Pdf bisa di beli wa +62 822-1377-8824
Ebook di playstore buku.Ini pasti mimpi buruk? Ya kan? Ini pasti mimpi, mimpi panjang dan melelahkan!
Kaki Nara melangkah mundur perlahan, seraya pandangannya tak lepas dari pria menyeramkan di hadapannya yang mendekat dengan seringai, serta darah di pelipis yang menuruni pipi, leher, dan kerah kaus putihnya yang tampak lusuh.
Tenggorokannya terasa kering, namun Nara dapat menahannya. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Cepat, cepat!"Kau mau lari ke mana lagi, Manis?" Pria itu menjilati bibirnya dengan seringai mengejek.
Lari, itu dia! Nara berbalik lalu mulai berlari. Hampir Nara terpeleset, sebelum kemudian ia menjauhi pondok itu. Tapi belum sempat Nara melangkah keluar dari halamannya, ia sudah dalam gendongan pria ini. Tangan-tangan kuatnya melingkari perut Nara, mengangkatnya dari tanah, membuatnya menjerit-jerit dan menendang-nendangkan kakinya agar diturunkan, dengan tangan-tangan Nara yang mencakari lengan cokelat pria itu.
"Teruslah meronta dan menjerit, aku suka gadis yang aktif."
"Tolong! Tolong aku! Jangan bunuh aku!" jerit Nara setengah putus asa.
Saat pria ini membawa Nara masuk ke dalam pondoknya yang diterangi cahaya dari sebuah lampu corong yang dipasang di dinding ruangan, Nara terkejut saat hidungnya menangkap aroma masakan yang menggugah selera, membuat perut Nara berbunyi dengan keras seketika.
"Kau lapar, Manis? Sudah kuduga." Dengan kasar pria ini menurunkan Nara ke lantai, lalu mengikat tubuhnya dengan cepat ke tiang bambu di tengah rumah, dalam keadaan terduduk di lantai semen yang dingin.
"Lepaskan aku!!"
"Kau harus makan. Aku suka gadis yang berisi, meskipun kau pengecualian. Tapi tenang saja, aku akan membuatmu berisi," ujarnya dengan suara seraknya yang membuat bulu kuduk Nara meremang.
Dengan panik dan cepat, mata gadis itu memandang berkeliling sejauh jangkauan yang ia bisa. Di sepanjang dinding kayu yang menampilkan bayangan-bayang menyeramkan karena pendar cahaya lampu corong di dinding, tergantung berbagai macam perkakas seperti golok, celurit, dan topi anyaman yang samar-samar Nara ingat sang Ayah menyebutnya caping. Semua itu membuatnya menggigil.
Ya Tuhan, aku ingin segera pergi dari sini! Tapi bagaimana caranya? Apa aku dapat keluar hidup-hidup dari sini? Ya, aku yakin bisa! Bisa! Bisa! Bisa! Bagai merapal mantra, mulut Nara terus berkomat-kamit.
"Ini!" Sendok kayu dengan ukuran dua kali lipat lebih besar dari sendok aluminium yang biasa Nara pakai, disodorkan di bawah hidungnya. Aroma kaldu dan rempah-rempah yang menyentuh hidung, membangkitkan selera makan Nara meskipun di saat-saat mencekam seperti ini.
Nara menggeleng, takut pria jahat ini akan meracuninya.
"Kau harus makan, supaya tubuhmu berisi! Makan atau akan kukuliti tubuhmu!" ancamnya dengan mata berkilat karena pantulan cahaya lampu corong di dinding di samping mereka.
Jantung Nara berdegup nyeri. Ia tidak ingin mati!
"Tidak ada racun dalam makanan ini. Aku lebih suka menguliti hidup-hidup daripada harus memberi racun." Bibir pria ini menyeringai lebar, membuat Nara merinding. Pria ini semakin mendekatkan sendok hingga mencapai bibir Nara, terasa hangat dan gurih.
Dengan gemetar mulut Nara membuka sedikit untuk menerima makanan yang disodorkan yang ternyata sup krim.
Sup krim terlezat yang pernah kucicipi, batin Nara.
Suap demi suap masuk ke dalam mulut Nara, menghangatkan kerongkongan dan tubuhnya yang dingin. Entah bodoh atau apa, ia memakan sup dengan lahap.
Setelah semua selesai, pria itu menyodorkan segelas air yang tampak seperti surga saat ini.
Pria itu menyeringai, lalu tangannya yang bebas meraih dagu Nara, mendongakkannya, lalu meminumkan air sejuk padanya. Rasanya sungguh luar biasa, membuat dahaga Nara terpuaskan."Sekarang, kita mulai." Pria itu menatap Nara dengan mata berkilatnya. Ia sama sekali tidak berniat menyeka darah kering di sepanjang sisi kiri wajahnya, yang menempel pada cambangnya, membuatnya tampak bagai pria sadis yang sering Nara lihat dalam film-film horor.
Mata Nara membelalak. "Biarkan aku pergi!"
"Tidak. Kau sekarang milikku." Kedua tangan pria itu merangkum wajah Nara. "Milikku..." bisiknya parau. Lalu tiba-tiba tangan itu mencengkeram kedua sisi wajah dan kepalanya dengan erat, sebelum menggigit pipi kiri Nara dengan kuat, hingga terasa sakit, perih, dan berdenyut-denyut, meninggalkan jejak lembap.
Jantung Nara terasa berdentum-dentum dengan keras dan cepat, menyakiti dadanya.
Lalu ia menjauh, mengamati wajah Nara, turun ke leher, lalu dada gadis itu yang terbuka. Kemudian dengan capat tangannya mencengkeram pinggang Nara, dan bermaksud menurunkan rok abu-abunya, namun Nara menendang-nendang pria itu dengan sekuat tenaga, hingga sepatu kets-nya beberapa kali mengotori bahu dan lengan pendek kaus putihnya sebelum dengan cepat pria itu menangkap kedua kakinya dan melebarkannya, menimbulkan rasa ngilu di pangkal pahanya.
Napas Nara terputus-putus saat matanya menatap nyalang pada pria itu.
"Gadis yang sangat aktif," pujinya seraya memasukkan tangannya ke dalam rok Nara, lalu tanpa diduga mengoyak celana dalam gadis itu dengan sentakan yang sangat cepat, membuatnya menjerit-jerit.
Tbc