Georgia Cox sudah dua minggu resmi menyandang status pengangguran. Tepatnya sejak muridnya menjadi mahasiswi program pasca sarjana sebuah universitas di Yogyakarta.
Bagaimana dia bisa menikmati suasana malam tahun baru bila perutnya melilit menahan lapar? Tinggal beberapa ratus dolar tersisa di rekeningnya. Mulai November, Georgia harus menekan rasa iri melihat warga New York keluar masuk toko berhiaskan krans khas Natal membeli hadiah.
Smartphone di saku mantel Georgia bergetar. Dia merogohnya untuk mengambil benda itu, lalu menggeser ikon hijau di layar.
"Hai, Georgie!" Layar ponsel pintar Georgia menampakkan wajah manis seorang perempuan. Dia tersenyum selebar orang-orang normal. Gaun ketat keperakan tanpa lengan yang dikenakannya sangat cantik. Rambut ikal emasnya menjuntai melewati bahu. Amber, nama sang perempuan di layar smartphone, adalah adik Georgia. Kepercayaan Georgia kepada stereotype bahwa gadis pirang pasti bodoh, membuatnya mengecat rambut dengan warna brunette alih-alih membiarkan warna aslinya.
"Kau di mana, Ams?" Dalam udara sedingin ini, Amber berani mengenakan pakaian kekurangan bahan. Hanya 2 alasan; Pertama, dia berada di daerah panas seperti California, Hawaii, atau Karibia. Kedua, dia berada di.... Georgia spontan menutup hidungnya dengan tangan ketika seorang pria tinggi berjalan mundur-mundur sampai menabrak mukanya. Georgia menyesali keputusannya pergi seorang diri ke tengah lautan manusia.
"Ouch." Sebagai tanda solidaritas, Amber ikut menutup hidungnya yang sama-sama mungil. Sekilas terlihat agak runcing di bagian ujung seperti hasil operasi plastik. "Hati-hati, Georgie." Mata kelabunya yang belo menyipit saat terkekeh.
"Kau belum menjawab pertanyaanku," sungut Georgia. Sejak jadi pengangguran, dia jadi mudah kesal. Sempat terlintas di benaknya untuk minta uang dari orang tuanya. Namun, di usia ke-23 ditambah Amber si parasit 19 tahun yang masih menengadahkan tangan pada Mom atau Dad-nya, Georgia mengurungkan niat. Lagipula dia anak sulung.
"Masa kau tak bisa menebak?" Amber mengangkat ponsel, membawanya beredar ke sekaliling ruangan tempatnya berada. Suasana remang-remang, lampu laser menyorotkan sinar ungu-hijau-biru secara bergantian, musik hip-hop super kencang mengiringi tarian liar, dan oh, sepasang perempuan lesbian berciuman di belakang Amber sambil disoraki puluhan penonton.
"Hei, keluar dari situ, bodoh!" teriak Georgia berusaha mengalahkan suara berisik di tempatnya berada dan keriuhan di neraka mana pun Amber bersenang-senang.
"Kau payah, Georgie. Lebih kuno daripada Granny. Kau melepas keperawanan di usia 21 tahun, sedangkan Granny saja melakukannya di usia 18!" Amber terbahak sangat kencang, sepertinya mabuk.
"Hei...." Georgia melotot marah. Baiklah, mungkin dia kuno, puritan konservatif, atau kaku. Terserahlah. Yang jelas dia lebih waras. Zaman sekarang, berada di tempat penuh orang mabuk lepas kendali sangat berbahaya. Bisa-bisa besok pagi namamu ada di berita, sudah terpotong jadi 12 bagian.
"Sssttt...." Amber mendekatkan telunjuknya ke bibir. "Selamat bersenang-senang, Sister. Dan selamat menyambut tahun baru." Lalu wajahnya hilang dari layar smartphone Georgia.
Meredam kekesalan, Georgia memasukkan smartphone ke saku mantel. Udara masih teramat dingin meskipun empat hari yang lalu hujan salju akhirnya berhenti setelah puas mengubah wajah kota menjadi putih. Jalanan bagai tertutup lapisan kapas dingin sementara kristal es berdiam di ranting-ranting pohon yang meranggas. Syukurlah kerja keras mobil pembersih tak sia-sia. Tumpukan salju telah bersih seluruhnya.
Malam ini, semesta ingin membalas budi pada para petugas pembersih dan personal NYPD yang sudah berlatih untuk pengamanan. Langit hitam cerah bertabur bintang menudungi kepala satu juta manusia yang berjejalan di lapangan One Times Square.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tyet of Georgia
RomanceGeorgia Cox, mengagumi Fabian Le Roux pada pandangan pertama. Lelaki cerdas, tampan, dan baik hati adalah idamannya. Ketika pada akhirnya mereka sampai ke ranjang, Georgia mendapati dirinya telah berubah menjadi Isis, Dewi Mesir yang cantik jelita...