4. Kejadian

5.9K 285 8
                                    

Gia menelusuri jalan pulang kerumahnya. Ia berjalan dengan bermalas-malasan. Gia berharap hari ini malam tak cepat datang. Ada sebersit rasa takut dihatinya kali ini, terutama ketika ia memejamkan mata nanti, "apa dia bakal dateng lagi?" Gumamnya dalam hati. Konsentrasinya pada keadaan sekitar hilang.

Toooottt...ttooooott...

Sebuah truk besar hampir saja menyerempetnya, membuatnya tersentak kaget kemudian terjatuh kebelakang. Hingga ia terpaksa batal menyeberang.

"Kalau jalan lihat-lihat, Dek!" Sebuah teriakan yang disertai umpatan dihatinya terucap dari balik jendela mobil truk yang terus melaju, yang hampir saja menyerempetnya. Tampak jelas rasa itu tergambar di wajah sang sopir.

"Kamu nggak apa-apa, Dek?" Seorang ibu-ibu pejalan kaki menolongnya berdiri dan memastikannya tak mengalami luka apapun.

"Saya nggak apa-apa, Bu...terimakasih." ucapnya seraya mengibaskan rok sekolahnya yang kotor oleh debu jalanan. Beruntung hanya sebatas debu yang menodainya. Tak terbayang jika seandainya pakaian sekolahnya hari ini harus kembali pulang bernodakan darah.

Setelah sukses menyeberang jalan dengan penuh rasa trauma, kembali Gia tak menyadari keberadaannya. Jubah hitam atau kegelapan apapun yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Ia masih menatap dengan mata merah tajam. Masih setia mengawasi hari-harinya, hingga saatnya telah tiba.

Sesampainya di rumah, Gia langsung menuju kedalam kamar. Ia membaringkan diri di atas ranjang sederhana yang telah ia gunakan sejak lama. Ranjang yang menjadi saksi tumbuh kembang hingga ia beranjak dewasa. Rasa takut itu kini membuatnya tertekan. Ungkapan sebuah kalimat "rumahku surgaku" untuk saat ini sangat tak cocok dengan keadaannya.

"Nak, kamu sudah makan?" Sang ibu yang melihat anaknya pulang dengan kondisi berbeda dari biasanya cukup merasa khawatir. Jika dibiarkan, ia khawatir terjadi sesuatu dengan anak semata wayangnya.

"Aku masih kenyang, Bu." Gia berbaring tengkurap di ranjangnya. Sang ibu mengusap lembut rambut Gia yang cukup panjang. Tak sepath katapun terucap darinya untuk membujuk Gia.

"Aku tadi hampir ketabrak truk, Bu." Gia mengatakan kejadian tadi dengan perasaan takut. Khawatir jika ibunya akan marah dengan kejadian yang disebabkan keteledorannya. Melamun itu hampir saja berakhir buruk.

"Loh, kenapa bisa gitu, Nak?" Tak ada raut wajah kemarahan pada wajah ibunya. Sedikit kaget memang, bahkan hingga sang ibu menghentikan usapan pada rambut Gia, namun reaksinya hanya sebatas itu saja.

"Maaf, Bu, tadi aku melamun." Gia bangkit lalu memeluk sang ibu. Hal itu ia lakukan agar membuatnya sedikit lebih tenang.

"Ya sudah, besok-besok kamu harus hati-hati, ya. Jangan memikirkan kejadian tadi malam." Ternyata sang ibu tau apa yang Gia pikirkan saat ini. Mungkin juga karena alasan itu ia tak dimarahi oleh sang ibu.

Malam kembali menjelang Gia benar-benar tak mengharapkan malam ini datang dengan cepat, kali ini dia takut, takut dengan pertanda yang dialaminya, semuanya serasa begitu buruk.

"Nak, makan dulu, yuk? Ibu sudah masakin makanan kesukaan kamu." Sang ibu berusaha sebisa mungkin membuat anaknya lepas dari tekanan yang dihadapinya saat ini. Ia berharap semoga dengan memberikan apa yang disukainya, Gia bisa sedikit melupakan beban pikirannya saat ini.

"Iya, Bu." Gia segera beranjak dari tempat tidurnya dan segera menuju ke tempat makan sederhana di dapur rumahnya yang juga sederhana.

Bu Sari segera mengambilkan nasi beserta lauknya. Juga tak lupa mengisi gelas kosong di hadapan Gia dengan air putih.

"Habis makan nanti ibu temenin kamu di kamar." Mendengar ucapan sang ibu, membuat Gia menengadahkan wajah dan melihat senyuman di wajah ibunya yang membuatnya sedikit bisa tersenyum senang.

"Iya, kalau perlu, Ayah juga ikut temenin kamu." Suasana makan malam yang sederhana itu mampu membuat atau memberi kekuatan pada Gia untuk untuk menghadapi atau mungkin sedikit melupakan kejadian buruk itu.

Setelah selesai makan, sang ibu dan Gia langsung menuju ke kamar Gia. Mungkin jika Gia segera memejamkan mata, akan lebih baik untukny. Agar waktu istirahat yang sebelumnya sempat terganggu bisa terganti.
Gia tidur ditemani belaian sang ibu, mengingatkannya pada masa kecil dulu. Dulu, hampir setiap malam Gia selalu dimanja seperti saat ini, walaupun dimanja namun nasehat ibu bisa membuatnya dewasa dan mengerti. Tak sampai setengah jam dalam belaian sang ibu, Gia telah terlelap, bahkan Gia sedikit mendengkur yang membuat ibunya harus menahan tawa ketika mendengarnya.

"Sudah tidur, Bu?" Pak Badrun masuk ke kamar untuk mengecek keadaan putri semata wayangnya. Walaupun Pak Badrun tak melihat perkembangan anak gadisnya setiap hari, tapi ia selalu tau perkembangan putrinya dari sang istri.

"Sudah, Pak, malah tadi sampai mendengkur segala." Ucap Bu Sari seraya tersenyum.

"Ya sudah, Ibu tidur di sini saja, biar Ayah tidur di ruang tamu." Pak Badrun langsung keluar dan duduk di atas tikar yang sudah dipersiapkannya beserta satu buah bantal yang akan menemaninya menghabiskan waktu malam ini.

Malam mulai semakin memberikan kesunyian. Rumah yang letaknya jauh dari jalur utama memberi keheningan dari bisingnya lalu-lalang kendaraan, seolah tanpa henti melintasi ramainya kawasan ibukota yang tak pernah tertidur dan tetap terjaga hingga pagi menjelang. Tak ada kejadian apapun yang aneh menimpa Gia, semua masih baik-baik saja.

Adzan subuh membangunkan Bu Sari dari tidur lelapnya walaupun yang hanya sekejap itu. Tak ada seorang ibu pun yang sanggup tidur nyenyak dengan keadaan anaknya yang membuatnya cukup khawatir.

Bu Sari pergi ke kamar mandi untuk mandi dan berwudhu, untuk kemudian melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim yang taat. Memperbaiki diri adalah jalan terbaik untuk kembali. Setelah selesai, ia membangunkan Gia yang dirasa telah cukup untuk beristirahat.

"Nak, bangun...sudah pagi..." Tak ada reaksi dari sang putri. Sepertinya, tidur lebih dari sepuluh jam belum cukup mengganti istirahatnya yang terganggu pada hari sebelumnya.

"Nak, bangun...nanti kesiangan." Gia masih tak berreaksi. Bu Sari berusaha mengguncangkan badan anaknya tersebut agar ia terbangun. Ini adalah cara paling efektif untuk membangunkan seseorang. Namun betapa terkejutnya ia. Tubuh anaknya terasa begitu dingin ketika kulit telapak tangannya menyentuh kulit tangan sang putri.

"Bapak..." Bu Sari menjerit, membangunkan Pak Badrun. Sang suami masih terlelap di ruang tamu langsung terjaga seketika. Ia kaget mendengar teriakan sang istri. Ia segera bangkit dan berjalan tergesa ke kamar dimana sang istri berada.

"Kenapa, Bu?" Tanya pak Badrun yang heran melihat sang istri telah menangis seraya memeluk Gia. Pak Badrun mendekatkan diri di samping sang istri.

"Astaghfirullah..." Pak Badrun berusaha memegang untuk merasakan detak nadi di tangan sang putri, namun nihil, tak ada detak nadi di sana.

"Kita bawa ke rumah sakit dulu, Bu!" Pak Badrun membawa Gia dengan hanya menggunakan sepedah motor miliknya. Satu-satunya kendaraan yang mungkin bisa menyelamatkan sang putru. Bu Sari memegangi Gia yang didudukan di tengah, antara Pak Badrun yang sedang menyetir dan Bu Sari yang memeganginya dari belakang.

Setelah sampai di rumah sakit, dokter jaga yang memeriksa keadaan Gia langsung memberi vonis bahwa Gia telah meninggal dunia.
Seketika tangis Bu Sari kian pecah mendengar kabar anaknya telah meninggal dengan begitu tiba-tiba, sedangkan Pak Badrun hanya bisa menitikan air mata seraya berusaha tetap menahan kesedihannya.

MATI SURI (Eps. 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang