Rumah Pakdhe

5.6K 462 29
                                    

Saat memasuki kamar tidur yang disediakan untukku, aku sudah merasa sangat tak nyaman dengan keadaan rumah. Arya memang sudah memberitahuku bahwa apa yang ada di kamar tak akan mengganggu. Dia memang tidak mengganggu, tapi tetap saja aku merasa tak enak dengan tempat ini. Aura mistisnya begitu kental dan membuat siapa yang menyadarinya merinding.

Arya memasukkan semua barang kami ke kamar. Ingin aku memintanya untuk pergi saja dari rumah Pakdhe dan segera pindah ke rumah dinas atau ke hotel saja. Tapi aku tak mau membuatnya sedih dan menyinggung perasaan Pakdhe serta Budhe.

Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak membuat sikapku tetap biasa saja dan tidak menunjukkan ketidak nyamananku berada di rumah. Bagaimanapun, Pakdhe dan Budhe adalah orang yang sangat baik dan ramah. Mereka terlihat begitu menyayangi Arya seperti anaknya sendiri.

Setelah beristirahat sejenak aku segera pergi ke dapur untuk membantu Budhe membuat cemilan teman ngobrol dan ngopi di sore hari.

“Sudah Nduk, kamu sana saja mengobrol dengan Pakdhe dan Arya,” kata Budhe.

“Tidak apa-apa Budhe, biar saya bantu sekalian saya belajar memasak,” kataku yang masih sedikit kaku dengan perempuan paruh baya yang ada di sampingku.

“Arya beruntung punya istri sepertimu Nduk, sudah ayu, mau belajar pula,” kata Budhe memujiku.

Mendengar pujian Budhe aku hanya tersenyum dan tersipu malu. Rasanya sedikit aneh di puji seperti itu.
Sambil di selingin beberapa wejangan dari Budhe, kami melanjutkan membuat pisang coklat sebagai teman ngopi di sore hari yang cerah ini. Aku tahu kalau ini merupakan makanan kesukaan Arya. Satu nasihat dari orang yang lebih tua memang sangat di perlukan saat kita memasuki dunia yang baru—rumah tangga. Terlebih aku tahu, rumah tanggaku berbeda dari kebanyakan orang dan anganku selama ini—berumah tangga dengan seorang Abdi Negara.

“Kamu kerja di mana, Nduk?” tanya Budhe saat sedang membuat pisang coklat.

“Saya tidak kerja Budhe, Mas Arya melarang saya untuk bekerja,” jawabku, saat ini aku memang harus terbiasa memanggil Arya di hadapan orang lain dengan embel-embel Mas di depannya.

“Syukurlah Arya tidak menyuruhmu bekerja. Istri itu lebih baik di rumah, urus suami, urus rumah,” kata Budhe.

Aku tersenyum mendengar perkataan Budhe. Di tengah banyaknya yang mengharap putrinya bekerja masih ada orang tua seperti Budhe yang menginginkan menantu dari adiknya tidak bekerja dan hanya melakukan pekerjaan rumah saja. Setelah semua pisang coklat matang, aku segera membawanya ke halaman belakang rumah di mana Arya dan Pakdhe tengah mengobrol sambil minum kopi.

“Pisang coklatnya sudah matang,” kataku sambil menyimpan pisang coklatnya di atas meja.

“Ini buatanmu atau buatan Budhe?” tanya Arya.

“Memang kenapa kalau buat Budhe?” tanya Budhe.

“Kalau buatan Budhe pasti enak, tapi kalau buatan Mila aku meragukannya,” jawab Arya sambil tersenyum jahil.

“Iiiihhhh… Mas Arya jahat,” kataku sambil mencubit pinggangnya.  Tawa pun pecah melihat kelakuanku. Aku memang dituntut untuk bersikap dewasa, namun ketika bersama Arya aku tak bisa menghilangkan sifat manjaku.

Entah bagaimana aku merasa ada seseorang yang tengah memperhatikan kami. Aku coba menoleh ke segala arah memastikan bahwa semua itu hanya perasaanku saja. Aku memang tak menemukan siapapun yang tengah memperhatikan kami. Tapi tetap perasaanku mengatakan ada yang memperhatikanku.
Aku mengeratkan peganganku pada tangan Arya. Dia menatapku dengan penuh cinta dan mengelus punggung tanganku dengan penuh kelembutan.

Tiba-tiba langit berubah menjadi gelap menandakan akan turun hujan. Budhe mengajak kami untuk masuk ke rumah sebelum hujan turun. Di saat aku melangkahkan kaki menuju rumah, aku melihat seseorang berdiri di dekat pohon beringin yang ada di halaman. Aku seketika menolehkan pandanganku ke arah pohon itu. Tapi saat aku melihatnya di sana sudah tak ada siapa-siapa walau aku sangat yakin bahwa disana ada seseorang yang memperhatikan kami.

“Mil, ayo masuk sebelum hujan turun!” kata Arya menarik lenganku. Aku tersadar dari semua fokusku akan beringin itu. Entah kenapa mataku ini seolah terhipnotis dengan pohon itu.

Kami melanjutkan mengobrol di ruang keluarga. Dan benar saja, hujan turun dengan sangat lebatnya membasahi jalanan kota Solo yang seharian di terpa teriknya mentari.

“Pakdhe, bohon beringin itu sepertinya sudah sangat tua, kenap tidak  di tebang saja agar tak khawatir roboh kalau hujan turun?” tanyaku dengan hati-hati—khawatir akan menyinggung jika memang pohon itu di biarkan berdiri di sana.

“Pakdhe sudah sering kali berusaha menebangnya, tapi sepertinya sangat sulit untuk menebangnya. Entah ada apa dengan pohon itu,” jawab Pakdhe.

Jadi benar, pohon itu tak bukanlah pohon biasa. Jika pohon itu tak ada apa-apanya maka pasti pohon itu bisa dengan mudah ditebang. Aku mencoba mengalihkan pekiranku dari beringin itu, tapi entah kenapa begitu sulit aku mengakihkan pikiranku. Rasanya pohon itu selalu membuatku kembali memikirkannya. Entah apa yang harus aku lakukan agar aku tak memikirkan pohon itu terus.

Malam mulai datang, udara dingin sisa hujan terasa begitu menusuk hingga ke tulang. Aku mengenakan jaket rajut kesayanganku agar hawa dingin tak menusuk tulangku.

“Dingin gak?” tanya Arya sambil memelukku dari belakang. Tanpa menjawabnya aku langsung menyandarkan kepalaku ke dadanya. Hangat… itu yang aku rasakan saat dia memelukku.

“Kamu sudah siap, Sayang?” tanyanya di tengah keheningan kamar.

“Siapa apa?” tanyaku tak mengerti.

“Masa sih kamu gak ngerti, Sayang?” tanya Arya lagi.

Aku tersenyum penuh arti dan memutar tubuhku menghadapnya. Aku sudah berpikir yang tidak-tidak karena setelah menikah otak suamiku ini sangat mesum. Tapi semua pikiranku buyar saat melihat dia tertawa.

“Kok tertawa?”  tanyaku sambil merengut.

“Pikiranmu itu mesum mulu, Sayang,” jawab Arya.

“Lho siapa yang berpikiran mesum?” kataku sambil cemberut.

“Itu terlihat dari wajahmu,” kata Arya meledek.

“Terus tadi siap apa?” tanyaku.

“Siap menjalani kehidupan sebagai Nyonya Arya Kusuma atau di panggil Ibu Kusuma besok?” tanya Arya.

Aku baru ingat, besok pasti orang akan lebih mengenalku sebagai Ibu Kusuma, istri dari Lettu Arya Kusuma. Bukan lagi sebagai Mila Fitri Yani, putri Mama dan Ayahku. Aku sekarang telah menjadi seorang istri. Bagaimanapun orang akan mengenalku dengan nama suamiku dibanding nama pemberian orang tuaku.  Kini yang harus aku jaga bukan lagi nama baik Ayah, tapi nama baik Arya. Dalam bersikap dan berucap harus lebih memikirkan dampaknya terhadap nama baik Arya.

Aku menyandarkan kepalaku ke dada Arya. Berharap aku mendapatkan kekuatan untuk menjalani semuanya dengan baik. Pelukan Arya ditubuhku semakib erat hingga mampu membuatku sejenak melupakan apa yang aku jalani esok.
Perlahan mataku terpejam dan terbuai dalam indahnya mimpi.
Aku tak lagi bermimpi mengenai pangeran beekuda putih karena aku telah dipinang pangeran itu. Kini mimpiku adalah makhluk kecil yang akan meramaikan rumah. Makhluk kecil sebagai tanda cinta kasih aku dan Arya. Makhluk kecil yang sangat imut dan akan memanggilku 'Bunda'.
Jam menunjukkan pukul 23.30  saat aku tiba-tiba terbangun karena ingin minum. Aku melihat Arya belum tidur dan masih setia memelukku.

“Kamu belum tidur, Mas?” tanyaku.

“Belum ngantuk Sayang, kamu kenapa bangun?” tanya Arya.

“Aku haus mau minum,” jawabku.

“Biar ku ambilkan,”kata Arya.

“Tidak usah Mas, biar aku ambil sendiri,” kataku.

Aku beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju dapur. Rasanya begitu mistis berjalan di malam hari di rumah sebesar ini yang masih sangat klasik.

“Aaaahhhhhhhh...,” jeritku saat membuka kulkas

Rahasia Lukisan DuchessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang