“Lee Taeyong? Kamu dimana?”
“Aku di sini.”
Jennie mendengar sebuah suara yang berasal dari bawah ranjang. Gadis itu segera menyibak sprei yang menutupi bawah ranjang dan menemukan Taeyong yang sedang berbaring sembari meringkuk di sana. Tubuh pemuda itu gemetaran dan peluh membanjiri keningnya. Sorot matanya tampak ketakutan.
Jennie mengulurkan tangannya dan mengusap pelipis Taeyong. Sementara Taeyong hanya memandangi Jennie dengan tubuhnya yang masih gemetaran.
“Ada apa? Kenapa kamu menelepon aku? Maaf karena aku tidak bisa langsung menjawab panggilanmu. Ten mengalami musibah dan aku baru saja kembali dari Rumah Sakit karena harus menjenguk dirinya. Ada apa?” tanya Jennie kepada Taeyong.
Nada bicara Jennie terdengar lembut. Gadis itu seolah dapat mengerti kondisi Taeyong yang mendadak seperti ini.
Taeyong menggenggam jemari Jennie dan mengecupnya sembari memejamkan kedua matanya. “A….aku takut. Penjahatnya datang lagi….” desisnya kepada Jennie.
Jennie tersenyum getir. Ia menatap iba kepada Taeyong. Ia mengerti maksud dari kalimat yang diucapkan oleh Taeyong.
“Sini. Keluar lah dari kolong ranjang. Sini dan duduk di sampingku. Ceritakan kepada diriku mengenai hal yang membuat dirimu merasa ketakutan,” pinta Jennie pada Taeyong.
Taeyong menggeleng kuat. Sudut mata pemuda itu tampak basah. “Tidak mau, Jennie. Aku takut. Jennie juga harus sembunyi. Nanti penjahatnya datang dan menyerang Jennie. Aku tidak mau melihat Jennie diganggu oleh penjahatnya. Tidak mau melihat darah lagi….”
Taeyong histeris. Jemari Jennie meraba ranjang dan mengambil sebuah botol berisi obat-obatan milik Taeyong.
“Ini. Kamu harus meminum obat ini dulu. Obat ini bisa membuat penjahatnya kabur. Kalau Taeyong minum obat ini, maka penjahatnya tidak akan mengganggu Taeyong lagi.”
Karena trauma Taeyong sedang kambuh, maka Jennie tidak memiliki pilihan lain selain membual kepada Taeyong agar dia mampu membujuk Taeyong.
Kedua mata Taeyong membulat. “Benarkah itu? Penjahatnya tidak akan kembali lagi ke sini kan? Aku takut mendengar suara teriakan lagi. Aku takut….”
Jennie menggeleng pelan. Gadis itu menuntun Taeyong untuk meminum obatnya yang bereaksi dengan cepat. Kini, Taeyong tampak lebih tenang. Pemuda itu merangkak keluar dari kolong ranjang dan mendudukkan dirinya di samping Jennie.
Taeyong menyandarkan kepalanya pada bahu Jennie. Sementara Jennie mengusap kening pemuda itu yang masih basah karena keringat.
“Apakah kamu bermimpi buruk lagi? Kamu tidak sengaja tertidur dan bermimpi buruk ya?” tebak Jennie.
Taeyong membenamkan wajahnya di bahu Jennie. Pemuda itu menangis dalam diam. Jennie membiarkan Taeyong melakukan hal tersebut. Sejahat apa pun pikirannya terhadap Taeyong, Jennie masih punya hati dan tidak mungkin meninggalkan Taeyong sendirian ketika pemuda itu sedang membutuhkan dirinya.
“Aku takut, Jennie. Peristiwa itu kembali menghantui diriku. Aku bisa melihat anggota keluargaku yang diperlakukan secara kejam oleh para penjahat itu. Aku melihat semuanya dengan jelas. Bahkan, teriakan anggota keluargaku masih terekam dengan jelas di memori otakku, menimbulkan gaung mengerikan di rongga telingaku,” kata Taeyong disela isak tangisnya.
“Sssttt….sudah, tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu kamu takutkan lagi. Para penjahat itu sudah dimasukkan ke dalam jeruji besi, bukan? Anggota keluargamu juga kini sudah bahagia di atas sana. Tidak seharusnya kamu menangis seperti ini. Mereka pasti akan ikut merasa sedih jika melihat kamu menangis,” bujuk Jennie pada Taeyong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Weddings & A Funeral (Jenyong)
Short StoryWould you stay with the one who doesn't love you back? Or would you have an affair with the one who loves you too much?