Berita duka langsung tersebar ke seluruh tetangga yang dekat dengan kediaman mereka. Melalui pengeras suara mesjid dan mushola sekitar, semua kabar cukup bisa didengar. Banyak dari mereka yang tak menyangka bahwa seorang gadis yang terlihat baik-baik saja dan ceria kini harus pergi terlebih dulu menghadap yang maha kuasa.
Sekitar pukul delapan, mobil jenazah rumah sakit dengan sirine yang lantang dibunyikan menandakan membawa penumpang yang dalam keadaan kurang baik tiba di depan kediaman pak Badrun. Para tetangga yang sudah berempati telah datang dan menunggu di sana, untuk sekadar membantu sebisanya, juga untuk berbelasungkawa. Sebagian ibu-ibu yang sedari tadi menunggu dengan menitikan air mata, kini harus menangis histeris melihat jasad itu dikeluarkan dari mobil dengan sebuah keranda besi milik rumah sakit. Mereka merasa kehilangan. Gadis yang periang, baik dan sering membantu tetangga apabila orang-orang sedang mengadakan acara hajatan atau sekedar pengajian. Gia telah terbujur kaku di balik kain putih yang menutup jasadnya. Kepergiannya yang begitu tiba-tiba telah meninggalkan tanda tanya untuk semuanya, termasuk kedua orang tuanya sendiri.
"Kenapa?"
Sangat wajar. Di benak mereka semua, timbul pertanyaan seperti itu, karena menurut keterangan dokter, Gia tak mengalami masalah kesehatan apapun, bahkan penyebab meninggalnya pun bukan karena sebuah penyakit yang berhubungan dengan jantung.
"Nak, bangun, Nak...jangan tinggalkan Ibu." Tangis yang tak kunjung mereda sejak kepergian Gia dari sang ibu yang begitu menyayanginya membuat suasana tak sedikitpun berubah. Sendu dan pilu begitu merdu, tak senada dengan hari yang cerah di pagi itu.
"Sabar, Bu...ikhlaskan..." Salah seorang ibu-ibu yang tak lain adalah tetangga dekatnya sendiri, berusaha menghiburnya. Usahanya belum membuahkan hasil, karena ia sendiripun masih menitikan air mata. Tak terbayang di benaknya, membayangkan anak semata wayang yang begitu didambakan harus pergi dengan cepat tanpa sempat memberikan senyum perpisahan.
Sementara itu di luar sana, di antara barisan para laki-laki yang telah berkumpul untuk mengantarkan jenazah ke tempat peristirahatan terakhirnya mulai berspekulasi dengan penyebab meninggalnya Gia. Ada yang mengatakan bahwa Gia meninggal karena santet, namun yang lainnya berasumsi bahwa roh Gia telah diculik makhluk halus. Namun begitu, tak ada penjelasan yang logis dari semua asumsi mereka, dan tak ada yang meyakini kebenaran atas apa yang mereka sampaikan. Semua masih menjadi misteri.Hari mulai beranjak siang. jasad itu kini telah dikafani dan akan disalatkan sesegera mungkin. Setelah selesai dibaringkan di atas keranda yang kemudian ditutup dengan kain hijau berlafaz kaligrafi berwarna emas.
Suasana tangis kembali pecah setelah jasad yang berada di dalam keranda itu telah diletakkan di ruang tamu rumah pak Badrun untuk disalatkan. Dipimpin oleh seorang ustaz setempat yang telah siap menjadi imam shalat jenazah kali ini.
Namun sebelum shalat jenazah dimulai oleh takbir dari sang imam.
"Aaaaaahhhhhh...." suara jerit terdengar sangat nyaring. Suara itu berasal dari dalam keranda tepat di depan sang imam. Suasana haru yang sebelumnya masih terasa, kini berubah hening menegangkan. Sebagian yang tak merasa takut menjadi penasaran dengan apa yang terjadi. Sebagian lagi yang merasa takut dengan kejadian yang tak masuk akal itu memilih menghindar atau bersembunyi.
Keranda itu bergoyang-goyang oleh sesuatu yang berasal dari dalam, yang tak lain adalah jenazah Gia. Orang-orang semakin panik mengira terjadi sesuatu yang menyeramkan di dalam sana. Pak Badrun beserta istri tak berreaksi. Mereka menunggu apa yang selanjutnya akan terjadi. Beberapa saat keranda itu kembali tenang, kini berganti menjadi suara tangis lirih memecah keheningan.
"Ayah..." Pak Badrun tersentak lalu sontak saja segera membuka penutup keranda ketika mendengar suara tangis lirih yang memanggil namanya. Beraharap di dalam sana terdapat kabar bahagia.
Setelah penutup keranda itu dibuka...
Subhanallah...
Astaghfirullah...Beberapa orang mengucap istighfar. Mereka kaget dengan apa yang mereka lihat saat ini. Kejadia diluar nalar yang takkan sanggup dijabarkan logika. Seakan mereka mengingkari apa yang telah disaksikan oleh mata mereka sendiri.
Pak Badrun langsung menghampiri dan membuka tali kain kafan yang telah membalut seluruh tubuh Gia. Rasa bingung bercampur bahagia membuatnya tak mempedulikan apa-apa lagi selain anaknya yang kini telah kembali.
Bau khas jenazah sangat menyengat tercium menusuk hidung Pak Badrun, ketika ia memeluk anaknya, namun sekali lagi, ia tak peduli.
"Bu, anak kita kembali, Bu..." Bu Sari yang belum pasti mengetahui anak gadisnya kembali dari kematian langsung berlari memeluknya. Seolah mendapatkan tenaga baru, yang membuatnya bisa segera menghampiri.
Seseorang masuk dengan napas terengah. Ia datang bersama dengan mantri setempat yang atas inisiatif warga, pak mantri itu segera dipanggil untuk memeriksakan keadaan Gia.
Setelah diperiksa dengan teliti, pak mantri pun menyimpulkan bahwa Gia benar-benar hidup kembali, dan dalam keadaan sehat. Semua yang menyaksikan kejadian aneh tersebut merasa takjub namun lega. Air mata duka berubah seketika menjadi bahagia.
Ada tangis bahagia diantara mereka, namun ada juga yang merasa ngeri dengan apa yang terjadi, namun di balik itu semua, tak ada seorangpun yang menyangka bahwa kejadian ini akan membawa petaka kedepannya, khususnya bagi Gia dan keluarga. Mereka akan dihadapkan pada begitu banyak kejadian yang tak masuk akal, namun harus mereka percayai dan terlebih lagi harus mereka hadapi.
Semua warga telah membubarkan diri. Hanya terlihat beberapa orang saja yang masih menemani keluarga yang sebelumnya berduka.
Di malam hari, mereka telah bisa kembali tertawa setelah tadi pagi harus menangis sedih dengan semua yang terjadi sebelumnya.
"Pak, Bu, maaf Gia sudah bikin Bapak sama Ibu khawatir." Ucap Gia. Ia menyandarkan kepala dipangkuan sang ibu.
"Loh, bukan kamu yang salah, Nak, ini sudah kehendak yang maha kuasa, jadi kamu nggak perlu menyesalinya." Sang ibu bijak menanggapi apa yang tadi dikatakan oleh Gia.
"Iya, Nak, nggak usah kamu pikirkan, yang penting sekarang kamu telah kembali." Pak Badrun tersenyum getir. Rasa bahagianya tak begitu lepas. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
"Apa benar semua karena salah saya?" Tanya pak Badrun pada dirinya sendiri, mengingat kejadian puluhan tahun silam sebelum ia memiliki seorang anak.
"Pak..." Pak Ustaz yang kebetulan masih berada di kediaman pak Badrun mengagetkan pak Badrun yang tadi melamun tentang masa lalunya.
"Eh, iya pak Ustaz..." Pak Ustad tersenyum melihat pak Badrun tersadar dari lamunannya.
"Saya ingin bicara berdua dengan bapak, tapi tidak di sini" Pak Ustaz mengajak pergi pak Badrun. Mereka bicara berdua di halaman rumah Pak Badrun yang di sana kebetulan masih ada kursi sisa persiapan tadi siang.
"Begini, Pak, sebelumnya saya minta maaf dengan apa yang akan saya sampaikan ini, ini berkaitan dengan anak bapak..." Pak Ustaz bicara dengan sangat hati-hati. Ia tak mau ucapan yang akan disampaikannya ini menyinggung perasaan pak Badrun, sementara pak Badrun bingung namun penasaran dengan apa yang akan dibicarakan pak Ustaz, karena melihat raut wajahnya yang begitu serius.
Setelah selesai berbicara berdua, Pak Badrun syok mengetahui hal tersebut, memang belum terbukti, tapi itu membuatnya sangat khawatir.
"Ya sudah, kalau begitu saya pamit dulu, Pak." Pak Ustaz pun pergi meninggalkan Pak Badrun yang masih terduduk di kursinya dengan begitu banyak kekhawatiran tentang anak semata wayangnya.
"Apa yang dimaksud pak Ustaz?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MATI SURI (Eps. 1)
HorrorSeseorang yang telah meninggal pada kodratnya sudah tak bisa hidup kembali, namun ketika Tuhan sudah berkehendak, maka semua menjadi nyata adanya. Perjuangan seorang gadis SMA ingin kembali normal setelah mengalami mati suri yang membuatnya mampu me...