Bab 5

23 5 5
                                    



Malam itu, belum sampai satu hari membuntuti Ayu, ia telah kehilangan keberadaan kakaknya tersebut. Tepat di persimpangan jalan, di mana terdapat perumahan-perumahan yang cukup padat dan pepohonan yang tumbuh lebat di pinggiran jalan. Lelah mencari keberadaan Ayu, ia pun mencoba beristirahat di sebuah gardu di perbatasan perumahan.

Jalanan terlihat lengang. Bahkan hewan-hewan pun seakan-akan menolak melintasi daerah tersebut. Ia merapatkan tubuhnya kala udara semakin dingin. Ia tutup kedua telinganya dan memejamkan kedua matanya rapat-rapat. Suasana sepi dan suhu udara yang semakin dingin membuat tubuhnya gemetar karena ketakutan.

Tap ... tap ... tap ....

Suara derap langkah kaki dari kejauhan menyadarkannya dari ketakutan. Ia semakin merapatkan dirinya pada dinding gardu yang terbuat dari bambu.

Tap ... tap ... tap ....

Bulu kuduknya berdiri. Ia semakin ketakutan kala langkah kaki tersebut terdengar semakin dekat. Namun, rasa penasarannya seakan-akan mengalahkan segalanya. Ia pun diam-diam memanjangkan lehernya lalu mengintai jalanan untuk mencari keberadaan sosok yang membuatnya merinding ketakutan.

Tepat di ujung jalan seorang pemuda berjalan dengan tergesa-gesa menuju ke arahnya. Lalu ketika jarak mereka semakin dekat, pemuda itu lantas melewatinya tanpa memalingkan pandangannya ke sembarang arah seolah-olah begitu ambisius untuk sampai di tempat tujuan. Merasa aneh sekaligus penasaran dengan pemuda tersebut, ia pun membuntuti si pemuda diam-diam.

Langkahnya yang cukup berisik akibat desisan karena menahan dingin tak mampu membuat si pemuda memberhentikan langkahnya. Pemuda itu terus saja melangkahkan kakinya hingga sampai di sebuah rumah sederhana yang terletak di pinggiran sungai Citarum. Melati memberhentikan langkahnya tatkala si pemuda memasuki rumah tersebut. Tak lama setelahnya, terdengar suara yang cukup berisik dari kejauhan. Melati pun segera menyembunyikan dirinya di balik semak-semak yang cukup dekat dengan rumah tersebut.

Suara tersebut semakin jelas terdengar hingga dalam jarak sekitar lima meteran terlihatlah beberapa orang tengah membawa dua orang laki-laki dengan tangan terikat ke belakang.

"Tolong perlakukan mereka dengan baik. Ingat dengan identitas bangsa kita," kata seorang pemuda yang memimpin rombongan tersebut. Setelahnya, rombongan tersebut memasuki rumah.

Melati menyipitkan matanya kala bayangan Ayu terlihat dari salah seorang pemuda yang menjaga pintu rumah. Ia pun mengendap-endap semakin dekat dengan rumah. Dari posisinya saat ini, ia bisa melihat punggung dua orang sandera yang tengah duduk di sebuah ruangan dengan ditemani oleh beberapa orang pemuda yang mengelilingi mereka berdua. Malam itu, tidak ada satupun dari mereka yang terlihat lelah maupun mengantuk.

Begitu dua sandera tersebut memalingkan wajahnya ke samping kanan dan kiri, Melati menutup mulutnya rapat-rapat. Pasalnya, ia tahu siapa sosok si sandera. Berbagai kalimat tanya hinggap dalam kepalanya. Apa yang dilakukan oleh sosok orang yang berpengaruh di rumah terpencil tersebut?

"Kemerdekaan harus disegerakan," ucap seorang pemuda.

"Tidak. Kita harus menunggu keputusan dari Jepang. Kita tidak ingin terjadi perang yang lebih parah."

"Bagaimanapun Jepang telah menyerah dalam perang besar kali ini. Apa yang perlu dirundingkan dengan mereka? Ini kesempatan kita," ucap si pemuda lagi.

Perdebatan alot berlanjut terus-menerus hingga membuat Melati secara tidak sadar menyenggol pot bunga yang ada di dekatnya. Suara berisik yang ditimbulkannya mampu untuk meredam perselisihan di dalam ruangan untuk sementara, karena tak berapa lama kemudian seorang pemuda kembali memaksa untuk menyegerakan kemerdekaan kepada si sandera yang ia ketahui sebagai sosok Bung Karno dan Bung Hatta.

Ia pun segera beranjak dari tempat tersebut, namun langkahnya terhenti kala sebuah suara mengagetkannya dari belakang. Bulu kuduknya otomatis berdiri. Pikirannya melalang buana hingga ia tak sempat memikirkan siapa yang tengah memanggilnya.

"Berhenti."

Tubuhnya gemetaran kala langkah kaki si pemanggil semakin mendekat. Matanya tertutup rapat-rapat. Ia ucapkan doa-doa yang ia hapalkan dalam hati berharap hidupnya masih aman.

"Kamu ... Melati?"

Mendengar si pemanggil terkejut akan sosoknya, ia pun mencoba membuka matanya. Ia pun ikut terkejut kala sosok Ayu Xie berdiri di depannya dengan tampilan tomboi.

"Kakak?"

Ayu segera membekap mulut Melati lalu membawa adiknya ke halaman belakang rumah.

"Kak, ada apa sebenarnya ini? Rumah siapa ini?" tanya Melati tidak sabaran begitu bekapan tangan Ayu terlepas dari mulutnya.

Ayu menghela napas dengan berat. Ia tahu identitasnya akan terbongkar di hadapan adik angkatnya sendiri suatu hari nanti, tapi tidak secepat ini.

"Ini rumah ... Bapak Djiaw Kie Siong." Ayu menarik napas serakus-rakusnya. Masalah ini ... ia rahasiakan rapat-rapat pada adiknya, sebab ia tahu Melati akan menentangnya mengingat gadis itu adalah salah satu korban perang. Lalu kali ini ia akan berperang, kembali berjuang menuntut kemerdekaan yang selama ini diimpikannya, salah satu pribumi yang lahir dan akan mati di tanah airnya yang tercinta.

"Kakak ... Demi apapun, Mel. Tolong jangan paksa Kakak untuk berhenti. Tolong kamu jangan ikut jejak Kakak. Kakak tidak ingin kamu terluka," kata Ayu sembari menatap mata Melati dengan intens. Melati terdiam. Perkataan Ayu benar-benar mencubit perasaannya.

"Kak. Mengapa bisa Kakak berpikiran seperti itu?"

Keduanya sama-sama terdiam. Ayu yang begitu terkejut akan reaksi Melati setelah perkataannya. Sedangkan Melati masih menunggu jawaban dari pertanyaannya.

"Jadi ... ini negosiasi rahasia dengan dua orang paling berpengaruh terhadap nasib bangsa ini?" tanya Melati ketika merasa lelah dengan sikap Ayu yang masih setia menutup rapat mulutnya.

"Iya."

"Lalu peran Kakak?" tanya Melati sekali lagi. Ia begitu gemas dengan sikap Ayu yang seakan-akan lari dari tanggung jawabnya—menjelaskan semua seluk beluk kehidupannya pada Melati.

"Agen." Melati pun otomatis memindai penampilan Ayu dari atas hingga ke bawah lalu ke atas lagi. Sekarang ia paham, mengapa Ayu rela memotong rambutnya dan berpakaian seperti laki-laki. Paras dan lekuk tubuhnya memang sedikit cocok dengan perawakan laki-laki berisi.

"Baiklah." Setelah mengatakan hal tersebut, Melati pun beranjak dari tempatnya. Ia mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Bagaimana mungkin ia duduk diam sementara Ayu dan semua warga pribumi tengah berjuang? Bagaimana mungkin ia duduk diam sementara ia juga ingin merdeka, juga ingin bebas?

Namun, bayangan hangusnya desa tempat asalnya masih membayanginya. Bagaimana kebengisan tentara Jepang pada pribumi. Bagaimana tangguhnya musuh menghadapi para warga desanya yang menyerang secara diam-diam menggunakan tonggak bambu. Bagaimana suara bom yang menggelegar hingga menghasilkan asap yang pekat di langit malam itu. Dan ... bagaimana bayangan ibu kandungnya kala pergi meninggalkannya untuk berjuang demi kata bernamakan kemerdekaan.

Tubuhnya tiba-tiba bergetar. Ia takut kejadian di masa yang lalu akan terulang kembali. Ia takut satu-satunya keluarga yang baru saja ia miliki akan pergi meninggalkannya. Ia takut mati. Namun ... ia lebih takut hidup sendirian. 

"Mungkin mati dengan kakak lebih baik daripada aku harus mengulangi kisahku yang dulu," lirih Melati sembari tersenyum paksa.

Untuk Sebuah Nama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang