Paginya, saat aku membuka kedua mataku, kulihat Kakek sedang membenahi baju-bajuku. Kuhampiri Kakek dan bertanya mau ia apakan bajuku, namun Kakek tidak menjawab dan malah meyuruhku segera mandi. Saat itu aku berfikir apakah Kakek akan mengajakku berlibur.
Kedua sudut bibirku terangkat. Dengan langkah yang kubuat sedikit meloncat, kusambar handuk dan berlalu menuju kamar mandi. Memakai baju terbaikku, menyisir rambutku hingga lembut, dan memakaikannya pita.
Saat aku berjalan menuju ruang tamu, kulihat Kakek sedang berbincang dengan seorang wanita. Dandanannya ... seperti wanita kota.
Kakek tersenyum saat melihatku. Dengan isyarat tangannya, ia menyuruhku untuk menghampirinya. Ia tetap tersenyum seperti biasa, namun manik matanya tak bersinar seperti biasa. Redup.
Aku pun berjalan menghampirinya lalu duduk di sebelahnya.
Saat aku sudah duduk, Kakek menjelaskan bahwa sebenarnya wanita kota itu adalah ... Ibuku.
Aku terkejut mendengarnya. Jadi ini maksud dari ucapan Kakek semalam. Perasaanku campur aduk antara bingung dan senang. Namun ketika melihat Kakek yang tetap tersenyum seperti itu, entah mengapa hatiku merasa perih. Entah perasaan apa yang sedang aku rasakan saat itu.
Wanita kota itu kemudian berdiri dan berkata bahwa ia tidak bisa lama-lama. Akhirnya Kakek juga ikut berdiri lalu mengantarkan wanita itu hingga ke depan rumah. Kulihat ada sebuah mobil disana. Mungkin milik wanita kota itu.
Tetapi saat kami telah tiba di pelataran rumah, Kakek tersenyum, memberikan tas besar yang tadi sudah dikemas rapi olehnya kepadaku. Menyuruhku untuk ikut bersama wanita kota itu.
Aku tak mau. Aku berkata bahwa aku ingin bersama Kakek. Tapi di sisi lain, aku juga ingin memiliki Ibu. Tinggal bersama Ibu. Tapi aku juga tidak bisa pergi dan meninggalkan Kakek sendirian. Tak bisakah kita hidup bersama saja?
Namun kau bilang aku akan lebih bahagia bila tinggal bersamanya. Seperti keinginanku. Kau juga tersenyum saat itu. Jadi, kuikuti saja katamu. Hatiku perih, sedih akan meninggalkan Kakek yang sangat berarti bagiku, yang sejak kecil selalu ada untukku. Tapi Kakek tetap tersenyum, tak terlihat gurat kesedihan di wajahnya. Mungkin ini memang yang terbaik.
Pagi itu, kutinggalkan Kakek. Pergi ke kota bersama Ibu. Menaiki mobil putih dengan seorang supir yang mengendarainya. Aku dan Ibu duduk di kursi penumpang.
Sepanjang perjalanan, kami hanya diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
Aku membuang pandanganku ke luar jendela, melihat barisan pohon yang berjejer rapi. Perasaanku campur aduk. Apa yang harus kulakukan tanpa Kakek? Selama ini aku selalu bergantung kepadanya. Sulit rasanya meninggalkan Kakek seperti ini.
Sespainya di rumah Ibu, di kota, kami turun dari mobil. Kupandangi rumahnya yang tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil. Namun lebih besar dari rumah kami di kampung, pastinya.
Saat Ibu membuka pintu, kulihat ada seorang anak kecil yang berlari memeluknya, perempuan, dan usianya lebih muda dariku saat itu. Dia menatapku heran, seakan bertanya Siapa orang ini?
Lalu Ibu menjelaskan, dan mengenalkanku dengan gadis itu yang ternyata adalah adikku. Aku tersenyum kepadanya, namun dia sepertinya tidak menyukaiku. Dia terlihat enggan denganku.
Hingga malam tiba, aku masih belum bertemu dengan ayah. Kutanyakan hal itu pada Ibu, namun ia malah marah padaku. Ia memintaku untuk tidak membicarakan ayah di depannya.
Akhirnya, aku kembali ke kamar dan bersiap untuk tidur. Namun malam itu, untuk sekedar menutup mata pun aku tak sanggup. Suara dan raut wajah Ibu saat marah tadi, masih terpatri jelas dalam ingatanku. Hatiku perih mengingatnya, sedih, dan amat sangat sakit. Bahkan Kakek tidak pernah memarahiku, kenapa Ibu tega?
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] Because I Miss You (OneShoot)
Short StoryIni adalah ceritaku dan ceritamu, cerita kita. Tentang sosokmu yang selalu kurindukan. Andai saat-saat bersamamu bisa kuulang kembali, ingin rasanya aku mengatakan bahwa 'Aku menyayangimu'. Selamanya. Dan hingga saat ini, aku tetap dan masih akan me...