Pendopo. Seorang tamtama berjalan tergopoh-gopoh menuju Pendopo.
"Tamtama, ada apa?" tanya Patih Giling Wesi setelah tamtama itu mendekat memberi hormat.
"Hamba menerima Iaporan dari beberapa telik sandi, Gusti Patih," jawab tamtama itu. "Cepat laporkan!"
"Beberapa telik sandi yang hamba kirim untuk mencari keterangan tentang Putri Intan Kemuning, telah kembali pagi tadi. Dilaporkan bahwa kapal yang membawa Putri Intan Kemuning dirampok gerombolan Bidadari Sungai Ular," tamtama itu menuturkan dengan sikap hormat.
"Bedebah!" geram Patih Giling Wesi murka. Gerahamnya sampai bergemerutuk dengan wajah merah padam."Gerombolan Bidadari Sungai Ular sangat ganas, Gusti Patih. Tidak peduli kapal siapa yang akan jadi sasaran," lanjut tamtama itu lagi. "Kumpulkan prajurit pilihan, kita berangkat sekarang juga ke sungai Ular!" perintah Patih Giling Wesi.
"Sendika, Gusti Patih," tamtama itu memberi hormat, lalu melangkah mundur.
Patih Giling Wesi bergegas masuk ke kamar pribadinya. Istrinya terheran-heran melihat wajah suaminya yang merah padam. Dan betapa terkejutnya istri Patih Giling Wesi ketika suaminya mengambil pedang pusaka. Telah lama patih itu tidak menyentuhnya lagi.
"Kang Mas...."
Patih Giling Wesi menoleh. Dia baru sadar kalau istrinya, Rara Angken, berada di kamar ini. Pikirannya terpusat penuh pada keselamatan putri mereka, sehingga tak sadar kalau istrinya sejak tadi memperhatikan tingkah lakunya.
"Untuk apa pedang itu?" tanya Rara Angken. Nada suaranya bergetar penuh kecemasan.
"Aku akan mencari Intan Kemuning," sahut Patih Giling Wesi.
'Tapi mengapa harus membawa pedang pusaka?"
"Beberapa telik sandi melaporkan kalau kapal yang membawa Intan Kemuning dirampok oleh Gerombolan Bidadari Sungai Ular."
"Oh...!" Rara Angken menekap mulutnya. "Berdoalah pada Hyang Widi untuk keselamatan anak kita," lembut suara Patih Giling Wesi."Intan, anakku...," Rara Angken tak kuasa lagi menahan air matanya.
"Dinda Rara Angken, tidak ada gunanya kau menangis. Berdoalah agar anak kita selamat. Perompak itu memang ganas, tapi firasatku mengatakan bahwa Intan Kemuning masih hidup. Tenangkan hatimu. Aku berjanji akan membawa kembali anak kita," ujar Patih Giling Wesi sambil mengelus-elus kepala dan bahu istrinya.
Rara Anken masih terisak. Air matanya menganak sungai di pipi.
"Aku pergi, Dinda," pamit Patih Giling Wesi setelah menarik napas panjang.
"Kang Mas...," lirih suara Rara Angken.
Pedih hati Patih Giling Wesi melihat istrinya menangis. Namun kakinya melangkah tegap, terayun ke luar kamar. Sementara sekitar lima puluh prajurit bersenjata lengkap sudah berbaris menunggunya di depan Pendopo.
Seorang prajurit menuntun seekor kuda hitam tinggi kekar ketika Patih Giling Wesi tiba di depan Pendopo. Tanpa banyak basa-basi lagi, patih yang terkena! pemberang itu segera melompat ke punggung kuda dengan gerakan yang lincah.
Para prajurit bergegas menaiki kudanya masing-masing. Patih Giling Wesi segera memacu kudanya dengan cepat diikuti oleh pasukannya. Derap langkah kuda terdengar bergemuruh meninggalkan kepulan debu bergulung-gulung. Kepatihan kembali sepi setelah mereka ke luar dari benteng diiringi oleh mata beberapa penjaga yang terkesima."Hiya...! Hiya...!" Patih Giling Wesi meng-geprak kudanya agar lebih kencang lagi.
Kuda hitam mengkilat itu mendengus-dengus berlari bagai anak panah melesat cepat Kuda Patih Giling Wesi memang kuda pilihan. Tidak heran kalau para prajuritnya tertinggal di bela- kang. Padahal mereka telah memacu kudanya secepat mungkin.
Sebuah jalan desa yang kanari kirinya berdiri rumah penduduk, mereka lewati. Semua orang yang berada di jalan segera menepi. Mereka terheran-heran melihat banyak prajurit yang sudah terkenal kedigjayaannya seperti akan perang.
Tiba kini sebuah kedai mereka lewati. Semua orang dalam kedai menoleh. Tetapi yang terlihat hanya kepulan debu saja. Di antara pengunjung kedai, duduk tenang seorang pemuda tampan yang tengah menghadapi guci arak. Pemuda itu tidak merasa terganggu oleh ulah prajurit kepatihan yang memacu kuda dengan cepat itu. Padahal banyak orang dalam kedai bertanya-tanya dan menduga-duga. Pemuda itu mengenakan baju rompi putih yang lusuh. Di punggungnya bertengger sebilah pedang dengan gagang berbentuk kepala burung rajawali. Dia adalah Rangga, Pendekar Rajawali Sakti.
"Seperti akan perang saja prajurit-prajurit itu," terdengar suara dari meja tidak jauh dari tempat duduk Rangga.
Rangga melirik ke arah suara itu. Dua anak muda duduk menghadapi empat guci arak. Dari pakaiannya dapat ditebak kalau mereka anak seorang bangsawan kaya. Atau paling tidak anak saudagar.
"Tidak biasanya, Patih Giling Wesi ikut serta. Pasti ada sesuatu yang gawat," sahut temannya.
"Mereka mencari putri Intan Kemuning!"
Semua orang di kedai terdongak dan menatap arah suara yang datang tiba-tiba itu. Ternyata seorang kakek tua mengenakan baju compang- camping dengan tongkat merah menyangga tubuhnya. Kakek tua itu bersandar pada tiang kedai. Dari tongkat dan pakaiannya semua orang tahu dia adalah Pengemis Sakti Tongkat Merah. Tapi jarang yang tahu kalau nama sebenamya adalah Aki Lungkur. Hanya tokoh-tokoh tertentu saja yang tahu nama aslinya.
"Kakek gembel! Kau jangan bicara sembarangan!" bentak salah seorang dari dua pemuda tadi.
"He he he...," Aki Lungkur atau si Pengemis Sakti Tongkat Merah itu hanya terkekeh saja. Dia tahu siapa dua pemuda congkak itu. Mereka putra-putra para punggawa kerajaan. Yang memakai baju berwarna merah, bernama Hanggara. Sedangkan yang berpakaian warna hijau bernama Rangkasa. Mereka hanya pemuda-pemuda yang besar mulut tanpa nyali sedikit pun. Dan semua orang tahu siapa Intan Kemuning. Bunga Kepatihan yang menjadi incaran dan impian putra-putra bangsawan dan punggawa kerajaan. Memang, hilangnya Intan Kemuning belum tersebar luas kecuali para prajurit pilihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
2. Pendekar Rajawali Sakti : Bidadari Sungai Ular
ActionSerial ke 2. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.