1. SARANG

38.4K 2K 68
                                    

Pdf bisa di beli wa +62 822-1377-8824
Ebook di playstore buku.

Napas Nara terengah-engah dan dadanya terasa sakit. Kakinya pun rasanya sudah tidak sanggup lagi untuk berlari, namun ia tetap berusaha. Ranting-ranting pohon menggores kulit pipi dan lengannya saat Nara berlari tak tentu arah, ke mana saja, asal bisa menjauh dari pria itu, dengan bantuan seberkas cahaya bulan di atas sana.

Seharusnya ia mendengarkan ucapan Ayah dan Ibu! Seharusnya ia tidak melewati hutan ini! Seharusnya ia melewati jalan memutar yang jaraknya lebih jauh, seperti biasanya! Penyesalan memang selalu datang belakangan, bukan?

Air mata memburamkan pandangan Nara, ia menghapusnya sambil terus mengayunkan kedua kakinya.

Lari, lari, lari!

Di belakang, pria itu masih mengejar, terdengar dari suara dedaunan dan ranting patah yang terinjak. Pria itu terus berlari mengejar, tetapi suara napasnya tidak terdengar kepayahan.

Nara mempunyai firasat yang sangat buruk saat kakinya terantuk entah akar pohon yang melintang, entah batu, lalu jatuh tersungkur ke tanah yang sedikit lembap. Saat berusaha untuk bangkit, tangan-tangan meraih Nara lalu membalikkan tubuhnya hingga telentang, menghadap ke arahnya. Jeritan Nara terdengar memekakkan telinganya sendiri, sebelum tangan pria itu membekap mulutnya dan tangannya yang lain mengacungkan sebilah pisau yang terlihat mengilat memantulkan cahaya bulan.

Tamatlah riwayatnya!

"Jangan pejamkan matamu, Manisku, tataplah mataku. Kuhitung sampai tiga, jika kau masih memejamkan mata, maka pisau ini akan segera mengoyak-koyak tubuh indahmu."

Jantung Nara berdebar dengan kencang dan bagian bawah tubuhnya terasa sakit akibat tindihan tubuh pria itu. Perlahan Nara membuka mata, dan tatapannya bertemu dengan mata hitam berlumur nafsu. Dengan Rambut hitam sebahunya, kumis, janggut, dan cambang yang memenuhi wajah, ia tampak sangat menyeramkan.

"Matamu sangat indah, Manis. Kau... sempurna untukku," ujarnya dengan suara serak yang membuat tubuh Nara menggigil.

Nara berusaha menggeleng. "Mmmm!"

Pria di atasnya menyeringai, lalu menunduk kemudian lidah panasnya menjilat pipi Nara, turun ke lehernya, meninggalkan jejak basah. Tercium aroma kopi dan tembakau yang kuat.

Tiba-tiba ia bangkit sambil masih menindih tubuh Nara lalu melempar pisaunya, membuat Nara bernapas lega. Kemudian ia melepaskan tangannya dari mulut gadis itu.

"Tolong! Tolong aku! Siapa pun, tolong aku!"

Pria itu menyeringai. "Berusahalah, tidak akan ada yang mendengarmu. Mungkin hanya para tumbuhan dan binatang."

"Tolong lepaskan aku, jangan bunuh aku! Ak-aku tidak punya barang berharga yang kaumau!" Air mata telah membanjiri wajah Nara. Tubuhnya gemetar hebat, sambil berpikir mencari celah untuk melarikan diri.

"Kau punya. Aku tahu betul. Keperawananmu."

Nara membelalak terkejut. Bagaimana pria ini bisa tahu...? Nara menggeleng panik. "Tidak! Tidak! Aku sudah tidak perawan!"

Tanpa memedulikan perkataan Nara, tangan pria itu mengoyak bagian depan atasan seragam SMA-nya dengan sekali sentak, membuat Nara semakin takut.

Tiba-tiba tangan kanan Nara menemukan beberapa batu kecil. Langsung saja ia lempar wajah pria itu dengan batu sekuat yang ia bisa dan berhasil merobek pelipisnya.

Pria itu mengaduh keras seraya memegangi pelipisnya.

Dengan rasa berani yang mulai muncul, Nara mendorong pria itu hingga terjengkang. Kemudian tanpa memedulikan bagian depan kemeja putihnya yang terbuka, Nara kembali berlari menembus malam yang dingin dengan sepatu kets-nya.

Ke arah mana? Ya Tuhan, ke arah mana?

Pria itu berteriak keras di belakang Nara, lalu kembali mengejarnya, membuat Nara kembali dicekam ketakutan.

Kemudian Nara menemukan cahaya lampu beberapa meter di depannya. Apakah ada seseorang? "Tolong!" teriak Nara seraya berlari ke arah sumber cahaya itu. Saat ia tiba, ternyata itu adalah lampu dari sebuah pondok yang terbuat dari kayu.

"Selamat datang di sarangku, Tuan Putri," ujar suara parau yang Nara kenal dari arah belakang tubuhnya.

Dengan gerakan lambat bagai slow motion di film-film, Nara menoleh dan mendapati pria itu tengah menyeringai senang, dengan darah segar yang masih mengalir dari pelipisnya.

Tbc


🐇🐇🐇🌲🌲🌲🌳🌳🌳 🐱🐱🐱

Penulis: Aqiladyna & Emerald
19 Agustus 2018

Malam yang TerkoyakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang