1. Ordinary Day

173 25 15
                                    

Silir angin kala gelap menaungi bumi tidak membuat gadis itu gentar berdiri di pagar besi rooftop sembari melihat pemandangan perkotaan. Lantai teratas gedung ini boleh juga dijadikan tempat rekreasi orang-orang untuk melepas kejenuhan akan tugas, ulangan dan ujian sekolah, kalau saja tempat itu tidak terbatas.

Sang gadis melompat-lompat kecil, berputar, melompat lebar ke kanan, lalu berputar lagi sembari merentangkan tangan. Hebatnya, tidak jatuh atau terpeleset sama sekali. Kedua kaki itu seperti diciptakan untuk berjalan di atas pagar besi---pada bar besi yang mengilap memantulkan cahaya bulan juga kelap-kelip perkotaan.

Ia meregangkan tubuh ke atas, menghirup udara malam yang tidak baik untuk tubuh lalu mengembuskannya keluar.

Dari pintu besi, jauh di belakang sang gadis datanglah seorang berambut abu sepundak dan sedikit bergelombang, mendekap kotak folder hitam di lengan kanannya. Ia berhenti satu meter di belakang sang gadis lalu bersedekap.

"Masih di sini?" tanyanya. Namun sang lawan bicara tak kunjung berbalik menatap sang penanya. "Tadi Mrs. Lita bilang pertemuan OSIS hari ini tidak akan selesai kalau tugas-tugas kami belum tuntas. Uh, dan persentase penyelesaian tugas kami masih di angka tiga puluh persen---mungkin," lanjutnya.

Orang berambut cokelat sepanjang dada di atas pagar itu masih diam tanpa suara. Kembali silir angin malam membelai helai-helai rambutnya, ia memejamkan mata sembari mendongak.

Gadis berambut kelabu tadi mulai tidak sabar. "Jangan berlagak seperti tokoh utama anime yang baru ditinggal orang terkasih. Menjijikkan, tahu." Lalu ia berdecak keras-keras.

"Maaf, maaf, kupikir itu keren," balasnya setelah berbalik dan merasa tak berdosa sama sekali sudah membuat orang lain jengkel.

Bel sekolah berdenting, suara nyaringnya sampai ke rooftop, merambat pada lantai dan pagar sehingga rasanya seperti gempa. Gadis rambut kelabu tadi mengecek jam tangan yang melingkar di lengan kanannya, lalu keningnya mengerut.

"Kenapa bel maharibut ini nyala malam-malam? Apa dia tidak berpikir akan sangat terganggunya lingkungan sekitar sekolah dengan suara menjengkelkannya?" omel perempuan bermanik biru dengan warna hijau sekitar pupilnya---heterokromia sentral.

"Tidak lihat jam juga sudah jelas ini malam, Lake."

Lake, gadis berambut kelabu itu tersenyum miring. Ia berbalik kemudian berucap, "Cepat pulang, kau punya keluarga, tidak baik bunuh diri."

"Siapa juga yang mau bunuh diri," balas orang itu.

Ia berjongkok, bisa-bisanya tidak hilang keseimbangan. "Tunggu, Lake. Mau jadi fotograferku?"

Angin malam kembali berembus. Sekarang Lake merasa seperti tokoh utama anime dengan rambut berkibar, berdiri sendirian di rooftop. Gadis itu mengangkat satu alis lalu menengok ke belakang. "Apa?"

"Hari Sabtu nanti aku akan ber-cosplay jadi ... Dazai Osamu. Aku butuh fotografer, uh, dan ya, kau tahu, yang sering membantuku 'kan kau." Gadis itu menggaruk tengkuknya.

Di sana ia terdiam beberapa saat bahkan setelah Lake berbalik menghadapnya lagi. Lake menunggu lanjutan perkataan temannya itu tetapi sepertinya ia hanya akan terus berdiam.

Lake menurunkan kotak folder di dekapannya kemudian mengapit benda tersebut di ketiak. Mulutnya terbuka dan berucap, "Dazai Osamu?"

"I-iya."

"Tidak. Tidak tertarik."

"Tapi, Lake!" Maniak cosplay itu mengeluarkan jurus mata memohon dengan kedua tangan ditangkupkan di depan dada.

UnordinaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang