Delapan bulan kemudian...
Sejak terbunuhnya bos mafia terbesar yang pernah ada di negara, konflik besar-besaran pun terjadi. Demi menjaga citra baik pemerintah, dan agar sisi gelap roda pemerintahan tidak diketahui oleh masyarakat luas, maka satu persatu keluarga mafia diburu, dipenjarakan, bahkan dibunuh. Oleh karena itu, setiap keluarga mafia yang tersebar di setiap sudut kota melakukan perlawanan yang tidak main-main. Anggota keluarga mafia seperti perempuan dan anak-anak diungsikan ke kota di bagian timur yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, di sana cukup aman dengan adanya pasukan pengaman mafia. Sedangkan mereka yang sudah memasuki usia sembilanbelas tahun, dikumpulkan pada sepuluh markas besar yang berbeda, dan setiap markas bisa mencapai seratus orang.
Para tetua keluarga besar mafia yang masih ada mengumpulkan mereka untuk diamankan dan dilatih untuk persiapan perlawanan terhadap pemerintah. Akan tetapi, belum sampai satu minggu pelatihan itu berjalan, empat dari sepuluh markas besar sudah diserang habis-habisan oleh para penjaga. Para penjaga adalah pasukan khusus pemerintah yang dibentuk untuk menangkap bahkan menghabisi semua anggota keluarga besar mafia. Markas besar yang diserang tersebut adalah markas 3, markas 5, markas 7, dan markas 9. Markas ganjil kebetulan memang dekat dengan kota metropolitan dan menjadi sasaran waktu dekat oleh para penjaga. Markas ganjil memiliki tugas utama untuk melakukan banyak transaksi di dalam negeri, sedangkan markas dengan nomor genap memiliki tugas yang berhubungan dengan dunia luar.
Lalu bagaimana dengan markas 1?
Kabar tentang penyerangan dari para penjaga terdengar lebih cepat oleh para pengelola markas 1, sehingga sebelum penyerangan itu tiba, mereka terlebih dahulu mengolah strategi. Seratus orang anggota keluarga mafia muda tersebut dipecah menjadi 10 kloter kecil untuk berangkat dan pindah ke markas 10, di sana markas mafia sudah seperti desa kecil, dan jauh dari jangkauan pemerintah. Setiap kloter terdapat enam sampai belasan orang, tergantung kesulitan rute yang akan mereka lewati.
Sebenarnya mereka bisa saja menyamar dan hidup normal seperti masyarakat biasa, akan tetapi pemerintah memiliki semua informasi tentang mereka, bahkan sampai ke akar-akarnya. Tentu saja hal ini mungkin terjadi, salah satu kemungkinan terbesar adalah adanya pengkhianatan dari keluarga mafia sendiri.
Salah satu kloter tengah bersiteru di rute 3. Mereka mendapati para penjaga berkeliaran di sekeliling mereka dan membatasi ruang gerak. Atar adalah pemuda berusia 23 tahun yang menjadi ketua di kloter tersebut. Pada saat keadaan semakin tidak menguntungkan, semua mata tertuju pada Atar. Dia adalah pemimpin kloter ini, dia punya tanggung jawab. Mereka bergerombol di sebuah gang antar gedung.
Tak ingin ditatap terus, Atar cepat angkat bicara.
"Tidak ada pilihan lain selain meninggalkan si tukang ceroboh ini sendirian. Dia akan mendatangkan bahaya bagi kita!" Atar melirik tajam pada Reta, yang lain mengikuti.
Semua tahu bahwa kelalaian harus dibalas dengan hal yang serupa, tapi dari enam orang yang terjebak dalam kloter yang sama, hanya Hana yang sama sekali tidak setuju dengan keputusan Atar sebagai pemimpin kloter. Hana berpikiran bahwa meninggalkan anggota bukanlah pilihan, meninggalkan Reta tidak akan menyelesaikan masalah.
Hana memberontak. "Tidak! Sama sekali tidak akan yang ditinggalkan!"
"Kenapa kamu membela orang yang jelas-jelas sudah menuntun kita ke tempat ini. Tidak satu kloter pun yang mau berhadapan dengan para penjaga itu!" Atar menukas cepat.
"Saat ini Reta sedang tertekan, biarkan dia tenang dulu!"
"Tenang?! Tidak akan ada yang bisa tenang sebelum kita bebas dari para penjaga ini!" Atar tak kuasa menahan amarah. Hanya karena Hana adalah adiknya, ia mengurungkan diri untuk menampar wajah polos itu.
"Tapi Reta sudah berusaha untuk menunjukkan jalan kepada kita, ini tidak sepenuhnya salah Reta! Dia hanya ingin membantu!" Hana menyeru tak mau kalah.
"Diam Hana!"
Seketika semua terdiam. Bentakan itu cukup keras hingga membuat Hana, gadis 18 tahun itu bungkam. Anggota kloter yang lain pun juga tidak mau bersuara. Ini masalah pribadi antara Atar dan adiknya. Lagi pula, pertengkaran ini bukanlah yang pertama terjadi, sejak rute pertama hingga ketiga, pertengkaran itu selalu ada, dan pemicunya sama, yaitu Reta salah dalam menentukan jalur.
Di antara semua anggota kloter, Reta adalah yang paling mengenali rute ketiga. Sederhana saja karena rute ini adalah tempat tinggal dia dulu, tapi sayang, Reta ceroboh karena lupa karena masih ada camp para penjaga di titik pusat rute ini, dan ini adalah kali ketiga kecerobohannya menentukan jalur yang aman.
Selang waktu berlalu. Semuanya terasa mencekam. Reta bangkit, dan menatap Atar dengan sorotan mata yang tajam. "Kau tidak perlu memarahi Hana seperti itu! Kecerobohan ini sepenuhnya kesalahanku. Tapi ini semua benar-benar di luar dugaan."
"Apanya yang di luar dugaan? Kau sudah tinggal disini bertahun-tahun, dan masih tidak tahu seluk beluk kota ini?!" Atar menimpal cepat.
"Sungguh, aku benar-benar tahu seluk beluk kota ini. Tapi sejak konfik terjadi, posisi setiap camp benar-benar berubah, dan sangat ketat. Para penjaga tidak lagi terpusat, tapi menyebar!"
Semuanya terdiam.
"Dan kita akan mati..." Seseorang berbisik lirih penuh ketakutan.
Tanpa instruksi apapun, semua mata tertuju pada Rama. Pria kurus berusia 18 tahun dengan kemeja putih dan kacamatanya yang berembun. Rama menekur takut di sudut gang. Meremas-remas kepalanya dan terus berbisik pelan tak karuan. "Kita akan mati... kita akan mati..."
Hana yang tadinya ikut terdiam segera beranjak mendekati Rama. "Tidak akan satu orang pun yang ditinggal, tidak akan satu orang pun yang akan tertangkap, dan... tidak aka nada satu orang pun dari kita yang akan pergi, Rama. Kita akan selalu bersama. Aku janji."
"Awas!!! Ada penjaga!!! Cepat lari!!!" Salah seorang anggota berteriak dari ujung gang!
Tak sempat berkeluh kesah lagi, semua anggota kloter sontak berlari keluar dari gang gedung. Rama yang tadinya sempat terseot-seot karena terlambat mengambil ancang-ancang segera menyusul dengan cepat. Hana berada tepat di sebelahnya, berlarian bersama sambil menggenggam tangan kurus Rama. Sesasat hana melirik pada Rama. "Aku tidak main-main dengan janji itu, Rama."
Rama hanya tertegun. Mungkin dalam pikiran Hana menjadi orang yang penakut bukanlah kesalahan, melainkan sebuah pilihan yang belum sempat diperbaiki.
"Ayo cepat!" Dengan lantang Atar mengomandoi anggota kloter dari depan.
Hana yang melihat sikap kakaknya itu berani menyimpul senyum. Sekeras kepala apapun kakaknya, menurut Hana sendiri Atar tetaplah orang yang baik. Dalam waktu singkat, kloter tersebut sudah melebur hilang di tengah keramaian kota, namun itu hanya berlaku sesaat. Para penjaga benar-benar sudah menyebar hampir si seluruh titik penting seisi kota, dalam waktu yang singkat pula, kejar-kejaran di tengah kota itu kembali terjadi.
"Ayo! Kita akan segera sampai!" Atar berkomando lagi dari depan.
Membelah jalanan kota. Melawan hiruk pikuk kebisingan warga sipil. Mobil, truk, kereta, hingga dentuman ke Sembilan dari jam raksasa di tengah kota mengisi semua ruang yang ada. Hana masih menggenggam tangan Rama yang kurus. Untuk beberapa saat, Hana mendongak ke langit kota yang tertutup awan, memejamkan mata, menghirup udara kebebasan, dan kembali berlari.
"Ayah, hari ini Hana memiliki tiga janji yang harganya sangat mahal. Mungkin tidak semahal jam tangan ayah yang terbuat dari berlian itu, tapi berjanji agar tidak akan ada satu orang pun yang ditinggal, ditangkap, atau bahkan pergi, itu sama sekali tidak mudah, Ayah."
.....
To be continue!
#HSK 02
KAMU SEDANG MEMBACA
PEMBALASAN DENDAM
ActionIni adalah kisah para pejuang yang berusaha menuntut kebenaran yang sudah dipermainkan, janji yang dilanggar, nama baik yang dirusak dan jiwa-jiwa yang dikorbankan