Naskah ini ditulis pada Oktober 2015, terinspirasi dari dekapan Asap di Pekanbaru. Kembali diposting karena bencana Kabut Asap tengah mendekap lagi saat ini.
Kisah tokoh & penokohan hanya fiksi belaka.
Selamat membaca.
______
Pekanbaru kota bertuah. Kurasa kalimat itu perlu diganti. Kalimat yang lebih bagus adalah ... Pekanbaru kota berasap. Yaps!
Dulu, aku bisa melihat jauh. Jauh hingga ke ujung sana. Melihat bangunan tinggi di ujung jalan dekat persimpangan lampu merah itu. Namun, sekarang? Semua tak sejauh dulu. Tak sampai seratus meter jaraknya, semua telah menjadi putih. Hanya tinggal bayang-bayang yang hanya akan semakin jelas bila jaraknya semakin dekat. Masih mengendarai motor. Sesekali mataku melirik trotoar. Jajaran masker dengan beragam bentuk diperdagangkan sepanjang trotoar. Miris. Aku menelan liur. Dari balik masker N-95 aku menghirup udara yang tak lagi segar.
Kemudian mata ini terusik oleh beberapa anak kecil yang berlarian di depan pertokoan tanpa mengenakan masker. Hatiku teriris melihatnya. Mungkin tidak sekarang anak-anak itu merasakan dampaknya. Tapi nanti, kata ayah begitu. Tak hanya itu, orang-orang yang kulihat sepanjang jalan telah menjadi ninja. Kain beragam hiasan itu menutupi hidung dan mulut mereka. Sadarkah? Masker jenis itu tak sepenuhnya mampu melindungi mereka. Ayah bilang, masker kain saja tak mempan menyaring partikulat berbahaya itu, sebaiknya memakai masker tipe N-95. Namun, tak semua orang paham itu, bukan? Butuh sosialisasi lebih lanjut, sayangnya ayah tak mau membantu sosialisasinya.
Aku akhirnya sampai di rumah. Rumah bertingkat dua sekelas pejabat yang menjadi hunian keluargaku. Keluarga? Haha, tidak. Tidak benar-benar keluarga sejak ibu menggugat cerai ayah dan hak asuhku jatuh ke tangan ayah. Waktu itu usiaku sepuluh tahun dan belum amat mengerti alasannya. Bahkan hingga saat ini tak ada yang mau menjelaskan alasannya. Yang kutahu, kata ibu, ibu tak tahan bersama ayah. Ayah orang jahat. Tapi, dimataku, ayah tak jahat. Ayah ilmuan hebat yang baik hati. Bahkan sudah tiga tahun ayah bergulat di laboratoriumnya, mencari absorben yang dapat menyerap asap untuk menciptakan teknologi canggih yang bisa mengatasi masalah asap di Pekanbaru ini. Ya, sebentar lagi ayah akan dinobatkan sebagai pengendali asap bila alat canggih yang diciptakannya berhasil.
"Pergi dengan motor lagi? Sudah tahu asap. Kenapa tidak bawa mobil?" Tegur ayah begitu aku memarkirkan motor metik kesayanganku di garasi.
"Ayahkan tahu Syafa nggak suka bawa mobil. Lagipula, mobil ataupun motor sama saja. Sama-sama tidak bisa membuat Syafa bernapas dengan udara segar, 'kan? Lagi pula Syafa sudah pakai masker, Yah. Jangan terlampau khawatir."
Ayah menggeleng dengan jawabanku. Ia berbalik dan mengambil langkah pergi.
"Ayah!" panggilku. "Maafin, Syafa ya," Aku menunduk, kemudian menatap lelaki tua itu dengan senyuman. Sudah amat sering aku melawan laki-laki dengan rambut yang hampir memutih secara keseluruhan itu. Ia pasti lelah bekerja sendirian.
Ayah tersenyum lembut. "Kamu nggak salah. Oh ya, tumben pulang kampusnya cepat?"
"Kuliah diliburkan karena asap, Yah. Asapnya makin tebal. Makin parah." Aku membuka masker, lalu terbatuk.
"Ya sudah, cepat cuci muka. Minum air mineral banyak-banyak, jangan lupa makan buah dan vitamin C. Kita akan pergi berlibur, ayah akan pesan tiket untuk kita ke ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerita Pendek
KurzgeschichtenKeseluruhan Cerita Pendek yang diposting dalam bagian ini adalah cerita yang diangkat dari kisah nyata, baik kisah yang dialami oleh penulis sendiri ataupun dari teman-teman yang telah berkenan berbagi pengalamannya. Ingin kisahmu ditulis oleh penul...