Amulet Tiga

210 32 12
                                    

"Ms. Cox." Fabian menjentikkan jari di depan wajah Georgia sampai perempuan itu terkesiap.

"Sorry, Sir," balas Georgia salah tingkah. Kuciran rambutnya terasa longgar, tetapi dia terlalu takut membuat gerakan-gerakan yang tidak anggun.

Omong-omong soal tyet yang diduga membawa keberuntungan, Georgia pernah membaca soal jimat-jimat di internet. Mom juga beberapa kali menceritakan mitologi Mesir dulu sekali saat dia dan Amber masih berebutan lego. Georgia juga suka membaca. Namun, mengingat kuliahnya adalah Sastra Indonesia, dia lebih sering melahap novel Cantik itu Luka atau Max Havelaar karya Multatuli daripada kisah dewa-dewi. Jadi, pemikiran soal kekuatan magis tyet harus ditanyakan pada ahlinya.

"Fabian saja. Jangan membuatku merasa seperti lawan politik Trump," candanya sambil mengunyah sandwich.

"Baiklah." Georgia mengangguk setuju. "Jadi, kapan aku boleh masuk, Fabian?" tanyanya kemudian membereskan berkas-berkas lamarannya.

"Aku suka semangatmu." Fabian menyandarkan punggung di sandaran sofa. Ditangkupkannya tangannya di meja dengan mimik berpikir. "Tapi berdasarkan pengamatan, karyawan hanya bersemangat selama tiga bulan. Setelah itu mereka mulai mencari alasan untuk tidak masuk kantor." Pria itu tersenyum. Ujung kanan bibirnya naik membentuk kesan sinis.

Georgia mencondongkan tubuh, ikut menangkupkan tangannya di atas meja sampai bersentuhan dengan kepalan tangan Fabian. "Aku tidak akan bersikap begitu karena," Dia menatap lekat-lekat pria itu dengan tatapan seserius yang dia bisa, "aku merasakan pahitnya susah mencari kerja."

Fabian sedikit terkesan dengan keteguhan Georgia. "Kita buktikan saja ucapanmu, Ms...."

"Georgia," potong perempuan itu. "Jangan membuatku merasa seperti istri Presiden Trump." Dia membalas gurauan CEO Millennials Land.

Calon bosnya tertawa. "Baiklah, Georgia. Kau bisa mulai hari ini kalau mau. Tapi karyawanku rasanya banyak yang belum masuk." Dia mengecek smartphone, menghitung karyawannya yang masih dalam mode cuti. "Malah bagus, kan? Suasana kantor lebih tenang."

Setelah semua ketegangan, atmosfer lebih santai menyelubungi keduanya. Georgia tak merasa setegang tadi. "Fabian, apa tepatnya pekerjaanku nanti?"

Fabian tersadar akan sesuatu. Dia membuka file penyimpanan blue print proyek terbaru kantornya. "Millennials Land sedang membangun resort di Bali." Pria itu mengangsurkan smartphone-nya agar Georgia bisa melihat. "Kami bekerja sama dengan perusahaan properti Indonesia. Kau pernah dengar Agung Podomampir?"

Mom pernah bercerita pada Georgia soal pemilik perusahaannya yang sangat kaya dan memiliki jaringan bisnis mulai dari hotel, apartemen, villa, sekolah, sampai rumah sakit. Setelah melihat Georgia mengangguk, Fabian melanjutkan, "Kau akan menjadi negosiator untuk proyek ini. Kita coba dulu. Kalau kau berhasil, akan kuberikan tanggung jawab lebih besar."

Dari guru les menjadi negosiator, benar-benar keluar dari zona nyaman. "Jadi tugasku sebagai penghubung?" Georgia memastikan.

"Negosiator. Garis wajahmu tidak terlalu Kaukasus. Meskipun matamu biru, ada banyak rasa Asia di sana. Dan orang cenderung mendengarkan orang-orang yang memiliki kesamaan dengan mereka. Ingat kan pepatah same birds flock together?"

"Wow." Georgia mengagumi cara berpikir Fabian. Tentu lebih mudah bernegosiasi dengan orang yang paham latar belakang lawan biacaranya. Di universitas, Georgia memiliki banyak dosen orang Indonesia. Sedikit banyak dia tahu bagaimana budaya negara zamrud khatulistiwa itu.

"Keberatan?" Senyum sinis Fabian semakin menyebalkan. "Kau akan sesekali meninjau lokasi proyek yang panas berdebu." Pertanyaan barusan menyiratkan bahwa Georgia hanya gadis manja yang anti berkotor-kotor.

Tyet of GeorgiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang