Bab 8

16 5 0
                                    



Tepat seminggu setelah ajakan dari Ardi, pemuda itu pun datang ke pondoknya seperti janjinya. Dengan menggunakan kaos oblong berwarna abu-abu yang telah buluk, entah mengapa di matanya pemuda itu tampak menarik untuk dipandang.

"Mungkin pengaruh dari wajah tampannya," pikir Melati.

"Pagi, Neng," sapa Ardi kala telah sampai di depan pagar bambu yang menjadi gerbang pondok. Kala itu Melati tengah membersihkan halamannya dari daun-daun mangga yang berguguran.

"Masuk, Mas Ardi." Melati mempersilahkan pemuda tersebut masuk ke pondoknya.

"Sebentar ya, Mas. Melati selesaikan ini dulu." Melati kembali meneruskan pekerjaannya menyapu halaman depan. Sedangkan Ardi tidak masuk ke dalam rumahnya, ia malah duduk jongkok di depan pintu sembari memandang Melati dengan mata berbinar.

"Mas?" Melati melambai-lambaikan tangannya tepat di wajah Ardi setelah menyelesaikan pekerjaannya. Pasalnya, pemuda itu malah bengong memandang dirinya dengan wajah yang terlihat bodoh.

"Pfft." Ardi mengedipkan kedua matanya kala tawa renyah terdengar di telinganya. Pemandangan Melati yang tengah terkekeh terpampang jelas di kedua matanya. Kedua mata gadis itu terpejam. Sedangkan bibirnya melengkung dengan sempurna dan memperlihatkan lesung pipi kanannya.

"Ahem." Merasa risih diperhatikan terus-menerus oleh pemuda di hadapannya, Melati pun berdehem untuk menyadarkan mereka berdua dari suasana romantis yang tercipta.

"Silahkan masuk, Mas."

Keduanya pun masuk ke rumah tanpa menutup pintu. Semua jendela rumahnya ia buka agar udara pagi masuk dan bau apek berkurang.

"Teh, Mas?"

Ardi pun hanya mengangguk sebagai tanggapannya. Setelah membuka semua ventilasi rumahnya, ia pun pergi ke dapur untuk menyiapkan teh. Sedangkan Ardi asik menatap seluruh isi rumah Melati. Rumah atau pondok yang ditempati gadis itu terlihat nyaman walau dibangun dengan anyaman bambu sebagai dindingnya. Begitupula dengan perabotan rumahnya yang kebanyakan terbuat dari bambu.

Setelah teh sampai di hadapannya, Ardi pun langsung menuangkannya pada wadah dan menyeduhnya. Ia sesap teh hangat buatan Melati dengan hikmat hingga kedua matanya tertutup.

"Mas Ardi," panggil Melati.

"Iya?" Ardi pun membuka matanya dan mulai memfokuskan arah pandangannya pada Melati.

"Melati ... bersedia ikut Mas Ardi. Tapi, jika Mel ikut nanti tinggal di manakah?" tanya Melati setelah seminggu ia merenung. Mungkin ia memang harus memperluas relasi. Mungkin ia harus pergi untuk mengetahui bagaimana keadaan negeri di luar sana. Mungkin ia harus pergi agar ia tahu bagaimana mencari kebahagiaan.

"Nanti Mel bisa tinggal dengan Mas atau tinggal bersama saudara perempuan Mas di sana," sahut Ardi meyakinkan.

"Baiklah, Melati mungkin akan tinggal dengan saudara Mas Ardi saja."

***

Seminggu kemudian mereka berdua pun pergi ke desa sebelah untuk tinggal di sana. Banyak yang menyayangkan kepergian Melati dari desa tersebut karena perawakannya yang ramah dan santun membuat warga desa terlalu menyayanginya. Dengan berbekal sebuah becak sederhana, mereka pun akhirnya tiba di dusun Rawagede Karawang.

Di dusun tersebut, Melati mendapatkan pekerjaan baru sebagai peternak yang bekerja di bawah pengawasan majikannya, sepupu perempuan Ardi. Selama tinggal di dusun Rawagede, ia mendapatkan banyak sekali ilmu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Bagaimana menderitanya rakyat di masa lampau dan bagaimana kehidupan rakyat Rawagede di masa setelah kemerdekaan. Pemuda-pemuda di desa tersebut pun ramah-ramah. Mereka mengajarkannya arti dari sebuah perjuangan dan kecintaan terhadap tanah air. Bagi mereka, rakyat Indonesia adalah pemilik asli dari tanah dan lautan Indonesia. Jika mereka masih diperbudak dan dimanfaatkan orang lain, untuk apa mereka hidup. Merekalah penduduk asli namun malah mereka yang tersiksa di negeri sendiri. Jika bukan bodoh, apa namanya.

"Melati?" seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahunan memanggilnya.

"Iya, Kak Aisah?" Aisah Hidayat, saudara sepupu Ardi, menyapanya kala ia tengah memberi pakan kepada ternak-ternak si majikan, seperti ayam, bebek, dan kambing.

"Sudah selesai pekerjaannya? Mas Ardi menunggumu di luar," ungkap Aisah. Gadis itu mmberikan tatapan menggoda pada Melati kala menyebutkan nama Ardi dalam perkataannya.

"I ... iya, sebentar Kak."

"Kamu pergi saja. Sisa pekerjaan disini biar saya kerjakan," kata Aisah dengan nada menggoda. Ia terlalu gemas dengan gadis di hadapannya ini. Bagaimana bisa sepupunya yang kekar dan sedikit urakan itu menemukan gadis sepolos Melati yang masih berusia empat belas tahunan? Parahnya, sepupunya itu seperti memendam perasaan pada gadis mungil ini.

"T ... tapi, Kak." Melati menolak dibantu oleh Aisah, pasalnya perempuan itu adalah majikannya. Bagaimana mungkin majikan malah menyuruh pegawainya berleha-leha dengan seorang pria?

"Tidak apa-apa. Sana pergi. Sebelum si Mas kesal, nanti kamu diapa-apain sama dia," kata Aisah, berusaha menakut-nakuti Melati.

"E ... Ehhh? Diapain bagaimana, Kak?" tanya Melati mulai penasaran.

"Hmm ... Tidak apa. Kakak bercanda. Sudah sana, pergi." Aisah pun mendorong tubuh Melati menjauhi peternakan. Ia sisir rambut gadis itu yang sedikit berantakan dengan tangan lentiknya.

"Walau harus tahan banting, anak gadis harus menjaga penampilannya, ingat?" kata Aisah lalu menepuk pundak Melati dengan lembut seraya berbisik, "Semoga kalian ...."

Tak sempat ia mendengar kelanjutan kalimat yang dibisikkan oleh Aisah, tangannya tiba-tiba ditarik oleh pemuda yang ternyata adalah Ardi.

"Ciee ... Mas Ardi sudah tidak sabar," goda Aisah dari belakang. Sedangkan Melati hanya bisa melongo dan tersipu di saat yang bersamaan. Selama sebulan tinggal di dusun Rawagede, Ardi selalu menolongnya kala ia dilanda kesepian. Pemuda itu juga sering menyelamatkannya dari godaan preman-preman yaang sering dialaminya.

"Mas, ini mau kemmana?" tanya Melati kala tersadar dari lamunannya setelah mereka berdua berjalan cukup jauh menuju arah matahari terbit. Namun Ardi hanya terdiam tanpa menanggapi pertanyaan Melati. Pemuda itu terus menarik tangannya hingga sampailah mereka di sebuah padang rumput yang jaraknya cukup jauh dari dusun Rawagede.

Mereka berdua pun duduk dengan santai di atas padang sembari memandang langit siang itu yang cukup cerah. Melati masih bingung dengan sikap Ardi yang tiba-tiba menjadi pendiam.

"Mas."

"Neng," ucap mereka berdua bersamaan. Melati tersipu begitupula dengan Ardi.

"Neng Melati dulu," ucap Ardi lalu.

"Mel ... tidak paham mengapa Mel diajak ke tempat sejauh ini hany untuk berbincang," ucap Melati pada akhirnya. Ardi menghela napasnya. Setelah menenangkan dirinya, ia menyentuh telapak tangan Melati yang santai menyangga tubuhnya.

"Neng."

"Iya, Mas?" Melati pun menoleh dan memandang Ardi tepat di manik matanya. Ardi menelan ludahnya susah payah. Ia pun mengangkat tangannya dan mulai membelai rambut Melati dengan lembut. Tangannya terus bergerak menelusuri lekuk wajah Melati secara perlahan seolah-olah tengah menikmati tekstur wajah gadis itu.

Melati sedikit kaget dengan perlakuan Ardi padanya. Takut akan terjadi sesuatu, ia pun menyentuh tangan Ardi yang tengah membelai pipinya sehingga otomatis pemuda itu menhentikan kegiatannya.

"Jangan, Mas."

"Ah, maaf, Neng. Mas ... tidak sengaja," ucap Ardi dengan pipi memerah. Gadis di hadapannya ini terlalu memesona hingga ia hampir tak bisa menahan dirinya untuk menjadikan Melati sebagai miliknya seutuhnya.

Melati pun menggangguk tanpa bersuara. Ia terlalu kaget namun merasa perlakuan Ardi padanya terlalu manis untuk dihentikan. Baru kali ini, Melati merasakan perasaan nyaman yang tidak biasa pada pemuda itu. Dan dia saat itu ... telah membuka hatinya untuk pemuda itu.

t.b.c

Untuk Sebuah Nama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang