Bapak, Ayya Rindu

264 8 0
                                    

"Pa, besok jangan lupa jemput aku di Bandara ya ... Ihh jangan bawa-bawa Hanif, Aku ngga suka ada dia, Pa ... Ih si Papa apaan sih, udah kayak Mama aja nih, ikutan nyomblangin anaknya ... Ahh nggak-nggak, maunya Papa aja yang jemput."

Posisi yang semula telentang sambil memandangi layar ponsel, kuubah miring menghadap dinding. Kali ini ponsel hanya sekedar ada dalam genggaman. Aku memilih memejamkan mata. Berusaha tidak mendengar percakapan Ninda dengan Papanya di telepon.

Sial. Suara percakapan Ninda semakin mengusik. Terlebih beberapa kali Ninda tertawa. Ia memang selalu mengeluarkan nada-nada gembira serta manja jika tengah berkomunikasi dengan Papanya. Membuat hatiku meledak-ledak.

"Ay, aku keluar bentar ya. Ntar kalau pergi kunci aja, aku bawa kunci kok."

"Ha?" Aku membalik tubuh untuk dapat melihat Ninda. Ia sudah mengenakan jaket merah muda dengan jilbab hitam polos. Sepertinya akan pergi sebentar ke tempat yang tak jauh dari asrama. Aku lanjut mengangguk. Ninda pergi meninggalkan kamar asrama.

Baru saja pintu ditutup rapat oleh Ninda dari luar, aku langsung menghela napas berat. Dalam hitungan detik, suara isakan memenuhi kamar kecil yang sudah menjadi kamar aku bersama Ninda selama satu semester perkuliahan ini. Selama satu semester ini pula, aku sering terisak usai Ninda teleponan dengan Papanya. Entahlah, aku memang anak yang terlalu bawa perasaan. Hatiku bisa melemas dan teriris-iris sedih jika sudah menyangkut soal sosok laki-laki yang disebut Papa, Ayah, atau ... Bapak, jika aku yang menyebutnya.

Bapak. Apa kabarmu? Apa kau masih hidup?

16 tahun yang lalu. Ketika usiaku genap tiga tahun. Ibu dan Bapak merayakan hari ulang tahunku secara sederhana di rumah. Aku tak ingat aroma kue ulang tahun yang kaya coklat serta dihiasi stroberi waktu itu. Yang kuingat, ada hiasan gambar prinses snow white di atas kue ulang tahunnya. Aku tahu dari selembar foto yang disimpan Ibu. Meski begitu, aku juga ingat rasa hangat kecupan bibir Bapak di pipi kiri dan kecupan bibir Ibu di pippi kanan. Tepuk tangan meriah serta tiupan terompet dari saudara-saudara sepupu yang lebih tua.

Perayaan hari ulang tahun ke tiga, yang nyatanya menjadi perayaan perpisahan kita, Pak. Apa kau masih ingat? Saat itu kau dan Ibu tidak memberikanku kado apapun, sebab dari cerita Ibu, kau tidak memiliki uang lagi usai membeli kue ulang tahun spesial itu. Ahh, andai saat itu aku tahu. Aku tak akan memakan kue tersebut. Akan kusimpan dan awetkan saja.

Dua hari setelah perayaan itu, kau tidak pulang pulang. Malam hari saat kau tidak pulang, aku bertanya pada ibu, mengapa kau belum pulang? Apa yang kau lakukan di luar sana?

"Bapak sedang bekerja keras. Ia sedang berusaha mengumpulkan uang agar nanti Ayya bisa masuk TK." Begitu kiranya jawaban Ibu. Beliau selalu menyuruhku tidur lebih dulu. Katanya, kau akan pulang besok pagi.

Besok pagi. Bahkan hingga malam. Kau lagi-lagi tak pulang. Aku bertanya kembali. Apa kau masih sibuk? Seberapa berat pekerjaanmu? Apa kau tak lelah? Dimana kau beristirahat?

"Ayya tidur dulu saja. Besok Bapak akan pulang. Bapak istirahat di tempat teman. Ayya tidak perlu khawatir." Ibu membelai rambut ikalku dengan lembut. Ia juga mendekap tubuh mungil itu. Membuat aku sedikit tenang. Dalam hati, aku berdo'a pada Tuhan, agar kau tidak terlampau lelah. Agar kau baik-baik saja.

Pagi berikutnya hujan turun. Dingin. Aroma pohon jambu di depan rumah masuk hingga ke dalam. Aku mengintip dari balik jendela. Melihat tiap rintik hujan turun membasahi dedaunan pohon jambu. Kau mungkin tidak akan pulang, pikirku. Aku tahu kau tak memiliki payung. Jadi mungkin, kau akan lebih memilih berteduh dan beristirahat dulu di tempat teman hingga hujan reda.

Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang