"Bu, beli beras setengah kilo." Aku sebenarnya malu kalau harus ngutang lagi ke kedai, tapi Bapak dan Ibuku payah. Kalau gak mau aku akan digebuk. Mereka beraninya cuma sama kami anak-anak mereka.
Padahal menatap mata orang lain saja mereka tak berani.
"Beli, apa ngutang?! Setiap hari ngasbon! Sehari 3 kali kasbon mulu!! Apa kalian pikir aku ini bank sembako nenek kalian?! Gak ada lagi! Pergi sana!! Panggil ibumu ke sini, bayar hutang-hutang ini dulu!!" Bik Jum pemilik warung sembako terbesar di kampung ini mendelik-mendelik matanya mengomel ke arahku.
Hatiku panas, mesti kali dia menjerit-jerit seperti itu. Bikin aku malu. Semua yang di kedai memperhatikanku dengan tatapan kasihan.
"Kenapa masih berdiri di situ??!"
"Pergi sana! Dasar sampah!!"
Degh! Sampah katanya. Aku tak terima!
"Apa melotot??!!"
Bik Jum menghampiriku, dipukulnya kepalaku.
"Hah?! Apa?! Nantangi lu?!""Sudah, sudahlah Jum jangan gitu, dia kan masih anak-anak. Kasihan." Ibu-ibu yang lain berusaha menghentikan Bik Jum.
Air mataku berkaca. Kutahan sekuat tenaga, agar tak jatuh air mataku.
Apakah karena kami miskin?
Kakiku gemetar, tanganku mengepal ingin membalas pukulannya di kepalaku. Tapi badannya lebih besar. Dan dia orang yang lebih tua. Lagi pula ..., mataku melihat tumpukan beras dalam warungnya. Kami tak akan bisa ngutang lagi kalau aku melawan. Tapi, tapi ....
"Byuuuurrrrrr," seember air cucian ikan disiram ke badanku oleh Lek Biran, suami Bik Jum.
Dingin, bau.
"Kowe pikir kowe sopo? Hah?! Pergi sana!! Sampah!! Mau melawan kowe?!!
Air mataku jatuh. Tapi mereka tak ada yang tahu karena dari kepala sampai kaki aku sudah kuyup.
Aku melangkah pulang. Anak-anak sebayaku memperhatikan, ada yang tertawa, ada yang memandang dengan iba. Kakiku berhenti di depan rumah Pak Bambang, salah satu orang kaya di kampung.
Anak perempuannya yang seumuran denganku menutup hidungnya melihatku lewat.
"Ihhh jorok banget kamu, bau!" serunya sambil menyengir menjepit hidungnya.
Dia tak tau apa, aku masih marah. Aku marah pada semua orang. Semua yang suka menghina!
Anak perempuan di depanku ini satu sekolah denganku walau beda kelas. Bajunya selalu baru, dia selalu wangi dan bersih.
Iya. Karena dia anak orang kaya.
Aku hendak melanjutkan langkahku, pulang ke rumah.
Tapi tetesan air dari atas, jatuh mengenai tubuhku. Langkahku terhenti. Aku terkejut.
Bukankah minggu pagi ini cerah? Matahari terang benderang tak ada tanda-tanda hujan.
"Hahahahahahahaaaaa ... Haaahahaa!" suara tawa anak laki-laki dari balik dedaunan pohon mangga yang rimbun depan rumah Pak Bambang. Pohon itu memang menjorok ke jalan.
Aku menengadah melihat ke atas. Terlompat kaget, aku mengelak dari kucuran air.
"Ranggaaaa!!! Isshhh jorok banget kamuuu!!" Anak perempuan yang mengataiku bau tadi menjerit-jerit demi melihat ke atas pohon mangga.
Aku menggeram. Dadaku panas, sepanasnya.
Di atas sana masih tertawa tergelak-gelak, anak lelaki yang lebih mudah sedikit dariku.
