Prolog

410 59 57
                                    

Debu tertiup angin padang gurun gersang menyisakan panas yang melipat gandakan kedukaan. Percuma para dewa menciptakan Sungai Nil memanjang memberi kehidupan pada segala makhluk. Mereka tak berdaya menghidupkan tubuh dingin pria dalam dekapan Isis. Bibir yang setiap malam memberi kecupan selamat tidur dan membisikkan kata-kata lembut itu kini berubah ungu dan pucat.

Saudara atau sahabat hanyalah pengkhianat seiring berlarinya sang waktu. Keserakahan berselubung hawa nafsu mengubah kebaikan hati manusia menjadi sekelam lumpur jahanam. Tanpa memandang ikatan darah tega mengubah saudaranya menjadi mayat kaku.

Jemari Isis mengembara di sekujur wajah yang dia cintai, membelai kelopak mata yang menutupi iris hijaunya, berharap mata terpejam itu membuka. Suami Isis, kekasihnya, pria yang mengisi hatinya tetap bergeming dalam tidur abadi.

"Osiris, bangunlah," isak tertahan Isis akhirnya keluar seiring bulir air mata berjatuhan di pipinya.

Sunyi. Tak akan ada lagi suara sabar yang menenangkan segala keresahan atau nada memuja saat mengatakan betapa cantiknya Isis. Tak akan ada lagi tangan yang membelai pipi perempuan itu dengan lembut. Tak ada lagi manik mata hijau yang menatapnya penuh cinta.

"Osiris," ulang Isis dengan hati pedih. Percuma, hanya kepak sayap dan suara burung di angkasa seolah menyanyikan kidung kematian.

Isis meraung, membiarkan langit biru menggemakan teriakannya. Segenap hatinya ingin menghidupkan Osiris. Tak peduli walau harus mengobrak-abrik tempat tinggal para dewa.

Perlahan, awan hitam berarak memenuhi angkasa. Warna biru cerahnya bagai tertutup tirai kelam. Tetes air semakin deras. Luapan air mata kesedihan dan kemarahan Isis bercampur air hujan membasahi tanah Mesir, mengubahnya menjadi lumpur kesedihan. Lalu, air sungai Nil naik semakin tinggi, menyapu segala yang ada di dekatnya.

***

Tyet of GeorgiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang