Keluargaku kebingungan.Lek Biran makin murka begitu melihatku melawan. Dia takkan sudi memberikan hutang lagi. Ibu dan dua adikku menangis terus. Sedang Bapakku? Diam saja sambil menatapiku.
Bapakku ini, selalu putus asa pikirannya, setiap hari apapun tidak mungkin baginya.
Punya rumah, gak mungkin. Punya ladang, mimpi. Punya sepeda, mustahil. Punya uang susahnya minta ampun. Bahkan punya istri pun anugerah terakhir paling besar dihidupnya, ada perempuan yang mau dengannya. Ibuku.
Sampai sekarangpun kami tinggal di rumah peninggalan nenek, ibunya ibuku. Kebetulan ibuku anak semata wayangnya. Rumah nenek juga tak besar. Nenek dan kakekku hidup membesarkan ibu dengan bekerja menggarap ladang orang.
Rumah inilah satu-satunya peninggalan mereka. Hasil jerih payah kakek dan nenekku.
Sedangkan Bapak? Tak usah diceritakan. Kisah keluarga dari Bapakku lebih menyedihkan.
Jadi memang kami sudah miskin dari nenek-nenek kami, bahkan mungkin leluhur nenek moyang kami. Kalau ada kasta dalam budaya Jawa. Kamilah kasta sudra itu. Kasta terendah. Rakyat jelata. Budak.
Penilaian dan perlakuan rendah sudah biasa kami dapatkan. Hal itu sudah bertahun-tahun, membentuk pribadi putus asa seperti Bapak dan Ibu.
Ditambah lagi kini ketika Bapak memiliki kami, anak-anaknya, seakan menjadi besar kemustahilan baginya. Tertutup sudah pintu-pintu kemungkinannya yang sudah kecil. Terhapus sudah segala kesempatannya yang jarang ada. Hari demi hari. Apapun mustahil dalam pikirannya.
Sampai sekarang setelah Lek Biran semurka tadi. Kasep sudah baginya, kini dia pikir dia sudah berada dititik, mustahil memberi kami makan.
Bapakku ini, bapak yang putus asa.
Lama duduk dengannya bisa-bisa akupun menjadi stress.
Dulu, sebelum menikah. Hanya karena ada yang mengupahnya mencari barang bekas khusus kaca. Sampai sekarang itu saja yang dilakukannya. Tidak berfikir untuk memperbesar, untuk menjadi pengumpul, atau toke yang bisa menggaji orang. Dari dulu sampai kini anaknya tiga, dia tetap bertahan dengan upah 10.000 - 13.000 sebulan mencari beling bekas. Tak pernah tembus 15 ribu.
Bapakku ini juga, tak punya inisiatif.
Hutangnya dimana-mana, semakin hari semakin tak punya muka.
Lalu kalau sudah terjadi keributan seperti ini, duduklah dia terus didalam rumah seharian, dua harian, tiga harian. Demi malu berjumpa orang. Seperti yang biasa dilakukannya, apabila dia sudah merasa terhina dan direndahkan.
Bapakku juga, tak punya nyali.
Bagaikan tersesat setiap hari kami dibuat Bapak.Dia lebih tahan mendengar anak-anak dan istrinya merengek dari pada tatapan rendah orang diluar sana.
Dengan semua kekurangannya. Bapakku ini sebenarnya memiliki rasa malu yang besar.
Dia akan terus bersembunyi sampai ibuku mengancam pergi atau bunuh diri.
Tatapanku beralih keluar jendela rumah. Matahari sudah tepat diatas. Kami semua lapar, dirumah gak ada apapun yang bisa dimakan. Kulihat Bapak tak juga bergerak. Habislah sudah. Aku bangkit berdiri. Kubiarkan saja Bapak yang masih melamun di depanku.
"Mau kemana?"
"Keluar"
"Ngapain? Jangan! Nanti kamu jumpa Biran lagi!"
"Biar saja!"
"Duduk!"
Mataku melotot melihatnya. Aku bukan ingin melawan tapi aku juga stress diam saja disini.
